Rabu, Agustus 6, 2025

FORNAS: Saatnya Olahraga Rakyat Diangkat Setara dengan Olahraga

Amanda Dwitiya Pebriani
Amanda Dwitiya Pebriani
Saya merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang kini aktif sebagai pemerhati sosial terutama isu-isu yang berkaitan dengan Kesehatan, Pendidikan, dan Disabilitas.
- Advertisement -

Kalau mendengar kata FORNAS, banyak orang mungkin masih mengernyit, bahkan mengira itu nama festival musik atau acara promosi daerah. Wajar saja, Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) memang belum sepopuler PON yang selama ini menjadi lambang kemegahan olahraga nasional.

Tapi yang terjadi di NTB tahun ini layak jadi titik balik. Lewat strategi yang cerdas, FORNAS tidak lagi sekadar perayaan olahraga rakyat—ia telah menjelma menjadi gerakan nasional yang layak mendapat panggung lebih besar, bahkan dipertandingkan secara serius.

NTB sebagai tuan rumah menyadari bahwa FORNAS VIII bukan hanya soal pertandingan, tapi tentang memperjuangkan eksistensi olahraga rekreasi sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya dan kesehatan masyarakat. Itulah mengapa branding yang dilakukan tidak main-main. Tokoh nasional seperti AHY, Taufik Hidayat, dan Giring digunakan bukan sekadar untuk meramaikan, tapi untuk memberi pesan: olahraga rekreasi itu keren, layak ditonton, dan layak jadi ajang kompetisi resmi.

Tapi mengapa penting olahraga-olahraga ini dijadikan lomba? Karena selama ini, cabang-cabang seperti tarik tambang, pelayang, atau line dance hanya dianggap “hiburan”, padahal di balik kesederhanaannya, olahraga-olahraga ini mengandung nilai budaya, kekompakan, dan daya tarik lokal yang kuat.

Tentunya perlu dipastikan tidak bertolak belakang dengan adat dan budaya di masing-masing daerah. Jika dikelola dan dilombakan dengan serius seperti yang dilakukan di FORNAS, maka olahraga rekreasi bisa punya ekosistem sendiri, membuka ruang kompetisi sehat yang inklusif dan mendatangkan dampak ekonomi nyata. Ini bukan lagi tentang nostalgia masa kecil bermain bakiak atau egrang, ini tentang bagaimana warisan permainan rakyat itu bisa dijadikan kompetisi yang hidup dan membanggakan.

Pengembangan FORNAS sebagai ajang lomba resmi juga penting karena ia membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Tidak semua orang punya akses atau kemampuan untuk menjadi atlet profesional dalam cabang-cabang besar seperti atletik atau bulu tangkis. Tapi hampir semua orang bisa ikut dalam lomba senam poco-poco, lari karung, atau e-sport berbasis komunitas. FORNAS membuktikan bahwa olahraga bisa menyatukan, tanpa harus diseleksi ketat atau diklasifikasikan elit.

Tidak kalah penting, FORNAS memperlihatkan bahwa olahraga bisa berjalan beriringan dengan pariwisata. Bayangkan datang ke Lombok untuk ikut lomba dayung tradisional sambil menikmati pantai, atau bertanding egrang di kaki Gunung Rinjani. Olahraga rekreasi yang dilombakan membuka peluang baru untuk sport tourism, yang tidak hanya terbatas pada event besar seperti MotoGP.

Situasi ini bisa menyedot perhatian nasional bukan karena megahnya stadion, tapi karena kuatnya kedekatan emosional dan budaya, maka di situlah letak kekuatan sejatinya. Dan karena itulah, olahraga-olahraga rakyat ini pantas dikembangkan jadi lomba resmi yang rutin dan terstruktur. Bukan sekadar festival tahunan, tapi sebagai bagian dari sistem olahraga nasional yang dihargai.

Amanda Dwitiya Pebriani
Amanda Dwitiya Pebriani
Saya merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang kini aktif sebagai pemerhati sosial terutama isu-isu yang berkaitan dengan Kesehatan, Pendidikan, dan Disabilitas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.