Minggu, Juli 20, 2025

Indonesia yang Luka, Indonesia yang Percaya

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.
- Advertisement -

Kita baru saja melewati musim politik yang riuh. Tetapi setelah semua gegap itu surut, tersisa sebuah kesunyian yang tak banyak dibicarakan: keheningan di hati kita sebagai bangsa. Sebuah kelelahan yang tak bisa disurvei. Sebentuk luka sosial yang tak bisa disensor oleh algoritma.

Dalam sebuah momen, Presiden Prabowo Subianto—dengan gaya retoriknya yang khas seperti sedang kampanye—menyentil soal kekuatan asing yang tengah mengintai keretakan kita. Bagi sebagian orang, pernyataan itu mungkin terasa keras. Tapi bagi saya, itu seperti gema dari ruang sunyi bangsa ini. Karena memang, kita sedang retak—bukan karena kita berbeda pilihan, tapi karena kita kehilangan kepercayaan.

Bayangkan, kita tak lagi percaya pada niat baik orang lain. Kita waspada pada sapaan yang berbeda kubu. Ya, kita hidup menjadi penuh wasangka gara-gara berlain pandangan. Kita gugup saat perbedaan muncul dalam obrolan keluarga di meja makan. Polarisasi tak lagi sekadar residu politik, tapi telah menjadi habitus emosional bangsa yang mencekam.

Tengoklah survei Litbang Kompas Januari 2025: menyebutkan bahwa 80,9% masyarakat puas pada 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Tapi di balik angka itu, keraguan terus membeku di ruang sosial. Approval rate naik, tapi social trust malah runtuh. Ini tentu bukan hanya soal siapa yang memimpin, tapi tentang bagaimana kita hidup bersama setelahnya.

Robert Putnam dan Francis Fukuyama sejak lama telah mengingatkan. Menurutnya, modal sosial adalah nyawa dari demokrasi. Tanpa kepercayaan satu sama lain, kita bukanlah bangsa. Melainkan hanya sekumpulan individu yang saling bertahan, tapi tak lagi saling percaya dan saling paham. Dalam kondisi seperti itu, demokrasi pun mati.

Maka pertanyaannya: bagaimana kita bisa pulih? Bagaimana kita bisa percaya lagi, bukan hanya pada pemerintah, tapi pada sesama warga?

ASTACITA sebagai Imajinasi Moral dan Etika Sosial Baru

ASTACITA—akronim dari Asta Cita atau Delapan Cita Indonesia Maju—dalam pandangan saya bukanlah sekadar peta jalan pembangunan, apalagi sekadar slogan pemerintahan. Ia mestinya dibaca sebagai jembatan batin untuk mengembalikan sesuatu yang kini terasa langka: kepercayaan satu sama lain sebagai sesama warga bangsa.

Karena bangsa yang retak tak cukup disatukan oleh hutan beton dan sistem birokrasi. Ia butuh jalinan nilai, narasi yang memulihkan, dan imajinasi bersama yang menghidupkan kembali rasa sebangsa: senasib, sejiwa, sepenanggungan.

ASTACITA bukanlah instruksi dari atas. Ia adalah undangan kultural untuk menenun kembali etika sosial kita. Ia hanya mungkin hidup jika dibincangkan dan diamalkan (way of life) dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dalam obrolan warung kopi, dalam kelas-kelas sekolah, di balik bilik produser yang sibuk merumuskan ide cerita, di ruang-ruang keluarga yang bersilang pendapat, atau bahkan di media sosial yang sering jadi medan luka.

Saya membayangkannya seperti ini: kita duduk di meja yang sama. Meja panjang bernama Indonesia. Di sana, tak penting siapa dulu memilih siapa. Atau, kita berasal dari mana. Lupakan. Yang penting: kita masih mau saling mendengar, bukan saling menuding. Apalagi mengancam. Di sanalah ASTACITA menemukan hidupnya—bukan dalam slide PowerPoint, tapi dalam sikap hidup dan percakapan antarwarga dengan penuh cinta.

- Advertisement -

Charles Taylor menyebutnya sebagai moral imaginary: kemampuan bersama untuk membayangkan masa depan secara etis. Jika dipraktikkan sebagai nilai hidup, ASTACITA bisa menjadi nalar baru dalam bermasyarakat—sebuah etika merawat, bukan menang-menangan. Ia mengingatkan kita bahwa keberagaman bukan sekadar fakta statistik, melainkan tanggung jawab moral-etis yang harus dipelihara dengan kasih dan kedewasaan.

Inilah saatnya ASTACITA tidak hanya dikenal sebagai dokumen negara atau program teknokratik, tetapi menjadi nilai yang membumi, khususnya di kalangan anak muda. Sebab merekalah pewaris dan penjaga masa depan bangsa ini. Karena itu, ASTACITA perlu disosialisasikan secara kreatif dan menyentuh: melalui karya seni, platform digital, pendidikan karakter, film, musik, hingga gerakan sosial yang membangkitkan empati dan kesadaran.

Jika kepercayaan adalah pondasi bangsa, maka ASTACITA bisa menjadi nama lain dari usaha merawatnya. Ia bukan sekadar rencana, tapi harapan yang hidup. Harapan yang menuntut kita untuk kembali percaya; bukan hanya pada negara, tapi pada sesama anak manusia. 

Bangsa yang Pulih dari Dalam

Kita sering salah mengira bahwa luka bangsa bisa diselesaikan lewat proyek infrastruktur. Kita lupa bahwa bangsa adalah soal rasa. Soal ruang batin yang saling mengamini, bukan saling mengunci.

Di sinilah ASTACITA mesti dibaca sebagai soft power kebangsaan. Sebagai strategi sunyi untuk menyembuhkan luka yang tak kelihatan. Bukan dengan retorika, tapi dengan rekayasa moral yang membumi. Bukan dengan seminar elite, tapi dengan bahasa sehari-hari yang menyapa: mengasyikkan sekaligus menggetarkan. Membekas di benak warga.

Benar. Sejarah Indonesia tak pernah steril dari luka. Tapi kita juga tak pernah kehilangan harapan. Kita pernah bangkit dari penjajahan, menyatu dalam Sumpah Pemuda, mereformasi rezim, dan bertahan dalam pandemi. Artinya, kita punya daya untuk bangkit. Tapi kali ini, yang harus kita pulihkan bukan hanya ekonomi atau birokrasi—melainkan iman sosial kita sebagai sesama anak bangsa.

ASTACITA bisa menjadi nama lain dari upaya kolektif itu: merajut kembali kepercayaan yang koyak, menyulam kembali simpul-simpul kebangsaan yang nyaris lepas. Kalau kita masih percaya bahwa Indonesia bukan sekadar angka dan kekuasaan, tapi tentang wajah-wajah yang saling menyapa—maka ASTACITA adalah salah satu jalannya.

Karena yang sedang kita butuhkan bukan hanya seorang pemimpin kuat, tapi bangsa yang percaya. Dan percaya, seperti luka, selalu dimulai dari hati yang bersedia pulang.[]

Deden Ridwan
Deden Ridwan
Alumnus Jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1997), termasuk 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah—buku yang disunting Prof. Dr. Sukron Kamil (2020). Dia pernah belajar di Universitas Leiden, Belanda (2002-2003). Hidupnya dihabiskan di dunia industri kreaif, baik sebagai penulis, pegiat buku dan konten profesional maupun produser. Film terbarunya, Lafran, Demi Waktu, segera tayang (2021). Kini Deden menjadi founder & CEO Reborn Initiative.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.