Jumat, Juni 20, 2025

Perang Iran-Israel: Konflik Jauh, Pukulan Dekat bagi Ekonomi RI?

Naishatha Putri
Naishatha Putri
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
- Advertisement -

Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang meletus kembali pada Juni 2025 bukan sekadar drama geopolitik Timur Tengah. Bagi Indonesia, perang ini adalah kabar buruk yang datang dari kejauhan tapi berdampak sangat dekat: dari harga BBM yang berpotensi melonjak, tekanan inflasi, hingga ancaman pelemahan daya beli masyarakat. Dunia makin terhubung, dan setiap peluru yang ditembakkan di Tel Aviv atau Teheran bisa terasa hingga ke dapur-dapur rakyat Indonesia.

Serangan udara Israel terhadap fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni lalu dibalas dengan rentetan rudal balistik dari Teheran. Dunia menyaksikan perang terbuka antara dua kekuatan regional yang selama ini berseteru dalam bayang-bayang.

Sejak hari pertama, harga minyak mentah Brent langsung melonjak dari USD 82 ke USD 101 per barel, tinggi pertama sejak invasi Rusia ke Ukraina. Menurut laporan International Energy Agency (IEA) awal Juni 2025, ketegangan geopolitik di Timur Tengah berpotensi mendorong harga minyak dunia ke kisaran USD 110–120 per barel jika eskalasi berlanjut dan pasokan terganggu. IEA juga memperingatkan bahwa negara-negara importir seperti Indonesia akan menghadapi tekanan fiskal dan risiko inflasi yang tinggi dalam waktu singkat.

Indonesia, sebagai negara net importir minyak, tentu berada di posisi yang rentan. Kenaikan harga minyak global akan berdampak pada dua hal yaitu subsidi energi pemerintah membengkak, dan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax ikut naik. Dalam jangka pendek, ini akan mendorong inflasi serta menekan belanja konsumsi rumah tangga, yang selama ini jadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain itu, lonjakan harga minyak juga berisiko menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebagai negara pengimpor minyak, beban impor energi yang membengkak akan memperbesar defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya melemahkan posisi rupiah dan menambah tekanan inflasi.

APBN 2025 mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp 290 triliun, berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025 dari Kementerian Keuangan. Namun dengan harga minyak dunia menembus USD 100 per barel, tekanan pada fiskal menjadi tidak terhindarkan. Sebagai ilustrasi, setiap kenaikan harga minyak sebesar USD 10 per barel dapat menambah beban subsidi energi dalam APBN hingga lebih dari Rp 20 triliun, tergantung volume impor dan asumsi nilai tukar.

Pemerintah tentu dihadapkan pada pilihan sulit: apakah menambah subsidi atau membiarkan harga BBM naik dan menanggung risiko gejolak sosial? Skenario kedua tidak mustahil, mengingat Pilkada Serentak akan berlangsung akhir tahun ini.

Kita juga harus ingat, sekitar 40% logistik di Indonesia masih bergantung pada transportasi darat berbasis BBM. Kenaikan harga BBM akan langsung mendorong harga barang, terutama bahan pokok. Menurut laporan BPS (2022), kenaikan harga Pertalite dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 menyebabkan inflasi tahunan melonjak dari 4,9% menjadi 6,4%.

Bayangkan jika harga BBM naik dalam iklim global yang lebih gelap dan rapuh seperti saat ini. Di tengah situasi ini, rakyat kecil seperti sopir angkot, nelayan, dan pelaku UMKM lah yang paling dulu merasakan tekanan, bahkan sebelum pemerintah selesai menghitung dampaknya. Di tengah panasnya konflik global, kompor rakyat kecil yang makin sulit menyala justru menjadi cermin paling jujur atas kegagalan kebijakan energi kita.

Perang Iran–Israel memperlihatkan lagi betapa Indonesia belum memiliki strategi ketahanan energi jangka panjang yang jelas. Ketergantungan pada minyak mentah dunia terus dibiarkan tanpa transformasi struktural. Energi terbarukan masih stagnan di bawah 15% dari bauran energi nasional, dan insentif kendaraan listrik belum cukup masif untuk mengurangi konsumsi BBM secara signifikan.

- Advertisement -

Pemerintah tampak lebih sibuk menjaga stabilitas jangka pendek ketimbang berani mengambil langkah besar untuk transisi energi. Padahal justru inilah momen bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menimbang ulang ketergantungannya pada dinamika global yang tak bisa dikendalikan.

Perang Iran–Israel bukan hanya ujian bagi diplomasi internasional, tapi juga ujian bagi ketangguhan ekonomi domestik. Kita bisa memilih untuk terus menjadi korban dari konflik global, atau mulai mengambil langkah strategis untuk membangun ketahanan, bukan hanya pada energi, tapi juga pada logistik, pangan, dan fiskal.

Sayangnya, hingga hari ini, belum terdengar narasi yang jelas dari elite ekonomi maupun politik kita. Apakah kita akan terus berharap pada harga minyak turun dengan sendirinya? Atau berani mengambil risiko perubahan struktural?

Perang mungkin terjadi di Timur Tengah, tapi dampaknya mengetuk pintu rumah kita. Saatnya pemerintah berhenti bersikap reaktif dan mulai membangun fondasi ekonomi yang tangguh, karena dunia pasca perang tak akan ramah bagi negara yang tak siap.

Jika pemerintah terus menunda keberanian untuk berbenah, maka rakyat kecil akan kembali jadi tameng yang paling dulu menanggung beban. Padahal, perang bukanlah alasan untuk abai, tapi alasan untuk bangkit, dengan kebijakan yang lebih berani, adil, dan berpihak pada yang paling rentan.

Naishatha Putri
Naishatha Putri
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.