Pernahkah kita membayangkan bahwa menyewakan rumah selama tiga bulan untuk pelajar tidak mampu bisa menjadi bentuk wakaf? Atau seorang dokter yang menggratiskan prakteknya setiap Jumat pagi adalah wakif? Inilah dunia baru dari wakaf temporer, sebuah gagasan yang berkembang pesat dalam lanskap filantropi Islam kontemporer.
Apa Itu Wakaf Temporer?
Selama ini, wakaf identik dengan properti permanen: sebidang tanah, masjid, sekolah, atau rumah sakit yang tak boleh diperjualbelikan selamanya. Namun, para pakar fiqh dari kalangan Malikiyah, sebagian Hanafiyah, Syafi’iyah, hingga kontemporer seperti Dr. Monzer Kahf dan Yusuf al-Qardawi, telah membuka peluang ijtihad baru: wakaf yang bersifat sementara, baik berupa waktu, harta bergerak, jasa, hingga keterampilan.
Artinya, seseorang dapat menetapkan hartanya atau jasanya untuk kepentingan umum dalam jangka waktu tertentu, lalu kembali memilikinya setelah masa wakaf selesai. Wakaf jenis ini bukan sekadar “boleh”, melainkan telah menjadi kebutuhan zaman.
Mengapa Wakaf Temporer Penting?
Di tengah perubahan gaya hidup yang makin dinamis, kemajuan ekonomi digital yang disruptif, serta lonjakan kebutuhan sosial di berbagai lini kehidupan, dunia filantropi Islam menghadapi tuntutan untuk lebih adaptif. Sistem wakaf yang selama ini dikenal dengan model permanen—seperti tanah, masjid, atau bangunan abadi—mulai ditantang oleh realitas baru. Muncullah konsep wakaf temporer, yaitu pemberian aset, waktu, atau keahlian untuk kepentingan umum dalam jangka waktu terbatas. Inilah bentuk filantropi Islam yang lebih fleksibel dan relevan dengan zaman.
Salah satu kekuatan utama dari wakaf temporer adalah aksesibilitasnya yang luas. Wakaf tidak lagi menjadi domain eksklusif para pemilik properti atau hartawan besar. Mahasiswa yang memiliki waktu senggang, karyawan yang ingin menyumbangkan tenaganya di akhir pekan, atau pengusaha mikro yang ingin mewakafkan produknya selama Ramadan—semua dapat berkontribusi. Dengan cara ini, semangat wakaf bisa tumbuh lebih inklusif dan merata di berbagai lapisan masyarakat.
Tak hanya dari segi pelaku, objek wakaf pun menjadi semakin beragam. Di era digital, orang bisa mewakafkan laptop untuk pelatihan gratis, akun media sosial untuk kampanye dakwah, atau bahkan keahlian seperti desain grafis dan mengajar bahasa Arab. Diversifikasi ini memungkinkan berbagai bentuk kekayaan dan keahlian dimanfaatkan untuk kebaikan sosial, menjadikan wakaf lebih hidup dan kontekstual dalam kehidupan modern.
Lebih jauh lagi, fleksibilitas wakaf temporer mendorong inovasi sosial yang lebih kreatif. Lembaga filantropi dapat mengembangkan program berbasis teknologi, menghubungkan donatur dan penerima secara real-time, bahkan mendesain skema pembiayaan mikro berbasis wakaf uang untuk memberdayakan UMKM. Dalam konteks ini, wakaf bukan hanya instrumen keagamaan, tetapi juga menjadi solusi nyata atas tantangan sosial-ekonomi, dengan tetap berakar pada semangat keikhlasan dan kebermanfaatan jangka panjang.
Fakta Ilmiah dan Dukungan Yuridis
Dalam artikel jurnal yang diterbitkan oleh ISRA International Journal of Islamic Finance (2024), tim peneliti dari Zayed University dan University of Sharjah mengungkap bahwa konsep wakaf temporer memiliki dasar kuat dalam fiqh Islam klasik. Misalnya, al-Kashnawi dan Ibn Abd al-Salam dari mazhab Maliki secara eksplisit memperbolehkan wakaf bersifat sementara. Bahkan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi menyebutkan bahwa mewakafkan rumah untuk 20 tahun sah hukumnya.
