Dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks, seperti perubahan iklim, pemenuhan kebutuhan pangan, dan energi, diperlukan pendekatan multidimensi yang holistik. Salah satu langkah strategis yang terus dikembangkan adalah penerapan konsep pertanian terpadu pangan dan energi. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan sinergi antara produksi pangan, energi, dan pengelolaan lingkungan secara terpadu.
Melalui pendekatan ini, limbah dari kegiatan pertanian dan peternakan tidak lagi dipandang sebagai beban lingkungan, melainkan sebagai bahan baku yang bernilai ekonomi tinggi. Hasil samping pertanian dapat dimanfaatkan untuk memproduksi biogas, pupuk organik, dan energi biomassa.
Konsep ini mengusung prinsip sirkular ekonomi, di mana semua sumber daya dimanfaatkan secara optimal dan limbah diolah kembali menjadi produk bernilai tambah. Misalnya, hasil samping dari panen tanaman pangan atau limbah peternakan dapat diolah menjadi pupuk organik untuk memperkaya kesuburan tanah.
Limbah yang lebih lanjut diolah dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas, yang tidak hanya menyediakan energi alternatif, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dengan demikian, sistem ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dan mendukung pencapaian target Net Zero Emission.
Visi besar ini sejalan dengan pidato pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, di mana ia menegaskan pentingnya memperkuat ketahanan pangan dan kemandirian energi nasional sebagai pondasi kedaulatan bangsa. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menekankan bahwa Indonesia tidak boleh bergantung pada impor pangan dan energi, mengingat ketidakpastian global dan krisis pangan yang melanda banyak negara.
Pengalaman dari negara-negara maju, khususnya Jepang, memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia. Sebagai contoh di Prefektur Saga dan Kota Oki di Fukuoka yang telah menjadi pelopor dalam penerapan sistem ini. Di wilayah tersebut, limbah pertanian dan limbah domestik diolah menjadi produk bernilai tambah seperti pupuk, biogas, dan material konstruksi. Model pengelolaan ini telah terbukti efektif dalam meningkatkan produktivitas pertanian, memperkuat kemandirian energi kawasan, dan mengurangi beban lingkungan.
Penulis yang berkesempatan mengunjungi kawasan pertanian dan fasilitas pengelolaan biomassa di wilayah tersebut menyaksikan secara langsung bagaimana sistem ini berjalan dengan baik. Fasilitas pengelolaan biomassa di Oki, misalnya, berhasil memproduksi biogas dan listrik dari limbah organik yang dihasilkan dari rumah tangga dan kegiatan pertanian.
Implementasi Sistem Pertanian Terpadu
Sistem Pertanian Terpadu Pangan dan Energi adalah solusi inovatif yang mengintegrasikan produksi pangan, pengelolaan biomassa, dan energi terbarukan. Konsep ini bertujuan meningkatkan produktivitas lahan, menciptakan ekosistem ekonomi sirkular, serta mendorong transisi energi bersih berbasis biomassa. Dengan dukungan kebijakan strategis, kolaborasi lintas sektor, sistem ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Di Prefektur Saga, pengelolaan limbah pertanian difokuskan pada prinsip zero-waste dengan mengolah limbah menjadi biomassa. Biomassa ini kemudian diubah menjadi sumber energi terbarukan dan pupuk organik. Sementara di Kota Oki, Fukuoka, komunitas petani telah berhasil mengelola limbah organik melalui proses digester anaerobik yang menghasilkan biogas, pupuk cair, dan air bersih. Metana dari biogas digunakan untuk menggerakkan generator listrik, sedangkan pupuk cair didistribusikan kembali ke lahan petani sebagai pupuk organik. Selain itu, limbah padat diolah menjadi briket, paving block, dan kerajinan bernilai ekonomis.
Di Indonesia, konsep iniditerapkan oleh pembangkit listrik PLN yang saat ini mulai memanfaatkan biomassa tanaman sebagai substitus batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) melalui program co-firing. Melalui konsep ini, di Gunung Kidul, pengelolaan lahan kritis menghasilkan manfaat ekonomi sebesar Rp1,5 miliar per tahun, sedangkan di Cilacap, nilai ekonominya mencapai Rp15,6 miliar per tahun. Dampak sosial yang dihasilkan meliputi penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan petani, serta pengurangan kemiskinan di wilayah pedesaan.
Pengembangan Kedepan
Sistem pertanian ini mengadopsi pendekatan tumpang sari, di mana tanaman pangan, tanaman energi, dan ternak dikelola secara terpadu. Daun tanaman digunakan sebagai pakan ternak, batang tanaman diolah menjadi biomassa, dan hasil pertanian lainnya dimanfaatkan untuk konsumsi atau dijual. Limbah dari pembakaran biomassa, seperti fly ash dan bottom ash (FABA), diolah menjadi pupuk organik, sehingga menciptakan sistem ekonomi sirkular yang berkelanjutan.
Penggunaan teknologi canggih menjadi faktor kunci keberhasilan sistem pertanian terpadu. Teknologi pengolahan limbah, seperti pirolisis, gasifikasi, dan konversi termal, memungkinkan produksi biochar, bio-oil, dan gas sintetis. Biochar digunakan sebagai bahan penguat kesuburan tanah, bio-oil sebagai bahan bakar alternatif, dan gas sintetis sebagai pengganti bahan bakar fosil. Proses ini menciptakan nilai tambah dari limbah pertanian yang sebelumnya tidak dimanfaatkan.
Strategi pengembangan sistem ini bertumpu pada tiga pilar utama. Pilar pertama adalah penguatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan teknologi pengelolaan biomassa kepada petani dan masyarakat pedesaan. Pilar kedua adalah pengembangan kebijakan berbasis bukti, seperti pemberian insentif fiskal dan dukungan pembiayaan proyek biomassa. Pilar ketiga adalah penguatan ekosistem pasar kredit karbon, di mana masyarakat lokal dapat menjual kredit karbon dari proyek biomassa. Skema ini memberikan manfaat ekonomi tambahan dan mendorong pengelolaan biomassa secara berkelanjutan.
Tantangan dan Solusi Implementasi
Meskipun prospeknya cerah, implementasi sistem bioindustri di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Biaya awal pembangunan infrastruktur pengolahan limbah serta biaya operasional yang signifikan menjadi hambatan utama. Sebagai perbandingan, biaya pembakaran sampah secara tradisional di Jepang mencapai 2 triliun yen per tahun, sementara metode daur ulang memerlukan investasi awal yang besar.
Namun, Kota Oki telah menunjukkan bahwa tantangan ini dapat diatasi melalui pengalihan metode pembakaran ke pengelolaan berbasis daur ulang. Partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah serta insentif kepada petani untuk menggunakan pupuk organik menjadi kunci keberhasilan.
Distribusi limbah biomassa yang tersebar secara geografis membutuhkan sistem logistik yang efisien. Tanpa dukungan pembiayaan yang memadai, pengembangan biomassa dapat terhambat.
Oleh karena itu, penguatan pasar kredit karbon dan kebijakan insentif menjadi solusi penting untuk mempercepat adopsi sistem ini di Indonesia. Dengan luas lahan kritis mencapai 12,7 juta hektar di Indonesia, program ini diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah dar memiliki potensi besar untuk mempercepat swasembada pangan dan energi. Pemanfaatan biomassa sebagai pengganti batu bara di PLTU memungkinkan transisi menuju energi bersih.