Minggu, Juli 20, 2025

Shame Culture di Kelas

Raja Wirayuda
Raja Wirayuda
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPI
- Advertisement -

Di ruang kelas, keheningan sering kali lebih dominan daripada diskusi antar teman. Padahal idealnya, kelas adalah tempat di mana pikiran-pikiran segar dan perdebatan sehat tumbuh subur.

Namun, kenyataannya banyak siswa yang enggan mengemukakan pendapatnya karena rasa takut, baik itu takut salah, takut dinilai, bahkan takut dianggap tidak sopan. Fenomena ini bukan sekadar masalah individual, melainkan cerminan dari shame culture yang membunuh keberanian beropini dalam dunia pendidikan kita. Masalah sosial ini jika tetap dibiarkan, maka dapat membunuh ide-ide kreatif dari para siswa hanya karena mereka takut untuk berpendapat di ruang kelasnya.

Shame Culture dan Potensi Membunuh Gagasan

Shame culture adalah sebuah budaya dimana seseorang enggan untuk melakukan sesuatu karena didasari oleh rasa malu, malu akan konsekuensi dari sesuatu yang ingin ia lakukan. Rasa malu ini menjadi pengendali utama dalam berperilakunya seseorang. Di Asia, ini dianggap sebagai sopan santun dengan menjaga “muka”. Namun, dalam dunia pendidikan, budaya ini menjadi boomerang dimana siswa takut bertanya, takut menyanggah, dan takut terlihat bodoh meskipun diamnya justru menunjukkan ketidaktahuan yang dibiarkan tumbuh.

Siswa yang mengemukakan pendapat sering kali mendapat tatapan sinis atau komentar yang membuat mereka merasa malu. Belum lagi apabila pendapatnya terdengar konyol, dapat menyebabkan dirinya ditertawakan oleh murid lain, semakin memperburuk situasi. Konsekuensi yang diprediksi akan terjadi oleh para murid, membuat mereka lebih memilih untuk diam dibandingkan untuk mengambil resiko.

Dalam pengamatan penulis, mayoritas kaum pelajar Indonesia bahkan mahasiswa sekalipun menghadapi masalah yang sama. Jika tidak percaya, anda dapat melihat pada website berita online yang membahas masalah serupa seperti Mojok, Kompasiana, Milenialis, bahkan diskusi yang dilakukan pada website Quora melalui hyperlink. Bahkan banyak artikel jurnal ilmiah yang sudah membahas mengenai masalah ini yang menunjukan ini adalah masalah nasional.

Mereka bukannya tidak tau ketika ditanya oleh guru, atau merasa sudah pintar ketika tidak ingin bertanya, akan tetapi mereka hanya takut. Sejatinya para pelajar ini memiliki niat untuk bersuara di dalam kelas, akan tetapi melihat teman-temannya yang diam maka ia memilih untuk ikut diam. Ketakukan ini didasari oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kekuasaan yang dimiliki oleh guru.

Ego Guru yang Mematikan

Guru tentunya memiliki posisi yang penting di dalam kelas, sebagai sosok pengajar yang menyimpan materi-materi penting. Kita sendiri pun mengetahui bahwa untuk menjadi guru tidaklah mudah, diperlukan level pengetahuan yang tinggi serta harus melewati banyak tahapan untuk menjadi guru sekolah.

Tanpa disadari, sistem pendidikan kita kerap menempatkan guru sebagai pemegang kebenaran mutlak, sehingga ruang untuk berdialog secara setara pun menyempit. Tidak sedikit dari guru merasa bahwa posisinya harus dihormati karena perjuangan akademik yang panjang, merasa apa yang ia ajarkan harus diterima sepenuhnya. Sehingga, ketika ada murid yang tidak setuju dengan apa yang ia ucapkan, alih-alih menerima pendapat tersebut ia membantah dan menyalahkan murid tersebut karena memiliki pemahaman yang berbeda.

Seringkali ketika guru bertanya ia hanya mencari jawaban yang bersifat “benar” atau “salah”, layaknya pada pelajaran matematika. Ketika murid menjawab salah, guru seringkali mempertanyakan siswa tersebut mengapa ia bisa salah menjawab padahal materi yang ditanyakan sudah diajarkan sebelumnya. Alih-alih menjelaskan ulang materinya, guru seringkali “merendahkan” secara tidak langsung kepada muridnya mengapa ia bisa tidak mengerti, bahkan ada yang merendahkan secara frontal. Kejadian ini menyebabkan rasa traumatis bagi para pelajar, menyebabkan ia untuk tidak aktif di kelas bahkan berakhir membenci gurunya.

Selama pengalaman penulis dalam menimba ilmu, pola serupa terjadi mulai dari jenjang SMP hingga perguruan tinggi, dengan SMA merupakan masa dimana saya sering menghadapi masalah serupa. Meskipun begitu, tidak semua guru bertindak demikian, praktik-praktik seperti mempertanyakan kesalahan atau merendahkan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi siswa dan beberapa guru pun mengetahui akan ini. Akan tetapi, masih adanya berita dan diskusi online yang membahas masalah ini menandakan bahwa masih adanya oknum guru yang menggunakan cara mengajar otoriter. Lantas solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah ini?

- Advertisement -

Solusi dan Ajakan Bagi Generasi Muda

Untuk permasalahan ini, penulis memiliki solusi yang dapat diberikan. Untuk guru, berhentilah menanyakan pertanyaan yang bersifat “benar” atau “salah”, berikanlah pertanyaan yang berbasis pendapat sehingga tidak ada jawaban benar atau salah. Pertanyaan seperti ini akan mendorong siswa untuk menyuarakan opini mereka karena tidak ada jawaban benar atau salah, semua berdasarkan pendapat masing-masing.

Apabila memang dalam pelajaran tertentu pertanyaan “benar” atau “salah” diperlukan, jika murid menjawab salah jangan disalahkan bahkan direndahkan karena ketidaktahuan mereka. Guru perlu mengembangkan metode evaluasi yang tidak hanya berfokus pada jawaban tunggal, tetapi juga proses berpikir dan argumentasi. Murid bisa menjawab bahwa langit itu merah selama rasionalisasinya masuk akal bukan?

Kelas seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir dan bersuara, bukan ruang ujian untuk mencari jawaban paling benar. Jika para siswa terus dicekam rasa malu, bukan hanya suara mereka yang hilang tapi juga ide, keberanian, dan masa depan.

Untuk para siswa, para pemuda generasi bangsa yang berkualitas, Beranilah mengemukakan pendapat, meski belum sempurna, adalah langkah awal untuk tumbuh dan belajar. Di ruang kelas yang terbuka, setiap gagasan berharga karena membuka pintu diskusi dan pemahaman baru, bukan sekadar mencari jawaban yang benar. Tidak ada jawaban benar atau salah, kalian bisa menjawab langit itu warna hijau selama alasan yang diberikan rasional. Jadilah yang pertama untuk bersuara, melihat aksi anda dan keberanian anda, penulis yakin pelajar lain akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama.

Marilah jadikan kelas sebagai tempat dimana pertanyaan-pertanyaan “konyol” justru dikenang sebagai batu loncatan inovasi. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”

Raja Wirayuda
Raja Wirayuda
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPI
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.