Selasa, Juli 8, 2025

Ironi “Fatherless Country”: Ketika Ayah Ada, Namun Tiada

Syarif Muda
Syarif Muda
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta program studi Ilmu Alquran dan Tafsir
- Advertisement -

Indonesia, negeri yang dikenal menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, kini dihadapkan pada kenyataan pahit: krisis peran ayah, atau yang dikenal dengan istilah

fatherless. Bayangkan, satu dari lima anak Indonesia (20,9%) tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah yang optimal. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat

fatherless tertinggi di dunia. Ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras bagi masa depan generasi bangsa.

Mengapa Indonesia Menjadi Sarang “Fatherless”?

Fenomena ini adalah epidemi sosial yang mengikis fondasi keluarga Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2021, hanya 37,17% anak usia 0-5 tahun yang diasuh penuh oleh kedua orang tua, dan hampir 3 juta anak telah kehilangan figur ayah. Apa sebenarnya akar masalahnya?

  • Budaya Patriarki yang Menjerat: Ironisnya, budaya patriarki yang kuat di Indonesia justru menjadi pemicu utama. Psikolog UGM, Diana Setiyawati, menjelaskan bahwa paradigma ini memisahkan peran secara kaku: perempuan mengurus domestik dan anak, sementara laki-laki hanya dianggap sebagai pencari nafkah. Akibatnya, ayah seringkali absen secara emosional dan terlibat dalam pengasuhan.
  • Badai Perceraian: Data BPS menunjukkan 399.921 kasus perceraian di tahun 2024 , mayoritas karena perselisihan dan masalah ekonomi. Perceraian ini secara langsung merenggut kehadiran ayah dari kehidupan anak.
  • Ayah “Gagap” Pengasuhan: Banyak ayah tidak tahu bagaimana cara mengasuh anak, minimnya contoh, dan kurangnya pengetahuan menjadi faktor yang tak kalah penting. Ditambah kesibukan bekerja yang berlebihan, jurang emosional antara ayah dan anak pun kian melebar.

Dampak Menghancurkan: Generasi yang Kehilangan Arah

Anak-anak yang tumbuh tanpa peran ayah yang utuh menghadapi dampak serius:

  • Krisis Identitas dan Kepercayaan Diri: Mereka rentan mengalami ketidakstabilan emosional, depresi, kurang percaya diri, dan kesulitan mengembangkan identitas diri15.
  • Gangguan Perilaku dan Akademis: 71% anak tanpa ayah memiliki prestasi akademik yang buruk. Risiko putus sekolah, kenakalan remaja, keterlibatan dalam perilaku kriminal, bahkan penyalahgunaan narkoba dan alkohol pun meningkat drastis.
  • Dampak Jangka Panjang: Mereka cenderung kesulitan dalam hubungan interpersonal, rentan terlibat dalam kekerasan (baik sebagai pelaku maupun korban), dan berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental berkelanjutan.

Islam: Mengembalikan Peran Ayah sebagai Amanah Suci

Dalam Islam, peran ayah jauh melampaui sekadar pencari nafkah. Ayah adalah

qawwam (pemimpin keluarga) yang bertanggung jawab secara holistik. Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 233 menegaskan kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian anak secara patut, yang juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikologis dan spiritual keluarga.

Al-Qur’an juga menyajikan teladan ayah ideal:

  • Luqman Al-Hakim: Sosok yang mengajarkan pendidikan komprehensif, mulai dari tauhid, berbakti kepada orang tua, bersyukur, hingga akhlak mulia.
  • Nabi Ibrahim: Menunjukkan dedikasi dan pengorbanan total dalam mendidik anak, bahkan demi ketaatan kepada Allah.
  • Nabi Nuh: Menggambarkan kasih sayang ayah yang tak pernah putus, bahkan di tengah krisis.

Tanggung jawab ayah dalam Islam meliputi: pendidikan tauhid, pemberian nafkah halal, pendidikan akhlak, perlindungan keluarga dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6), dan komunikasi yang penuh kasih sayang.

