Dewasa ini, isu penggusuran tanah di Indonesia menarik atensi publik, bagaimana tidak, terbatasnya lahan yang tersedia di Indonesia saat ini, didukung dengan peningkatan kebutuhan lahan menjadi tantangan serius terhadap isu ini (Muhammad, 1993: 65-72).
Tantangan keterbatasan lahan yang tersedia membawa isu penggusuran tanah sebagai salah satu isu yang kontroversial dan kompleks dalam bidang kebijakan publik. Peristiwa ini seolah mencerminkan konflik antara perwujudan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi, di sisi lain berbenturan dengan perlindungan hak-hak masyarakat lokal atau yang lebih dikenal dengan masyarakat adat yang menganggap wilayah yang ditempati mereka merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Fariz, dkk, 2023: 36-42).
Penggusuran tanah yang terjadi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang bagaimana tata kelola agraria dalam merumuskan kebijakan dan pengaturan untuk merespon isu tersebut. Sejak masa kolonial, penguasaan tanah seolah menjadi alat bagi pemerintah dan elit ekonomi untuk mengendalikan sumber daya dan kekuasaan yang dimiliki negara (Jurnal Penelitian Tody, dkk, 2014).
Kebijakan Agraria yang diterapkan pada masa kolonial Belanda secara tidak langsung memperlihatkan kecenderungan menguntungkan para penguasa kolonial dan pelaku usaha besar, yang seringkali merugikan masyarakat adat dan petani kecil. Pasca-kemerdekaan, masih dijumpai praktik-praktik yang tidak adil terkait penggunaan dan kepemilikan tanah meskipun terdapat usaha untuk melakukan reforma agraria melalui Undang-Undang Pokok Agraria (“UUPA”) tahun 1960.
Pada era Orde Baru, terlihat bagaimana pembangunan yang dicadangkan oleh pemerintah seolah menjadi alasan untuk melakukan penggusuran, terutama untuk mendukung pertumbuhan infrastruktur di kota-kota besar (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2005.) Pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dikombinasikan dengan masuknya investasi asing guna mempercepat proses urbanisasi, pada akhirnya secara tidak langsung berimplikasi pada penekanan masyarakat berpenghasilan rendah dan memicu konflik kepemilikan tanah.
Dapat kita lihat pada era reformasi, meskipun terdapat perbaikan dalam beberapa aspek hukum dan kebijakan, penggusuran masih tetap menjadi isu serius. Hal ini dapat kita amati dengan melihat bagaimana pemerintah daerah seringkali memiliki kepentingan dan agenda pembangunan yang belum tentu selaras dengan kepentingan masyarakat lokal.
Di sisi lain, globalisasi dan liberalisasi ekonomi membawa tantangan baru dalam peningkatan permintaan lahan oleh investor asing untuk mendukung berbagai kebutuhan proyek besar seperti kawasan industri, perumahan mewah, dan pusat perbelanjaan.
Kerangka hukum yang mengatur penggusuran tanah di Indonesia terdiri dari berbagai peraturan, mulai dari UUPA tahun 1960 hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Undang-Undang Pengadaan Tanah, 2012). UUPA tahun 1960 menjadi fondasi yang mengatur hak-hak kepemilikan tanah, sementara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 lebih spesifik mengatur prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan publik, seperti pembangunan infrastruktur.
Secara empiris, fakta di lapangan menunjukkan bagaimana implementasi dari kebijakan-kebijakan ini seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengamanatkan adanya konsultasi dengan masyarakat terdampak dengan pemberian kompensasi yang layak, dalam banyak kasus, masyarakat mengeluhkan bahwa mereka tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan kompensasi yang sesuai (Daud, dkk, 2023: 1-25).
Hal tersebut tentunya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memantik protes yang berpotensi terjadinya konflik. Salah satu permasalahan dalam implementasi kebijakan terkait penggusuran adalah ketidakjelasan dalam penentuan nilai kompensasi. Nilai kompensasi yang ditawarkan oleh pemerintah atau pihak swasta sering kali dianggap terlalu rendah oleh masyarakat, sehingga tidak mampu menggantikan kerugian ekonomi dan sosial yang mereka alami.
Lebih lanjut, terdapat pula potensi masalah dalam hal transparansi dan akuntabilitas, di mana proses pengadaan tanah seringkali diwarnai oleh korupsi dan praktik-praktik nepotisme (Hukumonline.com, 2016). Penggusuran tanah tentunya memiliki dampak yang luas terhadap masyarakat terdampak, baik dari perspektif sosial maupun ekonomi. Secara sosial, penggusuran sering kali menyebabkan dislokasi masyarakat dalam komunitas sosial atau perkumpulan adat mereka, di mana masyarakat kehilangan jaringan sosial yang telah terbentuk sejak lama seperti yang terjadi di Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur (Rafly, 2020).
Hilangnya tempat tinggal tidak hanya berarti kehilangan atap di atas kepala, tetapi juga hilangnya identitas sosial dan kultur yang melekat pada tempat tersebut. Secara ekonomi, penggusuran yang tidak sesuai dapat mengakibatkan terbentuknya kemiskinan struktural (Nulhaqim, dkk, 2023: 109-117). Masyarakat yang tergusur berpotensi mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan baru, terutama jika mereka dipindahkan ke lokasi dengan lapangan pekerjaan yang terbatas.
Berangkat dari peristiwa tersebut, saya memandang terjadinya penggusuran tanah tidak sesuai yang dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia secara tidak langsung menunjukkan bahwa penggusuran akan mengalami penurunan kualitas hidup, dimana masyarakat yang tergusur harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Sebagai studi kasus, penggusuran di wilayah Bukit Duri, Jakarta, pada tahun 2016, merupakan contoh dari kompleksitas isu ini. Penggusuran tersebut dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta dengan alasan pembangunan proyek normalisasi Sungai Ciliwung yang berujung memperoleh kritik tajam, karena dianggap melanggar hak-hak masyarakat lokal setempat (Nuris, 2021). Warga Bukit Duri yang terdampak kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan dan berhasil memenangkan kasus ini pada tahun 2018. Keputusan ini menyatakan bahwa penggusuran tersebut tidak sah dan mewajibkan pemerintah untuk memberikan ganti rugi kepada warga.
Sebagai kesimpulan, penggusuran tanah di Indonesia mungkin terlihat sebagai isu kompleks, yang melibatkan berbagai kepentingan antara pemangku kepentingan, pelaku usaha, pemerintah, hingga penduduk lokal selaku masyarakat. Meskipun terdapat kerangka hukum yang cukup komprehensif, implementasinya sering kali tidak sesuai dan tidak adil bagi masyarakat terdampak.
Dampak sosial dan ekonomi dari penggusuran berpotensi membawa pengaruh buruk, terutama bagi sebagian masyarakat yang termasuk kategori rentan dan tidak mampu. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk memperkuat perlindungan hak atas tanah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga memberikan manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.