Di era modern ini, dunia kerja mengalami transformasi yang sangat cepat. Namun, bukan berarti semua perubahan tersebut membawa dampak positif bagi para pekerja. Justru sebaliknya, banyak pekerja yang merasa terjebak dalam sistem yang melelahkan, di mana tuntutan produktivitas tinggi berbanding lurus dengan tekanan mental dan fisik yang terus meningkat.
Budaya kerja yang mengagungkan jam kerja panjang dan ketersediaan tanpa batas telah menjadi norma di banyak perusahaan. Banyak pekerja merasa wajib untuk selalu “on” membalas email di malam hari, menerima panggilan saat libur, atau bahkan merasa bersalah ketika mengambil cuti. Fenomena ini bukan hanya menciptakan stres, tapi juga berpotensi menimbulkan burnout yang berdampak serius pada kesehatan mental dan fisik.
Ironisnya, di banyak organisasi, penilaian kinerja masih didasarkan pada lama waktu kehadiran dan seberapa sering pekerja terlihat sibuk, bukan hasil nyata dari pekerjaan yang dilakukan. Hal ini jelas tidak efisien dan justru merugikan. Karena produktivitas sejati tidak diukur dari seberapa lama seseorang duduk di depan komputer, melainkan dari kualitas output dan inovasi yang dihasilkan.
Lebih dari itu, tekanan untuk terus “produktif” tanpa jeda telah mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Work-life balance yang dulu dianggap esensial kini sering diabaikan. Banyak pekerja yang akhirnya mengorbankan waktu bersama keluarga, hobi, bahkan kesehatan demi memenuhi target yang kadang tidak realistis.
Selain itu, muncul juga fenomena “toxic productivity” yaitu situasi di mana seseorang merasa harus selalu sibuk dan produktif agar dianggap berhasil. Kondisi ini membuat pekerja terus memaksakan diri, menekan perasaan, dan mengabaikan tanda-tanda kelelahan. Dampaknya, bukan hanya turunnya performa kerja, tapi juga meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Permasalahan lain yang tak kalah penting adalah kurangnya dukungan dari perusahaan terhadap kesehatan mental pekerja. Banyak organisasi belum menyediakan fasilitas konseling, pelatihan manajemen stres, atau bahkan lingkungan kerja yang ramah. Padahal, kesehatan mental adalah fondasi utama agar pekerja bisa berkinerja optimal.
Kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi dunia kerja untuk melakukan perubahan mendasar. Perusahaan perlu mengadopsi model manajemen yang lebih manusiawi, menghargai waktu istirahat, dan memberikan fleksibilitas. Pekerja juga perlu didorong untuk lebih terbuka soal kebutuhan mereka dan membangun budaya yang tidak memandang “istirahat” sebagai kelemahan.
Karena pada akhirnya, dunia kerja yang sehat bukan hanya soal target tercapai, tapi bagaimana menciptakan ruang di mana pekerja merasa dihargai, didukung, dan memiliki kualitas hidup yang baik. Produktivitas sejati lahir dari keseimbangan, bukan dari tekanan yang melelahkan.