Sabtu, Agustus 2, 2025

Waktu yang Tak Bisa Kita Ajari Apa-Apa

Moh. Cholid Baidaie
Moh. Cholid Baidaie
Moh. Cholid Baidaie menulis karena ada yang tak selesai di dalam diri, dan sebagian luka hanya bisa dijahit oleh kata-kata. Tinggal di Madura, mencatat hal-hal kecil yang sering luput dilihat, dan mempercayai bahwa setiap manusia menyimpan kisah yang layak diceritakan—terutama yang tak bersuara.
- Advertisement -

Kita bisa mencatat tanggal penting, menyetel alarm, menulis rencana sebulan ke depan. Tapi waktu tidak peduli pada catatan. Ia tidak belajar dari kalender. Ia lewat begitu saja, membawa serta yang lambat, meninggalkan yang lalai.

Waktu ternyata bukan benda yang bisa kita tahan atau ajak bicara. Kita kira kita sedang menunggu sesuatu, padahal waktu tak menunggu kita. Ia terus berjalan, bahkan saat kita diam. Dan yang lebih pahit: waktu tidak bisa kita ajari apa-apa. Ia tidak peduli pada niat baik, tidak tunduk pada kesedihan, dan tidak mengubah arah hanya karena kita menyesal.

Saya pernah berpikir, bahwa waktu bisa dilatih. Bahwa jika saya cukup sabar, cukup tenang, saya akan menemukan ritme yang pas untuk hidup ini. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: waktu seperti ombak. Ia menggulung semua yang saya simpan baik-baik di kepala. Nama. Janji. Bahkan rasa. Semuanya diseret ke garis yang tak bisa saya lihat.

Ada orang-orang yang hidupnya begitu disiplin, jam tangannya disetel dengan cermat, kalendernya penuh catatan dan alarm. Tapi waktu tetap tak bisa diajak kompromi. Ia tetap melesat dengan caranya sendiri, membiarkan kita terengah-engah mengejar sesuatu yang mungkin tak pernah benar-benar datang.

Saya teringat kisah seorang kawan yang kehilangan ibunya karena terlambat pulang. Ia hanya telat beberapa jam. Tapi setelah itu, waktu tak pernah memberinya kesempatan ulang. Ia sering bercerita kepada saya bahwa andai waktu bisa diajak negosiasi, ia rela menukar beberapa tahun hidupnya hanya untuk memeluk ibunya satu menit saja. Tapi waktu tidak bisa disogok. Ia tidak kenal tukar tambah.

Barangkali itu sebabnya kita merasa waktu kejam, padahal waktu hanya setia pada dirinya sendiri. Kita yang terlalu sombong mengira bisa mengendalikan apa yang tak bisa dijinakkan.

Dalam satu penggalan puisinya, Jalaluddin Rumi menulis, “Jangan berusaha mengendalikan waktu. Engkau hanya akan kehabisan waktu untuk mengerti apa itu waktu.” Kalimat itu terasa seperti cermin retak—kita melihat diri kita sendiri di dalamnya, tapi tak utuh. Karena memang hidup tak pernah utuh dalam genggaman kita.

Di ruang yang lebih luas, waktu juga mempermainkan bangsa-bangsa. Kita sering membanggakan sejarah, tapi jarang belajar dari padanya. Kita menamai masa lalu dengan nostalgia, masa kini dengan krisis, dan masa depan dengan rencana. Tapi waktu tidak hidup dalam penamaan itu. Ia berjalan tanpa melihat arah kompas kita. Itulah sebabnya janji-janji politik bisa kadaluwarsa sebelum sempat diucapkan sepenuhnya. Rencana lima tahun bisa runtuh oleh satu minggu ketidaksiapan.

Saya sering melihat anak-anak muda berbicara tentang masa depan seolah itu peta yang bisa mereka gambar ulang setiap saat. Dan saya senang mereka punya keyakinan seperti itu. Tapi diam-diam saya ingin berbisik kepada mereka, bahwa peta itu kadang terbakar di tengah jalan. Dan tak ada waktu untuk membuat salinan.

Waktu juga sering gagal kita ajari tentang cinta. Seseorang bisa mencintai dengan sungguh-sungguh, tapi terlambat menyatakannya. Atau sebaliknya, terlalu cepat memaksa seseorang untuk percaya. Lalu dua hati yang seharusnya bisa saling mengisi malah saling menyakiti. Karena waktu bukan hanya soal kapan, tapi juga bagaimana. Dan kita sering tidak tahu bagaimana.

- Advertisement -

Dalam hidup saya, ada beberapa kata yang tak sempat diucapkan. Ada orang-orang yang saya kira akan terus ada, tapi ternyata tidak. Dan saat saya ingin menebus semuanya, waktu sudah pergi terlalu jauh. Yang tersisa hanya rasa bersalah yang perlahan berubah menjadi kebisuan.

Barangkali yang paling menyakitkan dari waktu adalah ini: ia membuat kita sadar bahwa sebagian hal tidak akan pernah bisa dikembalikan, meskipun kita menangis seumur hidup. Karena waktu, seperti laut, tidak mengembalikan kapal yang sudah karam.

Tapi saya tidak ingin menulis ini hanya untuk membuat kita takut. Saya hanya ingin kita pelan-pelan belajar berdamai. Bukan dengan waktu—karena ia tidak bisa diajak berdamai. Tapi dengan diri kita sendiri, yang terlalu sering merasa mampu mengatur segalanya.

Jika waktu tidak bisa diajari apa-apa, maka mungkin kitalah yang perlu belajar lebih banyak darinya. Belajar menepati. Belajar melepas. Belajar bahwa tidak semua hal harus sampai. Ada yang cukup kita kenang. Ada yang cukup kita doakan dari jauh.

Karena pada akhirnya, waktu tidak menunggu siapa pun. Tapi mungkin, jika kita hidup dengan tenang, ia akan lewat dengan lebih lembut.

Moh. Cholid Baidaie
Moh. Cholid Baidaie
Moh. Cholid Baidaie menulis karena ada yang tak selesai di dalam diri, dan sebagian luka hanya bisa dijahit oleh kata-kata. Tinggal di Madura, mencatat hal-hal kecil yang sering luput dilihat, dan mempercayai bahwa setiap manusia menyimpan kisah yang layak diceritakan—terutama yang tak bersuara.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.