“Kepada para mahasiswa, yang merindukan kejayaan. Kepada rakyat yang kebingungan, di persimpangan jalan…”, “Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota. Bersatu padu rebut demokrasi…”. Kalimat di atas merupakan penggalan dari lirik lagu Mars Mahasiswa dan Buruh Tani, lagu yang kerap dinyanyikan di setiap momentum aksi mahasiswa. Lirik tersebut bukan hanya jadi semacam gong penyemangat, tapi beban komitmen terhadap apa yang mereka sebut “tugas suci”. Lalu, muncul pertanyaan, seberapa lama tugas suci tersebut bisa dipanggul mahasiswa? Atau, mengapa mereka mau memanggulnya?
Nubuat Bagi Mahasiswa
Nilai suci memang selalu mengisyaratkan pesan-pesan langit tentang tugas suci yang diemban, dan mungkin agak sedikit bergeser di era modern menjadi panggilan nurani atau klaim atas kehendak-kehendak publik. Apapun itu, nilai suci selalu memotivasi seseorang untuk bertindak, bahkan nekad. Mungkin, inilah yang dipikirkan oleh mahasiswa dengan segenap aksi-aksi hingga slogan anti-kapitalisme dan anti-penindasannya yang menggelora di setiap momentum pergerakan, seolah kapital barang najis—padahal kuliah mereka dibiayai oleh orang tua yang bekerja dalam balutan kapitalisme.
Ponomareff dan Bryson (2006) dalam bukunya “The Curve of The Sacred: An Exploration of Human Spirituality” menjelaskan bahwa “nilai suci” merupakan wujud hiburan dan kegembiraan yang dibawa oleh pengalaman-pengalaman tentang yang “sakral”, muncul perasaan yang menyembuhkan-disembuhkan, bahkan dianggap sebagai semua kebijaksanaan yang mampu dimiliki dan mungkin adalah satu-satunya kebenaran yang layak dijalani. Menurutnya, walaupun sumber sakral mungkin berada ribuan tahun jauhnya, namun faktanya ia selalu dekat, dalam hidup dan mati, dan terutama ketika rasa sakit, penderitaan, dan stres hadir.
Pandangan Ponomareff dan Bryson tentang sumber “kesakralan nilai”, yakni rasa sakit, penderitaan, dan stres, cukup menarik. Selain dihadapkan bahwa lagu-lagu perjuangan mahasiswa ala-ala kiri dan konon demi mengeluarkan rakyat dari ketertindasan yang diciptakan kapitalis serakah dan negara bobrok, kesakralan yang diyakini aktivis mahasiswa didasarkan pada kondisi yang mungkin mereka atau temannya alami. Artinya, kesakralan untuk bergerak melawan kejahatan semacam ini tumbuh atas dasar empati dan sedikit teracuni pikiran abang-abangan kampus yang doyan baca Tan Malaka atau mungkin Das Capital Marx. Tidak ada yang salah, namun bukan berarti tanpa celah.
Celahnya justru datang dari kesakralan itu sendiri. Kecenderungan mahasiswa untuk meromantisasi pergerakkan sembari mengibarkan panji-panji perang bergambar “rakyat miskin”, terkadang tidak bertahan lama dan kurang konkret, bahkan cenderung “ngadi-ngadi”. Misalnya, gerakan memakzulkan fufufafa. Mungkin, ini nampak keren, tapi kemudian perlu diingat, fufufafa ini adalah lahir dari sistem bobrok yang diberikan karpet merah oleh mahasiswa yang enggan berpolitik karena politik Indonesia busuk nan kapitalistik.
Bahkan, celah kesakralan ini membuat mahasiswa jadi terlepas dari masyarakat yang justru mereka bela. Dalam beberapa kesempatan, komentar masyarakat atas aksi demo mahasiswa justru dihadapi secara brutal oleh mahasiswa sembari menambah sedikit kalimat heroisme, seperti “kalau kita tidak demo, kalian akan rasakan akibatnya”, atau “situ tidak tahu apa-apa, nanti giliran kebijakannya jadi, nyari mahasiswa”. Alih-alih menarik simpati dari masyarakat, justru mahasiswa seolah menciptakan kubu antara “kita kaum intelektual”, dan “kamu publik yang kurang intelek”, sebagaimana disebutkan dalam teori identitas sosial.
