Selasa, Juli 1, 2025

Kampus dan Bonus Demografi: Generasi Emas atau Sekadar Ijazah?

Sulthon yafi
Sulthon yafi
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prodi Manajamen
- Advertisement -

Sebagai mahasiswa yang sedang aktif di lingkungan kampus, kami sering mendengar tentang bonus demografi sebagai sebuah “kesempatan emas” bagi Indonesia. Bicara soal rentang tahun 2025 hingga 2045, ini bukan lagi sekadar bahasan seminar di auditorium, tapi sudah jadi realitas yang makin terasa dampaknya di kehidupan kami sehari-hari. Di sinilah kami, para mahasiswa yang menempatkan diri menjadi garda terdepan dalam potensi besar ini, atau malah justru berisiko jadi bagian dari masalah yang lebih besar jika tak siap.

Kampus, sebagai wadah pembinaan, pengembangan, dan pembentukan karakter bagi generasi muda, punya peran sentral yang tak terbantahkan dalam menentukan arah bonus demografi ini. Kami melihatnya sebagai panggung utama di mana teori bertemu praktik, di mana idealisme beradu dengan realitas pasar kerja yang makin kompetitif. Optimisme itu jelas ada dan terasa.

Bayangkan saja, jutaan mahasiswa seperti kami, yang kini tengah menimba ilmu di berbagai jurusan dan disiplin ilmu, punya potensi luar biasa yang belum sepenuhnya tergali. Jika kami dibekali dengan pengetahuan yang relevan, keterampilan yang mutakhir, dan daya kritis yang tinggi yang diasah terus-menerus, kami bisa jadi motor penggerak ekonomi yang sangat dahsyat.

Kami punya kapasitas untuk menciptakan inovasi-inovasi disruptif, membuka lapangan kerja baru yang belum ada sebelumnya, dan secara signifikan membawa Indonesia bersaing di kancah global. Dari riset-riset ilmiah di laboratorium kampus yang menghasilkan penemuan baru, startup-startup yang lahir dari ide segar yang berawal di kantin, hingga proyek-proyek sosial yang kami garap di komunitas sekitar, semuanya adalah cerminan konkret dari potensi besar ini yang harus terus dipupuk.

Namun, kami juga menyadari bahwa optimisme saja tidak cukup untuk menghadapi kompleksitas tantangan di depan. Ada “ancaman nyata” yang membayangi jika kampus dan kami sebagai mahasiswa tidak sigap beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat. Kami sering melihat teman-teman yang lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, namun masih kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai karena skill yang dimiliki tidak sesuai kebutuhan industri. Ini menjadi ironi besar di tengah euforia bonus demografi.

Kuliah bukan lagi sekadar kejar nilai atau sekadar memenuhi syarat kelulusan, tapi tentang bagaimana kami bisa menguasai kompetensi yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja yang terus berkembang. Jika kampus terlalu kaku dengan kurikulum lama yang tidak relevan, tidak mau membuka diri untuk kolaborasi dengan industri, atau minim fasilitas penunjang kreativitas dan inovasi, maka kami berisiko menjadi “pengangguran terdidik” yang menambah beban negara, alih-alih menjadi solusi yang diharapkan. Inilah yang sering kami diskusikan di antara sesama mahasiswa: apakah kampus kami benar-benar menyiapkan kami untuk masa depan yang penuh tantangan, atau hanya sekadar mencetak ijazah sebagai formalitas?

Periode 2025-2045 ini adalah waktu yang sangat krusial bagi kami mahasiswa untuk berinvestasi pada diri sendiri secara proaktif dan berkelanjutan. Kampus harus bertransformasi menjadi lebih dari sekadar gedung perkuliahan; ia harus menjadi fasilitas, inkubator, dan ekosistem yang mendukung pertumbuhan kami. Ini berarti transformasi pendidikan yang lebih adaptif, di mana mata kuliah diperbarui secara berkala sesuai perkembangan zaman, ada lebih banyak kesempatan magang yang relevan dan terarah, serta program-program upskilling (peningkatan keterampilan) dan reskilling (pelatihan ulang keterampilan) menjadi norma, bukan pengecualian. Kami butuh akses yang mudah ke teknologi terbaru, laboratorium yang mumpuni dengan peralatan canggih, dan bimbingan dari dosen yang juga up-to-date dengan perkembangan industri dan tren global.

Di sisi lain, kesehatan mental dan fisik kami sebagai mahasiswa juga krusial dan tidak boleh diabaikan. Tekanan akademik yang tinggi, tuntutan sosial untuk berprestasi, serta ketidakpastian masa depan yang sering menghantui bisa jadi bumerang jika tidak ditangani dengan serius. Kampus harus menyediakan layanan kesehatan dan konseling yang mudah diakses, tanpa stigma, serta secara aktif mendorong gaya hidup sehat melalui berbagai program dan fasilitas. Kami percaya, Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul adalah SDM yang sehat jiwa dan raga, karena keduanya saling terkait dalam mendukung produktivitas dan kreativitas.

Kami sangat berharap, kampus dan pemerintah bisa lebih serius dan bergerak cepat dalam menciptakan ekosistem yang mendukung kewirausahaan dan inovasi. Ini tidak cukup hanya dengan mengadakan seminar-seminar motivasi yang bersifat seremonial, tetapi harus diwujudkan dengan adanya inkubator bisnis yang aktif dan terintegrasi, akses pendanaan yang transparan untuk ide-ide startup mahasiswa yang menjanjikan, dan jembatan yang kuat antara dunia akademis dan industri. Kami ingin skill digital kami tidak hanya diakui sebagai pengguna teknologi, tapi juga diasah untuk menjadi pencipta dan inovator di ranah digital. Kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah kompleks, beradaptasi dengan perubahan, dan berkolaborasi dalam tim adalah aset tak ternilai yang harus menjadi fokus utama pembelajaran di kampus, melampaui hafalan dan teori semata.

Sebagai mahasiswa, kami memandang bonus demografi ini sebagai sebuah tangga menuju masa depan yang lebih baik bagi Indonesia, bukan sekadar data statistik yang dibaca di koran. Kami ingin menjadi bagian dari “generasi emas” yang sesungguhnya, yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju dan sejahtera di tahun 2045. Tapi, ini tidak bisa kami lakukan sendiri.

- Advertisement -

Butuh dukungan penuh dari lingkungan kampus yang progresif dan responsif terhadap perubahan, kebijakan pemerintah yang pro-inovasi dan berpihak pada pengembangan SDM, serta kesadaran kolektif dari setiap individu untuk terus belajar, beradaptasi, dan berkontribusi. Pilihan ada di tangan kita semua: meraih puncak bonus demografi sebagai peluang emas yang akan mengantarkan kita ke era kejayaan, atau membiarkannya tergelincir menjadi ancaman yang memberatkan masa depan bangsa. Kami, para mahasiswa, menyatakan diri siap untuk menghadapi tantangan ini, asalkan kampus dan ekosistem di sekitar kami juga siap mendukung penuh untuk perubahan yang nyata dan lebih baik lagi.

Sulthon yafi
Sulthon yafi
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prodi Manajamen
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.