Jumat, Juli 4, 2025

Penghakiman Digital: Cancel Culture dan Krisis Empati Publik

Syahla Maheswari
Syahla Maheswari
Ilmu Komunikasi UB '24
- Advertisement -

Fenomena cancel culture adalah sebuah fenomena sosial yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Cancel culture diduga muncul karena adanya perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi ini dibuktikan dengan munculnya media sosial yang memengaruhi cara kita berkomunikasi dan mendiskusikan isu-isu sosial.

Cancel culture juga sangat populer terjadi di media sosial. Media sosial memiliki peran yang fundamental dalam memerankan cancel culture. Hal ini dibuktikan dengan adanya fitur-fitur yang telah disediakan oleh platform media sosial itu sendiri, seperti like, comment, share, posting ulang, dan masih banyak lagi.

Fitur-fitur tersebut dapat dijumpai di berbagai platform media sosial, yakni instagram, X, Tiktok, Facebook, Youtube yang memungkinkan opini atau informasi dapat menyebar secara luas dan cepat. Ini menyebabkan segala sesuatu yang dianggap krusial dapat viral dengan cepat sehingga menghasilkan reaksi massal para pengguna.

Reaksi massal para pengguna itu terdapat dua kategori. Pertama, reaksi yang mendukung. Reaksi yang mendukung ini dapat terjadi saat pengguna media sosial merasa sejalan atau setuju terhadap konten, perilaku, atau etika dari pembuat konten. Kedua, reaksi yang menentang dan menimbulkan banyak perdebatan. Reaksi ini dapat terjadi saat konten yang diposting bersifat kontroversial dan mendekati isu sensitif.

Pada dasarnya, gerakan cancel culture berupa perilaku yang mengucilkan, memboikot dan menolak individu beserta karyanya sebagai bentuk sanksi sosial karena dianggap telah melakukan sebuah kesalahan atau perilaku menyimpang dan tidak dapat memenuhi ekspektasi publik.

Melalui media sosial, proses cancel culture dapat terjadi dengan cepat karena dipicu oleh opini publik yang viral. Fenomena cancel culture ini menegaskan tentang bagaimana media sosial memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik, mengubah reputasi, dan memengaruhi perilaku para pengguna media sosial dalam merespons isu-isu sosial, kontroversial, dan isu-isu sensitif.

Seperti contoh pada kasus perselingkuhan yang melibatkan seorang aktor muda berbakat yang bernama Arawinda. Arawinda diduga menjadi orang ketiga di dalam hubungan pasangan suami istri antara Amanda Zahra dan Guido Ilyas.

Hal ini semakin memicu kekecewaan publik terhadap Arawinda dikarenakan selama ini ia dikenal sebagai sosok yang aktif dalam melibatkan dirinya dalam berbagai isu perempuan. Akan tetapi, ternyata ia justru merebut “suami” orang lain.

Oleh karena itu, publik berlomba-lomba untuk menerapkan cancel culture pada Arawinda sebagai bentuk penghakiman mereka terhadap perbuatan Arawinda dengan mengajak masyarakat lainnya untuk tidak mendukung karir Arawinda sebagai aktor.

Cancel culture memang merupakan bentuk sanksi sosial dari masyarakat agar publik figur tersebut dapat merasakan self-reflection atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebagai publik figur, sudah seharusnya memberikan contoh yang baik untuk masyarakat lain. Jika publik figur tersebut tidak memiliki hal yang positif untuk diperlihatkan, maka hal tersebut tentu akan memengaruhi persepsi masyarakat di masa yang akan datang.

- Advertisement -

Akan tetapi, seiring berjalannya kasus cancel culture yang dilakukan terhadap Arawinda, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kasus ini sebagai sarana mereka untuk melakukan bullying secara masif tanpa adanya alasan yang jelas. Terdapat banyak komentar negatif serta ujaran kebencian dari masyarakat yang mengarah pada penghinaan fisik, pelecehan verbal, serta julukan yang tidak pantas untuk Arawinda.

Hal ini mencerminkan bagaimana cancel culture dapat mengindikasikan permasalahan lain yaitu perilaku public shaming terhadap pelaku. Akibatnya, fenomena tersebut diyakini dapat merusak kesehatan mental yang dimiliki oleh individu tersebut.

Cancel culture muncul sebagai bentuk sanksi sosial masyarakat terhadap individu yang telah melakukan sebuah kesalahan atau dianggap menyimpang dari norma yang berlaku. Akan tetapi, fenomena ini malah dijadikan sebagai ajang perundungan yang bertentangan dengan arti dari cancel culture itu sendiri.

Dalam menyampaikan kritik terhadap pelaku, sebaiknya disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang baik dan bijak. Jangan sampai, fenomena cancel culture malah mengubah kita yang awal mulanya ingin menegakkan kebenaran, justru menjadi pelaku perundungan yang dapat merugikan diri sendiri serta orang lain.

Melihat apa yang terjadi pada penerapan cancel culture oleh netizen media sosial dengan waktu yang begitu cepat, hal ini justru mempertegas bahwa dalam penerapannya pun diperlukan nilai moral dan etika. Cancel culture bukan diterapkan dengan tindakan perundungan, apalagi jika dimulai dengan alasan ikut-ikutan yang sedang ramai, alias FOMO (Fear of Missing Out).

Untuk menghakimi suatu kesalahan seseorang, kita perlu membawa nilai-nilai keadilan dan keterbukaan informasi. Sebelum menghakimi, kita juga perlu mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang terjadi di balik itu. Dengan begitu, tentu seseorang juga perlu diberi kesempatan untuk menjelaskan tentang sesuatu tersebut, atau di media sosial saat ini sering dikenal dengan istilah klarifikasi.

Kebebasan berpendapat merupakan hak bagi semua manusia. Akan tetapi, hak dan kebebasan itu dibatasi dengan hak dan kebebasan milik orang lain. Audiens berhak dan bebas untuk menghakimi seseorang hingga menjadi aksi perundungan, tetapi seorang public figure yang dihakimi juga memiliki hak untuk memberi klarifikasi dan hak untuk didengar.

Semua kebebasan tersebut perlu dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Mengkritik sesuatu itu boleh dan baik, asalkan dilakukan dengan dasar rasa tanggung jawab, disampaikan dengan bijak, dan berdasarkan fakta. Perlu diingat kembali, tujuan dari cancel culture adalah mengkritik serta memberi sanksi sosial untuk menyadarkan seseorang, bukan mempermalukan hingga merusak mental seseorang.

Sudah saatnya kita menciptakan ruang kritik dan opini yang beretika serta bertanggung jawab. Adanya fitur media sosial untuk saling berbagi pendapat perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berdialog dan bertukar perspektif.

Pada akhirnya, cancel culture bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan, tetapi sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan. Ketika melakukannya dengan landasan empati, tanggung jawab, dan keadilan, maka cancel culture dapat menjadi suatu metode untuk meningkatkan keharmonisan masyarakat.

Syahla Maheswari
Syahla Maheswari
Ilmu Komunikasi UB '24
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.