Jadi, apakah nubuat tersebut benar ditujukan ke mahasiswa atau mereka ciptakan sendiri kesucian itu? Atau, ini semacam yel-yel senja tentang romantisasi mahasiswa selama jadi abang-abangan kampus?
Mahasiswa dan Beban Moral Kesucian
Saya merasa bahwa beban moral atas tugas suci ini begitu berat, sampai-sampai ketidakkonsistenan itu kemudian menampakkan dirinya ketika mereka telah lulus dari kampus. Banyak kemudian mahasiswa, yang tumbuh sebagai kakak-kakak berpemahaman kiri, kemudian ditampar realitas tentang kehidupan kapitalistik yang membuat mereka pada akhirnya turut menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Semudah memindahkan saklar lampu sein kiri ke kanan di kendaraan bermotor.
Contohnya, sebut saja Fadli Zon yang kini menjadi Menteri Kebudayaan RI sekaligus politisi Gerindra. Beliau terkenan tidak hanya sebagai aktivis 98, tetapi juga sebagai tokoh yang mempermasalahkan diksi “massal” dalam penulisan sejarah Indonesia tentang pemerkosaan yang terjadi di tahun 1998. Contoh lainnya, Fahri Hamzah, aktivis 98 yang dikenal vokal justru berbeda rupa ketika menjadi Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Indonesia di kabinet Presiden Prabowo.
Mahasiswa biasa abang-abangan kampus? Kalau bukan bagian dari warga privilese, paling mereka akan menjadi bagian dari penderitaan, stres, pengangguran, dan orang yang terasingkan, yang mereka dukung pada saat mahasiswa. Menurut laporan World Economic Outlook edisi April (2025), tren unemployment rate di tahun 2024 terus meningkat, dari 4,9 menjadi 5,0 dan diprediksi akan naik ke 5,1 di tahun 2026. Fakta ini turut memperkuat mereka untuk tetap menjadi kiri sembari mengenakan kemeja putih-bercelana hitam sebagai calon antek-antek kapitalis yang sering mereka hina di masa mahasiswa.
Hal ini ironi, tapi bagaimana pun, hati seseorang bisa berubah kapanpun. Satu hal yang bisa dipertahankan dalam jangka waktu lama, mungkin hanyalah prinsip yang terkarakterisasi. Mereka terbentuk bahkan jauh sebelum menjadi mahasiswa. Pertanyaan sekarang, apakah tugas suci ini akan hilang begitu saja?
Sebenarnya, tidak harus. Impian setiap orang adalah vivere (kebahagiaan). Tidak ada yang perlu disalahkan tentang mahasiswa abang-abangan kampus yang mencintai kiri, atau tumbuh sebagai kanan. Semua berada pada porsinya masing-masing. Namun, satu hal yang pasti adalah tanggung jawab atas ilmunya dalam membangun bangsa.
Beban moral atas nilai suci memang berlebihan, dan sudah sewajarnya untuk tidak bergantung pada nilai yang berat tersebut. Proporsional untuk meletakkan impian dan ekspektasi orang terhadap mahasiswa, bisa jadi adalah jalan untuk menyelesaikan irisan antara pesan-pesan abang-abangan kampus untuk menghancurkan sistem dan rakyat yang marah karena demo mahasiswa yang mengganggu jalan raya.
Selain itu, penyatuan mahasiswa ke masyarakat adalah tantangan besar. Sebab, seluruh tokoh bergelar “rasul” akan menyerahkan hidupnya dalam menyelamatkan masyarakat dari murka Tuhan. Namun, fakta ketika masyarakat marah dengan aksi-aksi mahasiswa mengganggu lalu lintas, atau bingung dengan diksi-diksi “kapitalisme”, “sosialisme”, atau bahasa-bahasa tinggi akademik lain yang tidak menyentuh hati publik, justru menjadi aspek yang melemahkan legitimasi tugas suci tersebut.
Oleh karena itu, proporsionalitas ideologis mahasiswa dalam memosisikan diri dalam pergerakan merupakan hal penting yang harus dilakukan saat ini. Terkadang, fanatisme hanya akan membuat seseorang terjerumus terhadap kesempitan berpikir dan keterbukaan. Kalimat heroisme romantis (sombong) semacam, “demo cuman lima jam, tapi penderitaan 5 tahun”, harus diakhiri dan lebih simpatik kepada masyarakat.