Kamis, Agustus 14, 2025

Kaya Air, Miskin Akses

I Gusti Ngurah Krisna Dana
I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Warmadewa
- Advertisement -

Setiap musim kemarau tiba, rakyat Indonesia seperti masuk ke babak baru sinetron yang ceritanya tidak pernah tamat. Episode “Kekeringan” kembali tayang lengkap dengan adegan sumur kering, ibu-ibu menggotong jeriken, dan truk tangki air yang datang seperti mantan pacar yang kadang hadir dan kadang menghilang tanpa kabar. Bedanya, jika mantan pergi kita bisa move on, sedangkan jika air pergi kita hanya bisa menatap langit sambil berdoa atau menyalahkan cuaca yang katanya tidak bersahabat.

Indonesia ini unik. Di atas kertas dan di peta kita termasuk negara dengan cadangan air yang besar. Menurut Kementerian PUPR (2021), potensi air permukaan kita mencapai 2,78 triliun meter kubik per tahun. Angka ini membuat kita terdengar seperti negara yang kaya air di Asia Tenggara. Namun ironisnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2023) melaporkan bahwa setiap tahun ratusan daerah masih dilanda kekeringan. Jadi kita ini ibarat orang yang terlihat kaya di foto Instagram tetapi saldo di dompet sebenarnya tipis.

Masalahnya tidak hanya karena hujan yang malas turun. Alam memang punya siklusnya, tetapi tata kelola air kita punya dramanya sendiri. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2022) menunjukkan bahwa deforestasi masih terjadi di daerah tangkapan air, sehingga mengurangi kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air.

Sungai yang seharusnya jernih berubah menjadi sup plastik, terbukti dari laporan National Plastic Action Partnership (2020) yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di sungai dunia. Sementara itu, jaringan irigasi yang dibangun dengan dana miliaran rupiah sering mangkrak atau rusak bahkan sebelum panen pertama tiba, sebagaimana dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) bahwa 40% jaringan irigasi di Indonesia dalam kondisi rusak ringan hingga berat.

Pemerintah daerah sering sibuk menggelar acara potong pita peresmian sumur bor lengkap dengan tenda, kursi plastik, dan baliho bergambar wajah pejabat yang tersenyum lebar. Sayangnya, beberapa bulan kemudian sumur itu mati karena pompa rusak atau airnya kering. Perusahaan air minum daerah juga tidak kalah kreatif, tarif mereka naik tetapi layanan tetap turun. Mereka seakan berpegang pada prinsip bahwa air memang sumber kehidupan tetapi keuntungan juga penting.

Sementara itu perilaku kita sebagai masyarakat kadang tidak kalah membingungkan. Kita rajin membuang sampah ke sungai, pura-pura tidak melihat tetangga mencuci motor di saluran irigasi, dan tetap mandi sampai air meluber dari bak mandi. Tetapi ketika musim kemarau tiba kita menjadi komentator ulung di media sosial yang mengeluh soal sulitnya air bersih, seolah-olah kita tidak ikut andil dalam mengundang masalah tersebut.

Krisis air di Indonesia adalah hasil kolaborasi tanpa kontrak antara alam, kebijakan yang setengah hati, dan perilaku warga yang abai. Padahal kita memiliki teknologi pengolahan air, sistem pemanenan air hujan, irigasi tetes hemat air, bahkan model pengelolaan terpadu seperti Integrated Water Resources Management (IWRM) yang telah diterapkan di beberapa daerah dengan hasil baik (ADB, 2021). Tetapi semua itu sering berhenti di seminar, menjadi proyek percontohan yang tidak pernah diperluas, atau terjebak di dokumen strategi nasional yang indah tetapi tidak sampai ke lapangan.

Ancaman di masa depan juga tidak main-main. Laporan World Resources Institute (2019) menempatkan Indonesia dalam kategori risiko tinggi kelangkaan air, dengan proyeksi peningkatan kebutuhan air sebesar 31% pada tahun 2045. Perubahan iklim akan membuat musim kemarau menjadi lebih panjang dan musim hujan menjadi lebih ekstrem (BMKG, 2023). Jika tata kelola air kita masih bersifat basa-basi seperti janji kampanye maka kita mungkin akan hidup di negeri yang memiliki air melimpah di peta tetapi di kehidupan nyata hanya ada di spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Sumber Air”.

Sudah waktunya krisis air dipandang bukan sebagai masalah teknis yang hanya diserahkan kepada Dinas PU atau PDAM, tetapi sebagai isu strategis yang menyangkut ketahanan nasional. Air adalah urusan semua orang, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga masyarakat, karena tanpa air tidak ada pertanian, industri, bahkan politik pun akan kering kerontang.

Jika kita serius, solusinya ada. Kita bisa menjaga hutan di hulu, memodernisasi irigasi, mewajibkan pemanenan air hujan di setiap bangunan baru, menghentikan eksploitasi berlebihan oleh industri, dan memastikan distribusi air tidak dikuasai oleh segelintir pihak. Tetapi jika kita masih sibuk berdebat di ruang rapat sambil menyeruput kopi, mungkin suatu hari nanti kita akan minum air dari botol impor sambil mengenang masa ketika kita pernah menyebut negeri ini gemah ripah loh jinawi.

I Gusti Ngurah Krisna Dana
I Gusti Ngurah Krisna Dana
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Warmadewa
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.