Sabtu, Agustus 23, 2025

Fondasi Hukum dalam Perjanjian Kerja Sama Perusahaan

Fajri Fajri
Fajri Fajri
Founder pada Law Office F1 & Partners
- Advertisement -

Di tengah bisnis yang semakin rumit, terutama dalam sektor pembangunan lokal dan nasional, memiliki kejelasan dan kepastian hukum dalam membangun kemitraan merupakan hal yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan.

Setiap perusahaan yang berpartisipasi dalam proyek pembangunan harus memiliki dasar hukum yang kokoh untuk mengatur kolaborasi mereka guna menghindari potensi risiko hukum di kemudian hari. Ini direalisasikan melalui penyusunan dokumen hukum dan akta perjanjian kerja sama yang terstruktur, sah, dan profesional, sehingga dapat memberikan perlindungan hukum serta berfungsi sebagai alat untuk mengelola risiko bisnis.

Dokumen hukum dan perjanjian kerja sama berperan sebagai alat hukum yang mengatur hak dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan bisnis. Terdapat berbagai bentuk, seperti Memorandum of Understanding (MoU), nota kesepahaman, perjanjian kerja sama operasional (KSO), kontrak perdagangan, dan perjanjian konsorsium.

Setiap jenis memiliki ciri-ciri dan jangkauan yang berbeda, serta dampak hukum yang perlu dipahami dengan cermat. Sebagai contoh, MoU sering kali dipandang sebagai dokumen yang tidak sepenuhnya mengikat secara hukum. Namun, jika dokumen tersebut mencakup elemen-elemen seperti kesepakatan antar pihak, objek perjanjian, dan tujuan yang jelas, maka dokumen itu dapat memiliki kekuatan hukum yang berarti. Dengan demikian, proses penyusunannya harus dilakukan dengan cermat dan pemahaman yang kuat mengenai peraturan hukum yang ada.

Dalam perspektif hukum perdata Indonesia, perjanjian kerja sama harus memenuhi syarat sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Empat syarat tersebut mencakup adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; dan suatu sebab yang tidak terlarang. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, perjanjian dapat dianggap batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Kondisi ini menjadi landasan agar setiap perjanjian dapat dijalankan dengan baik dan menghindari sengketa di masa mendatang.

Selain memenuhi syarat formal, aspek substansi dari perjanjian juga harus mendapatkan perhatian yang khusus. Hak dan kewajiban setiap pihak perlu dijelaskan secara mendetail, mencakup ketentuan terkait penyelesaian sengketa, klausul force majeure yang menjelaskan situasi di luar kendali para pihak, serta prosedur penghentian kerjasama. Penting untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai dokumen tertulis, tetapi juga sebagai alat yang efektif dalam mengelola risiko dan menyelesaikan konflik tanpa harus menjalani proses hukum yang rumit dan biaya tinggi.

Pengesahan (legalisasi) dokumen perjanjian kerja sama juga berperan penting dalam memperkuat kekuatan hukum dari suatu kontrak. Dokumen perjanjian yang berkaitan dengan aspek keperdataan dan memiliki dampak publik harus disusun dalam bentuk akta otentik oleh notaris, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Akta otentik memiliki daya bukti yang kuat dalam konteks hukum, sehingga sangat krusial untuk mencegah sengketa terkait keaslian dokumen. Selain itu, dalam konteks kerja sama yang melibatkan aset daerah, perjanjian tersebut juga perlu merujuk pada PP No. 28 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dan bagi kerja sama yang melibatkan pihak asing, ketentuan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal jo. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Namun demikian, tidak semua dokumen kerjasama membutuhkan akta yang sah. Sebagai contoh, Nota Kesepahaman (MoU) yang disusun antara suatu perusahaan dan mitra bisnisnya tidak selalu harus dalam bentuk akta notaris. Namun, dokumen tersebut perlu mencantumkan tanda tangan dari semua pihak yang terlibat, tanggal pembuatan, dan jika terdapat pihak asing, sebaiknya disusun dalam dua bahasa. Prinsip kehati-hatian dalam pembuatan MoU harus diutamakan, karena meskipun dokumen ini bersifat prakontraktual, ia dapat berakibat pada konsekuensi hukum jika terdapat klausul yang bersifat mengikat.

Proses penyusunan dokumen hukum dan perjanjian kerja sama perlu mengikuti langkah-langkah yang terstruktur dan terbuka. Identifikasi para pihak perlu dilakukan secara jelas dan menyeluruh, meliputi status hukum entitas dan wewenang dari orang yang menandatangani. Objek dan tujuan dari kerja sama perlu dijelaskan secara rinci untuk menghindari kemungkinan penafsiran yang berbeda. Selanjutnya, hak dan kewajiban perlu diatur dengan jelas agar tidak menimbulkan berbagai interpretasi. Jika ada pengelolaan dana, penting untuk memastikan bahwa aspek keuangan bersifat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

- Advertisement -

Selain itu, ketentuan mengenai sanksi dan penyelesaian sengketa perlu mencakup mekanisme yang terang, mulai dari mediasi, arbitrase, hingga proses di pengadilan, agar sengketa dapat diselesaikan dengan efektif. Dokumen tersebut harus ditutup dengan klausul penutup dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat. Jika diperlukan, penandatanganan juga dapat disaksikan oleh notaris untuk memastikan keabsahan atau kepastian hukum.

Fakta pembangunan infrastruktur daerah yang semakin pesat serta investasi melalui skema kerja sama pemerintah dengan swasta (KPBU) meningkatkan kebutuhan untuk menyusun dan mengesahkan dokumen kerja sama yang sesuai. Seringkali, perselisihan muncul di pengadilan disebabkan oleh penyusunan kontrak yang tidak teliti dan kurangnya perhatian terhadap aspek hukum yang formal. Pemerintah telah merespons situasi ini dengan mendorong pengembangan kemampuan penyusunan hukum di kalangan birokrasi dan pelaku bisnis.

Oleh karena itu, perjanjian kerja sama tidak hanya sekadar prosedur administratif, tetapi juga merupakan dasar hukum yang krusial untuk memastikan keberlanjutan, keadilan, dan profesionalisme dalam hubungan bisnis. Tanpa landasan hukum yang solid dan valid, baik perusahaan maupun mitra kerja akan sangat berisiko mengalami perselisihan, kerugian finansial, dan bahkan tuntutan hukum. Profesionalisme dalam pembuatan dokumen hukum dan perjanjian kerja sama menjadi suatu keharusan di era bisnis yang modern, yang menekankan pentingnya prinsip legalitas dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Pada akhirnya, kekuatan suatu perjanjian bergantung pada keakuratan dan kelengkapan elemen hukum yang menjadi dasarnya. Karena itu, setiap pihak yang ingin menjalin kerja sama perlu memahami dan menghargai prinsip-prinsip hukum yang ada, sehingga hubungan bisnis dapat berlangsung dengan baik, aman, dan memberikan keuntungan bagi semua atau pihak-pihak yang terlibat.

Fajri Fajri
Fajri Fajri
Founder pada Law Office F1 & Partners
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.