Mereka mati karena disakiti. Namun, yang kita warisi hanya rasa takut, bukan empati. Kuntilanak, sundel bolong, suster ngesot, mak lampir—tokoh-tokoh hantu perempuan yang akrab di benak masyarakat Indonesia ini punya pola cerita yang serupa. Mereka adalah perempuan yang mati secara tidak wajar, penuh dendam, dan kembali untuk menghantui.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, kisah mereka bukan sekadar cerita seram, tapi juga menyimpan jejak panjang tentang bagaimana trauma perempuan diolah menjadi teror dalam budaya patriarki.
Hampir semua mitos hantu perempuan berasal dari pengalaman sebagai korban: kekerasan seksual, pengkhianatan, pengabaian, atau penolakan masyarakat. Bayangkan seorang perempuan muda, perutnya membesar, matanya sembab, berdiri di depan rumah keluarganya yang menolak mengakuinya.
Malam itu ia melahirkan sendiri, di bawah pohon, lalu mati dengan luka dan malu yang tak pernah sempat diredakan. Esoknya, ia disebut sundel bolong—bukan korban, tapi hantu. Suster ngesot juga bukan sekadar urban legend; dalam cerita asalnya, ia adalah perempuan muda yang diperkosa di rumah sakit lalu dibuang dan mati sendiri di lorong. Kuntilanak pun lahir dari kisah perempuan yang wafat dalam kehamilan atau karena disakiti pasangannya, tapi kemudian dikenang hanya dari tawa seramnya.
Cerita-cerita ini tidak memberi ruang pada penderitaan yang mendahului kematian. Alih-alih membicarakan siapa yang menyakiti mereka, kita lebih suka fokus pada jeritannya di tengah malam. Ketakutan menggantikan empati. Trauma mereka dihapus dari narasi, diganti dengan stigma dan kutukan.
Dengan kata lain, budaya kita mengalihkan fokus dari luka menjadi teror. Kita jarang bertanya siapa yang menyakiti mereka, apa yang membuat mereka begitu marah, dan sistem macam apa yang membiarkan mereka terluka. Yang kita wariskan justru rasa takut. Cerita-cerita ini bukan hanya tidak memberi ruang bagi pengalaman perempuan sebagai korban, tetapi juga memelintir kemarahan mereka menjadi ancaman. Seolah-olah perempuan yang marah dan tidak termaafkan adalah sesuatu yang harus dijauhi dan dibungkam, bahkan setelah mereka mati.
Narasi seperti ini memperlihatkan bagaimana patriarki bekerja dalam ranah budaya: ia mengubah rasa bersalah kolektif menjadi cerita-cerita yang menakuti. Maka, perempuan yang dibunuh tidak dikenang sebagai korban kekerasan, melainkan sebagai momok di jalanan malam. Perempuan yang diperkosa tidak dibela, tapi diubah jadi simbol horor yang menghantui ruang publik. Trauma mereka tidak dibicarakan, hanya diulang sebagai cerita yang menegaskan bahwa perempuan yang tidak sesuai norma akan menerima kutukan, bukan keadilan.
Apa yang sebenarnya sedang kita takuti dalam cerita ini?
Barbara Creed menyebut ini sebagai monstrous-feminine: perempuan sering kali digambarkan sebagai makhluk mengerikan karena tubuh, seksualitas, dan kemarahannya dianggap tidak terkendali. Hantu perempuan adalah simbol dari sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh sistem sosial—baik secara moral, seksual, maupun emosional. Maka, mereka tidak ditempatkan sebagai korban, melainkan sebagai ancaman terhadap keteraturan.
Ini juga menjelaskan mengapa masyarakat lebih takut pada perempuan yang marah daripada pada sistem yang menyakiti mereka. Ketika perempuan marah, budaya segera memberi label “gila”, “kerasukan”, atau “tidak tahu diri”. Alih-alih mendengarkan kemarahan itu sebagai tanda adanya luka, masyarakat justru menciptakan narasi bahwa kemarahan perempuan adalah bukti bahaya. Maka muncullah karakter hantu perempuan yang membalas dendam, tapi bukan untuk menggugah empati, melainkan untuk mengukuhkan rasa takut.
Narasi-narasi ini diwariskan terus dalam bentuk dongeng, cerita rakyat, film horor, bahkan humor sehari-hari. Anak-anak ditakut-takuti agar tidak keluar malam karena bisa disambar kuntilanak. Remaja perempuan diberi pesan-pesan tersirat: jangan terlalu bebas, jangan keluar malam, jangan menyimpang dari norma—karena bisa “jadi seperti sundel bolong”. Cerita ini menjadi mekanisme kontrol sosial terhadap tubuh dan perilaku perempuan, bukan sekadar hiburan atau tradisi lisan.
Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa ratusan ribu perempuan di Indonesia mengalami kekerasan setiap tahunnya—baik di ranah privat maupun publik. Tapi alih-alih membuka ruang empati, budaya kita justru mengalihkan luka itu menjadi cerita yang menakut-nakuti. Bukan pelaku yang kita takuti, tapi perempuan yang disakiti. Bukan ketidakadilan yang kita lawan, tapi perempuan yang marah karenanya.
Ini adalah bentuk penguburan trauma yang tidak pernah selesai. Perempuan-perempuan dalam cerita horor itu tidak pernah benar-benar diberi ruang untuk bicara. Mereka hanya dihidupkan kembali untuk menakuti, bukan untuk didengarkan. Mereka diubah menjadi peringatan moral, bukan panggilan untuk keadilan.
Maka, jika kita ingin menjadi masyarakat yang lebih adil bagi perempuan, mungkin langkah awalnya adalah membaca ulang cerita-cerita ini. Mungkin sundel bolong bukan sekadar hantu jahat, tapi simbol dari stigma terhadap perempuan yang hamil di luar nikah. Mungkin kuntilanak bukan sekadar suara tawa seram di pohon, tapi representasi dari perempuan yang tubuh dan hidupnya diabaikan. Dan mungkin yang lebih pantas kita takuti bukan sosok-sosok ini, tapi sistem yang membuat mereka tak pernah sempat hidup damai, bahkan setelah mati.
Perempuan yang marah bukan masalah. Masalahnya adalah kita hidup dalam masyarakat yang selalu berusaha membungkam kemarahan itu dengan cerita, dengan stigma, dengan mitos. Selama itu terus berlangsung, hantu-hantu perempuan akan terus datang. Bukan untuk menakuti, tapi untuk mengingatkan.