Jalan Keluar: Solusi Komprehensif Berbasis Nilai Islam

Krisis fatherless bukanlah takdir. Dengan kembali pada nilai-nilai Islam, kita bisa membangun kembali fondasi keluarga:

- Advertisement -
  1. Revitalisasi Pemahaman Peran Ayah: Edukasi massal melalui masjid, sekolah, dan media sosial. Program pelatihan ayah berbasis Al-Qur’an dan

    workshop parenting Islami sangat dibutuhkan.

  2. Implementasi Pola Asuh Qur’ani: Terapkan pola asuh Luqman Al-Hakim dengan dialog hangat (“ya bunayya”), pendidikan bertahap (tauhid, akhlak, keterampilan sosial), dan keteladanan nyata dari ayah dalam beribadah dan berakhlak.
  3. Dukungan Struktural dan Kebijakan: Pemerintah perlu menghadirkan kebijakan ramah keluarga, seperti cuti ayah yang memadai untuk bonding dan jam kerja fleksibel. Program HeForShe dari KemenPPPA juga perlu diperkuat.
  4. Pemberdayaan Komunitas dan Masjid: Masjid dapat menjadi pusat edukasi dengan program “Sekolah Ayah,” kajian peran ayah, dan mentoring ayah muda.
  5. Manfaatkan Teknologi: Video call rutin untuk ayah yang bekerja jauh, aplikasi berbagi aktivitas, dan platform edukasi parenting berbasis Islam dapat menjaga kedekatan.
  6. Penyembuhan untuk Korban Fatherless: Program pemulihan holistik seperti konseling berbasis Islam, terapi kelompok, dan program big brother/mentor dapat membantu anak-anak yang terdampak.

Aksi Nyata untuk Keluarga dan Masyarakat

  • Untuk Para Ayah: Sisihkan minimal 30 menit setiap hari untuk berinteraksi dengan anak, libatkan dalam aktivitas sehari-hari, dan jadikan waktu makan sebagai momen bonding. Gunakan bahasa lembut, dengarkan tanpa menghakimi, dan berikan apresiasi. Jadilah teladan dalam beribadah: ajak shalat berjamaah, bacakan cerita Islami, dan libatkan dalam kegiatan keagamaan.
  • Untuk Masyarakat: Ubah stigma sosial dan dukung ayah yang aktif dalam pengasuhan. Hindari komentar merendahkan seperti “Ayah kok ngurus anak”. Promosikan citra ayah yang terlibat sebagai hal positif. Berikan dukungan kepada

    single parent dengan figur ayah pengganti (kakek, paman, mentor) dan bantuan program untuk ibu tunggal.

Visi Masa Depan: Indonesia “Father-Engaged Nation”

Dengan solusi komprehensif berbasis nilai Islam, Indonesia dapat bertransformasi dari “fatherless country” menjadi “father-engaged nation”. Visi ini mencakup:

  • Generasi Ayah yang Sadar Peran: Ayah yang memahami tanggung jawab mereka melampaui finansial.
  • Keluarga yang Harmonis: Ayah dan ibu berkolaborasi dalam pengasuhan.
  • Anak-anak yang Tumbuh Optimal: Generasi muda dengan kepercayaan diri, akhlak mulia, dan prestasi akademik yang baik.
  • Masyarakat yang Mendukung: Komunitas yang memberikan dukungan positif untuk keterlibatan ayah.

Fenomena fatherless bukanlah takdir. Setiap ayah memiliki kesempatan menjadi Luqman Al-Hakim bagi anaknya. Setiap keluarga bisa menjadi laboratorium nilai-nilai Qur’ani. Mari bersama mengakhiri era

fatherless dan membangun peradaban keluarga yang mulia, sebagaimana dicontohkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. “Masa depan Indonesia terletak pada kemampuan kita untuk mengembalikan ayah ke rumah—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual”.

Syarif Muda
Syarif Muda
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta program studi Ilmu Alquran dan Tafsir
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.