Studi ini juga menggarisbawahi bahwa ijtihad dan analogi (qiyās) adalah basis utama kebolehan wakaf temporer, mengingat sebagian besar hukum wakaf tidak bersandar pada teks eksplisit Al-Qur’an dan hadis, melainkan interpretasi konteks.
Penerepan Wakaf Secara Nyata
Dalam era modern yang ditandai dengan mobilitas tinggi dan kesadaran sosial yang semakin tumbuh, konsep wakaf temporer menemukan relevansinya dalam berbagai profesi dan sektor. Wakaf tidak lagi terbatas pada aset fisik yang abadi, melainkan dapat diwujudkan dalam bentuk waktu, keahlian, dan jasa. Penerapannya pun sangat luas dan nyata dalam kehidupan sehari-hari, mencerminkan semangat berbagi yang lebih fleksibel dan kontekstual.
Misalnya, seorang dokter spesialis yang mengalokasikan waktu prakteknya satu hari dalam seminggu untuk melayani masyarakat secara gratis di klinik umum telah melakukan wakaf dalam bentuk tenaga dan waktu. Meski tidak bersifat permanen, pengabdian semacam ini memberikan dampak besar bagi masyarakat bawah yang kesulitan mengakses layanan kesehatan berkualitas. Wakaf seperti ini juga memungkinkan tenaga profesional berkontribusi tanpa meninggalkan tugas utamanya.
Ini bukan sekadar imajinasi. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab telah memiliki regulasi yang memungkinkan bentuk-bentuk ini. UU No. 14 Tahun 2017 tentang Organisasi Wakaf di Dubai mengatur secara legal wakaf berdasarkan waktu dan tujuan sosial.
Tantangan dan Harapan
Meski menjanjikan fleksibilitas dan relevansi tinggi di era modern, implementasi wakaf temporer tidak lepas dari berbagai tantangan struktural dan kultural. Salah satu hambatan utamanya adalah persepsi publik yang masih konservatif, di mana wakaf selalu dipahami sebagai sesuatu yang bersifat abadi, seperti masjid atau tanah yang tidak boleh dijual. Mengubah cara pandang ini membutuhkan pendekatan sosialisasi yang sistematis dan berkelanjutan.
Sayangnya, sosialisasi tentang konsep wakaf temporer masih sangat minim, baik di kalangan masyarakat umum maupun institusi keagamaan. Banyak yang belum mengenal bahwa tenaga, keahlian, bahkan waktu bisa menjadi bentuk wakaf yang sah dan bernilai tinggi. Akibatnya, potensi besar dari masyarakat—khususnya generasi muda dan profesional—untuk berkontribusi melalui skema ini masih belum tergarap secara optimal.
Tantangan lain datang dari aspek regulasi hukum. Belum semua negara Muslim memiliki kerangka hukum yang mengakuiatau mengatur wakaf temporer secara eksplisit. Ketika tidak ada payung hukumyang jelas, lembaga wakaf atau donatur sering ragu untuk mempraktikkan skemaini karena khawatir terjadi ketidaksesuaian hukum syariah atau birokrasinegara. Padahal, pengakuan hukum adalah prasyarat penting bagi keberlangsungan dan legalitas pengelolaan wakaf.
Wakaf temporer bukanlah bentuk “pemangkasan” dari nilai wakaf klasik, melainkan perluasan makna — bahwa setiap amal, sekecil apapun, bisa menjadi investasi akhirat, jika dikelola dengan niat yang benar dan sistem yang baik. Sebagaimana dikatakan Imam al-Qarafi: “Wakaf adalah bentuk sedekah terbaik; maka jangan dipersulit syarat-syaratnya.” Kini, bukan soal bisa atau tidak bisa. Tapi: maukah kita mengambil peluang amal yang lebih inklusif ini?
Referensi:
- Kahf, M. (2000). Al-Waqf al-Islāmī. Dār al-Fikr.
- Moath Alnaief et al. (2024). New Issues in Temporary Muslim Endowments (Waqfs). ISRA International Journal of Islamic Finance.
- UU No. 14 Tahun 2017, Dubai Endowment Law.
- Yusuf, Y.I. (2016). New Venues for Muslim Endowments.