Sabtu, Agustus 16, 2025

Sore: Cinta, Perempuan, dan Waktu yang Mengulang Beban

Maya Novalia
Maya Novalia
Penulis amatir.
- Advertisement -

Apa jadinya jika cinta bukan soal berbunga-bunga, tapi justru kerja emosional yang melelahkan? Film Sore: Istri dari Masa Depan membuka pertanyaan itu lewat cara yang tak biasa: seorang perempuan dari masa depan tiba-tiba muncul di kamar, duduk di tepi ranjang, dan mengaku sebagai istri laki-laki yang bahkan belum mengenalnya. Begitulah cara film ini mengawali konflik cerita.

Disutradarai oleh Yandy Laurens, sineas yang dikenal dengan gaya penceritaan humanis dan hangat, film ini awalnya tampak seperti kisah romansa-fantasi. Namun, di balik senyum lembut Sore (Sheila Dara) dan kekakuan Jonathan muda (Dion Wiyoko), ada cerita yang jauh lebih dalam: tentang perempuan yang memikul beban perubahan laki-laki, sendirian

Sore hadir ke masa lalu untuk memperbaiki kehidupan Jo yang kecanduan rokok dan alkohol. Sebab, di masa depan, Jo diceritakan meninggal karena serangan jantung akibat pola hidup yang tidak sehat.

Namun, seperti yang kerap terjadi dalam fiksi perjalanan waktu, upaya itu tidak semulus yang dibayangkan. Sore harus berkali-kali mengulang level. Setiap kali gagal menyentuh hati Jo atau ketika Jo kembali pada kebiasaan lamanya, waktu menariknya kembali ke titik awal: pagi itu, ranjang itu, senyum itu. Semacam restart yang memaksa Sore memulai semuanya dari nol. Awalnya, scene itu cukup membuat saya lelah karena menyita cukup banyak waktu penayangan film.

Pada titik ini, Yandy Laurens tampil piawai meramu kelelahan emosional dalam visual yang repetitif. Kita diajak merasakan penatnya menjadi Sore—mencintai, memandu, lalu ditolak dan dilupakan. Berulang kali. Ini sekaligus menjadi kekuatan utama film: menghadirkan cinta tak sebatas perasaan manis, melainkan kerja emosional yang melelahkan.

Tapi di balik simbolisme itu, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: apakah Sore sungguh merdeka atas dirinya sendiri?

Karakternya memang tampil kuat, berani, penuh kasih. Sayangnya, kehadirannya tak lebih dari katalis perubahan untuk tokoh laki-laki. Seolah cinta membuatnya bersedia menanggung semua risiko, bahkan mati berulang kali, demi menyelamatkan kehidupan sang suami. Dalam relasi itu, Sore bukan subjek yang utuh, melainkan objek dari harapan, keinginan, dan kebutuhan emosional Jo.

Jika menggunakan pisau analisis male gaze yang digagas Laura Mulvey, film ini tak sepenuhnya lepas dari bayangan cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Cerita tetap berpusat pada kebutuhan Jo untuk bertumbuh, dengan Sore sebagai figur yang mendukung narasi itu: lembut, sabar, penuh pengertian, dan rela mengorbankan segalanya demi cinta.

Kita boleh saja tergoda menyebut Sore sebagai tokoh perempuan kuat. Apalagi perannya menyiratkan bahwa perempuan punya kematangan secara emosional.

Tapi dalam lanskap film romansa yang ditulis dan disutradarai laki-laki, kekuatan itu kadang sekadar kemasan dari peran tradisional yang masih melanggeng: perempuan sebagai penyelamat laki-laki. Beban emosional cinta masih sepenuhnya ditimpakan pada pihak perempuan, tanpa menawarkan alternatif relasi yang setara.

- Advertisement -

Film ini memang menyentuh, menyayat, dan menyimpan makna reflektif. Tapi ketika perempuan terus ditempatkan sebagai jembatan bagi pertobatan laki-laki, kita patut bertanya ulang: siapa yang sebenarnya memiliki cerita ini?

Dalam banyak karya Yandy Laurens, kita memang kerap dibawa ke ranah cerita yang sarat nilai kemanusiaan—keluarga, cinta, dan hubungan personal. Namun, justru karena itu, film ini menarik dibaca dalam kerangka yang lebih kritis, terutama ketika tema relasi gender dan representasi perempuan ikut dimasukkan. Sebab, siapa yang menjadi penggerak cerita dan siapa yang jadi alat untuk menggerakkan, adalah soal penting dalam narasi fiksi.

Sore bisa dipahami sebagai alegori dari perempuan-perempuan yang rela ’mengulang’ upaya demi menyelamatkan relasi yang timpang. Meski menggunakan genre fiksi ilmiah dan romansa, kisah ini membingkai kembali mitos perempuan ideal: penyabar, pengampun, dan rela berkorban. Ini sejalan dengan temuan dalam kajian feminis bahwa banyak narasi arus utama menjadikan perempuan sebagai ’penyembuh’ luka laki-laki. Padahal, beban itu tak seharusnya terus-menerus menjadi tanggung jawab satu pihak saja.

Sebagai penonton, kita tak hanya berhak menikmati cerita, tapi juga mempertanyakan narasi yang disodorkan. Maka, sudah saatnya sineas—terutama laki-laki—ikut memikirkan representasi perempuan bukan sebagai pendukung cerita laki-laki, tapi sebagai subjek yang otonom, kompleks, dan memiliki agenda hidupnya sendiri. Kita butuh lebih banyak tokoh perempuan yang tidak hanya kuat karena tahan menderita, tetapi juga kuat karena bisa berkata cukup, memilih dirinya, dan menentukan arah cerita.

Menariknya, repetisi yang dialami Sore juga bisa dibaca sebagai bentuk simbolik dari siklus relasi yang stagnan. Ia bukan sekadar mengulang waktu, melainkan terus-menerus dihadapkan pada kebuntuan perubahan laki-laki yang ia cintai. Dalam hal ini, film secara tidak langsung mempertanyakan: apakah cinta cukup untuk mengubah seseorang, atau justru cinta kerap dijadikan alasan untuk bertahan dalam pola yang menyakitkan?

Namun, film ini juga membuka ruang tafsir yang lebih kompleks jika kita menilik cara kerja waktu sebagai metafora. Repetisi yang dialami Sore bukan hanya persoalan fiksi ilmiah, melainkan cerminan dari pola relasi yang kerap dialami perempuan dalam kehidupan nyata: terus berupaya memperbaiki, terus bersabar, dan terus mengulang meski hasilnya nihil. Waktu dalam film ini bekerja bukan sebagai garis lurus, tapi sebagai lingkaran yang memerangkap perempuan dalam beban emosional yang tak berkesudahan.

Dalam kacamata kritik feminis, Sore adalah figur tragis yang menunjukkan betapa perempuan sering kali dibebani tanggung jawab emosional dalam relasi. Ia tak diberi ruang untuk lelah, apalagi menyerah. Sebaliknya, ia harus tetap tabah, penuh harap, dan percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Padahal, keyakinan seperti itu bisa sangat berbahaya ketika membuat seseorang bertahan dalam hubungan yang tak sehat.

Alih-alih menjadi narasi transformasi dua arah, film ini memperlihatkan relasi satu arah: hanya Sore yang berjuang, hanya ia yang bertransformasi, sementara Jo tetap menjadi pusat dari segalanya. Di sinilah kita perlu waspada pada romantisasi cinta sepihak yang terlalu sering dirayakan dalam budaya populer.

Maya Novalia
Maya Novalia
Penulis amatir.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.