“Tidak ada yang meminta anak dilahirkan, tapi mengapa orang tua selalu mengajak menderita bersamanya?” Itulah gambaran anime Takopi Original Sin. Anime karya mangaka Taizan ini mengangkat isu sensitif seputar perundungan, bunuh diri, broken home, dan depresi. Desain animasinya yang berwarna dan ceria layaknya film keluarga tidak selaras dengan ceritanya yang gelap. Meskipun begitu, anime yang tayang perdana 28 Juni 2025 ini, terutama episode 5-nya, hampir menyaingi rating episode 1137 One Piece dengan skor 9,7 di IMDb (Internet Movie Database).
Anime ini seolah menggambarkan warisan dosa orang tua yang berdampak pada anaknya. Mungkin, inilah alasan Takopi Original Sin banyak diminati dan mendapatkan ulasan positif. Bahkan, mungkin kisahnya dialami juga oleh para penikmatnya. Artikel ini mencoba menyelami kedalaman makna dari persoalan keluarga dan masalah anak-anak broken home (rusak) dari perspektif serial anime Takopi Original Sin. Saya melihat keluarga sebagai akar persoalan dan penyebab semua kegilaan di anime tersebut lahir.
Sebuah Rumah Bernama “Keluarga”
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka perceraian Indonesia di tahun 2024 mencapai 399.921 kasus. Diikuti Catatan Tahunan 2024 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2025) melaporkan bahwa pengaduan Kekerasan Terhadap Istri sebanyak 672 kasus dan menjadi laporan tertinggi, dengan lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai pelaporan terbanyak di ranah personal. Belum termasuk angka kemiskinan, yang mana laporan Bank Dunia mengestimasikan bahwa jumlah orang miskin Indonesia mencapai 171,8 juta orang atau 60,3% hingga akhir 2024 dan termasuk tinggi di ASEAN. Data-data ini menunjukan bahwa masalah pernikahan bisa dipengaruhi oleh perselingkuhan, kekerasan hingga ekonomi.
Padahal, kondisi keluarga yang hancur merusak ketahanan keluarga, membuatnya kehilangan arah dan anak selalu menjadi korbannya. Sama seperti penggambaran tokoh Shizuka, Marina, dan Azuma di anime Takopi Original Sin. Banyak yang berpikir bahwa keluarga dibangun atas dasar cinta semata, padahal kualitas lain dibutuhkan, misalnya pengetahuan dan finansial, sebab mengasuh anak tidak sama dengan mengasuh ternak. Studi Jensen, dkk., di tahun 2024 menegaskan bahwa keluarga mesti mengamankan dan memelihara hubungan, menyediakan sumber daya, mendukung perkembangan, menumbuhkan rasa aman dan kesejahteraan, serta mendukung aktualisasi diri.
Masalahnya, standar keluarga tersebut terkadang tidak terwujud sepenuhnya. Misalnya, masalah kesejahteraan, khususnya ekonomi. Kemiskinan, dalam arti luas, kerap menjadi alasan masalah kebahagiaan. Mulai dari gagalnya pengasuhan karena sibuknya orang tua bekerja, tekanan tinggi mendorong kekerasan, dan tidak menutup kemungkinan untuk melahirkan perceraian dan tindak kriminal. Kita tidak bisa menyalahkannya begitu saja, karena kita tahu bahwa keadaanlah yang memaksa demikian.
Keluarga adalah rumah pertama bagi sang anak, maka harusnya menjadi tempat paling aman dan sejahtera yang pernah ada. Ironinya, terkadang ekspektasi tersebut berbanding terbalik. Rusaknya (ekosistem) rumah menjadi alasan anak mencari pelarian dan terkadang itu tidak berakhir bagus. Sepertinya, memang keluarga sebagai akar persoalan, mestinya menghentikan “warisan dosa” yang membuat anak menanggung risiko atas perbuatan orang tuanya.
Dosa Warisan Harus Berhenti di Orang Tua
Diksi “original sin” di anime Takopi mengingatkan saya terhadap “dosa asal” dalam teologi Kristen. Tangiruru, dkk., (2023) menjelaskan bahwa dosa asal merupakan konsep tentang kejatuhan awal manusia sebagai akibat dari pelanggaran Adam dan Hawa terhadap perintah Tuhan di Taman Eden yang berakibat pada dosa asal, yaitu dosa bawaan yang diwariskan kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, orang yang terlahir ke dunia membutuhkan penebusan dan pengampunan Tuhan akibat dosa yang dibawanya, sehingga ia bisa diterima kembali kepada-Nya.
Dalam konteks Takopi Original Sin, saya melihat bahwa dosa asal itu datang dari “orang tua” para tokoh utama. Sejak awal, anime ini menyuguhkan adegan-adegan mengganggu, mulai dari perundungan, depresi yang berujung bunuh diri, dan pembunuhan yang dilakukan anak-anak. Dari total 6 episode tersebut, kita diperlihatkan dengan realitas kerusakan keluarga yang berdampak kepada mentalitas setiap tokoh di Takopi Original Sin, yaitu Shizuka, Marina, dan Azuma, yang mana ketiganya adalah anak-anak yang masih sekolah.
Shizuka adalah anak dari seorang ibu yang diketahui merupakan Pekerja Seks Komersial (PSK) dan ayah yang melupakan anaknya karena menikah lagi. Marina memiliki ibu yang depresi karena sang ayah yang pemabuk dan kerap bertengkar, sehingga kemarahan ibu selalu dilampiaskan kepada Marina dan menuntutnya untuk selalu mendukungnya. Sedangkan, Azuma merupakan anak yang selalu dituntut kesempurnaannya oleh ibu dan kerap dibandingkan oleh saudaranya yang selalu mendapatkan nilai sempurna. Gambaran ketiganya dengan kompleksitas keluarganya seolah mencerminkan kehidupan masyarakat modern yang penuh tekanan dan tuntutan hanya demi demi bertahan hidup di dunia yang tidak adil.
Keluarga adalah ruang aman bertumbuh bagi anak, maka penghuninya harus sehat. Rusaknya keluarga sebagai rumah terkadang dapat menjadi awal kehancuran fisik dan mental anak, dan tidak jarang menjadi alasan lahirnya kriminalitas anak. Hal ini mengingatkan saya dengan lagu Ebiet G. Ade berjudul “Anak”, yang mengisahkan seorang anak kecil kaya yang memilih kabur karena rumah yang dianggap seperti “neraka” karena orang tuanya sibuk sendiri dan tercerai berai.
Bisa jadi, kedewasaan kita mampu menghapus semua jejak luka di masa lalu. Nyatanya, kesan “buruk” itu kerap terpatri jelas di setiap sel otak. Lebih buruk lagi bila dosa itu terwariskan dan belum orang tua selesaikan. Potensi kita menjadi pelaku serupa di masa depan menjadi tidak terhindarkan. Saya merasa bahwa dosa orang tua tidak semestinya diwariskan kepada anak dan menanggung semua akibatnya. Terkadang, orang tua lupa, anak bukanlah sandera keegoisan orang tua, ia ada sebagai buah cinta orang tua yang mestinya diperlakukan dengan penuh cinta pula. Anak itu suci, dosa orang tua yang membuatnya mati. Oleh karena itu, biarkan orang tua menebus dosanya, sampai anak tidak menerima lagi warisan dosa keduanya.