Minggu, Agustus 3, 2025

Strategi Kejut-Kagum

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Saya ingin menyelami nuansa rumit di balik kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Kesepakatan ini, yang disajikan langsung oleh Trump, dengan gamblang menyoroti sifatnya yang sangat sepihak. Secara blak-blakan, Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat tidak akan dikenakan tarif sama sekali atas barang-barang yang diimpor dari Indonesia. Namun, di sisi lain, Indonesia justru diwajibkan membayar tarif sebesar 19% untuk setiap ekspornya ke Negeri Paman Sam.

Lebih jauh, Trump dengan percaya diri menekankan bahwa inti dari kesepakatan ini adalah pembukaan akses bagi Amerika Serikat ke pasar Indonesia, sebuah peluang yang menurutnya belum pernah ada sebelumnya. Ia bahkan menyebutnya sebagai “mungkin bagian terbesar dari kesepakatan itu,” seolah-olah memberikan kesan bahwa akses ini adalah konsesi utama dari Indonesia yang membenarkan perbedaan tarif yang mencolok.

Ketika kita menilik lebih dalam rincian kesepakatan yang terungkap, terlihat jelas ketidakseimbangan yang signifikan dalam pertukaran ekonomi ini. Beban tarif 19% yang ditanggung Indonesia atas impornya ke AS hanyalah puncak gunung es. Di balik itu, Indonesia juga diwajibkan untuk membeli produk-produk Amerika Serikat dalam jumlah yang sangat besar. Komitmen ini meliputi minyak dan gas senilai $15 miliar, hasil pertanian senilai $4,5 miliar, dan bahkan 50 unit jet Boeing.

Yang menarik adalah bagaimana penurunan tarif dari ancaman awal 32% menjadi 19% disajikan oleh Trump sebagai sebuah “konsesi.” Namun, angka 19% ini sama sekali tidak bisa dianggap ringan. Faktanya, tarif 19% ini hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata tarif 5% yang biasanya dihadapi Indonesia pada tahun 2024. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang nilai sebenarnya dari “konsesi” tersebut dan sejauh mana kesepakatan ini benar-benar menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang.

Meskipun secara kasat mata persyaratan yang diajukan dalam kesepakatan dagang ini tampak berat sebelah dan kurang menguntungkan bagi Indonesia, respons dari Presiden Prabowo Subianto justru menampilkan nuansa kelegaan yang mengejutkan. Setelah melalui apa yang ia sebut sebagai “negosiasi yang cukup alot,” Presiden Subianto menyatakan adanya “pemahaman bersama tentang kepentingan kedua negara.” Ia mengkonfirmasi persetujuan atas tarif 19% yang, meski masih tinggi, merupakan penurunan signifikan dari ancaman awal 32%.

Pernyataannya yang menarik adalah bahwa ia berniat untuk terus bernegosiasi dengan Trump, sosok yang ia gambarkan sebagai “cukup sulit untuk diajak bernegosiasi.” Ini bukan sekadar penerimaan pasif, melainkan sebuah indikasi kuat bahwa Indonesia memandang kesepakatan ini sebagai jeda sementara (temporary reprieve), bukan sebagai perjanjian final yang tidak dapat diubah lagi. Ini adalah strategi menunda, berharap untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik di kemudian hari.

Di balik penerimaan Indonesia terhadap persyaratan yang tampak memberatkan ini terhampar kebutuhan ekonomi yang mendesak dan tak terhindarkan. Amerika Serikat, seperti yang kita tahu, merupakan pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia. Ini adalah gerbang vital bagi berbagai produk unggulan Indonesia, mulai dari pakaian jadi, minyak kelapa sawit, elektronik, alas kaki, hingga kosmetik.

Dengan nilai ekspor mencapai $28 miliar ke AS pada tahun lalu, taruhan yang dipertaruhkan sangatlah tinggi. Kenaikan tarif yang lebih tinggi, seperti ancaman awal, berpotensi melumpuhkan ekspor Indonesia secara parah, yang pada gilirannya akan memukul telak sektor ketenagakerjaan di dalam negeri.

Kita juga tak bisa melupakan dampak “perang dagang” yang sedang berlangsung; gejolak ini telah memaksa Indonesia untuk merevisi perkiraan pertumbuhannya ke bawah, sebuah tanda bahwa tekanan ekonomi sudah terasa. Bahkan dengan tercapainya kesepakatan tarif 19% ini, bayangan dampak negatif masih membayangi. Diperkirakan, tingkat tarif ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, berpotensi mengurangi ekspor ke AS hingga seperempat bagian, dan bahkan menghapus sekitar 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Dengan kata lain, pilihan Indonesia mungkin bukanlah antara kesepakatan yang baik dan buruk, melainkan antara yang buruk dan yang jauh lebih buruk. Ini adalah manuver yang terpaksa diambil demi menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri di tengah tekanan global yang kompleks.

- Advertisement -

Perjanjian perdagangan dengan Indonesia bukan sekadar transaksi bilateral; ia berfungsi sebagai cetak biru yang gamblang untuk strategi perdagangan Presiden Donald Trump. Pendekatan ini bisa dibilang sangat khas: dimulai dengan ancaman tarif yang ekstrem yang dirancang untuk menciptakan “kejutan dan kekaguman” pada mitra dagang. Tujuannya jelas, yaitu menempatkan negara target dalam posisi terpojok dan tertekan, memaksanya untuk mencari jalan keluar.

Setelah tekanan maksimal tercapai, barulah Trump akan menawarkan “kesepakatan” yang, meski tidak seekstrem ancaman awal, namun tetap merugikan pihak lain. Ini adalah taktik “pilih yang buruk atau yang lebih buruk.”

Tujuannya bukan semata-mata untuk mencapai kesepakatan yang adil, melainkan untuk mengamankan konsesi besar dan, yang terpenting, mewajibkan mitra dagang untuk membeli barang-barang Amerika Serikat, terlepas dari apakah barang-barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka. Ini adalah bentuk leverage yang kuat, di mana akses pasar AS menjadi alat tukar untuk keuntungan ekonomi unilateral.

Lebih dari sekadar kasus Indonesia, Trump sendiri secara terbuka mengisyaratkan bahwa strategi ini akan diterapkan secara global. Ia secara spesifik menyebut negosiasi yang sedang berlangsung dengan India dan Uni Eropa. Ini menyiratkan sebuah pesan yang jelas: kedua kekuatan ekonomi ini juga akan menghadapi tekanan yang serupa untuk menerima kesepakatan yang secara fundamental memprioritaskan kepentingan Amerika Serikat di atas segalanya.

Mereka mungkin akan dihadapkan pada skenario yang sama dengan Indonesia: potensi tarif yang lebih tinggi jika tidak tunduk, dan kewajiban pembelian produk AS yang signifikan. Pola ini bukan lagi negosiasi dagang konvensional, melainkan sebuah bentuk “pemaksaan yang secara longgar dikemas sebagai negosiasi.” Ini adalah pergeseran paradigma dalam diplomasi perdagangan, di mana kekuatan ekonomi digunakan untuk mendikte syarat, bukan untuk mencari keuntungan bersama. Dunia menyaksikan dan mengamati, menunggu siapa lagi yang akan menjadi target berikutnya dari strategi “kejut dan kagum” ini.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.