Dunia kini tengah menyaksikan sebuah drama menegangkan yang berpusat pada perebutan investasi, sebuah pertarungan senyap namun sengit yang melibatkan negara-negara di seluruh dunia. Bayangkan, bak seorang putri yang dikelilingi para pangeran, setiap negara berlomba-lomba memikat hati perusahaan-perusahaan raksasa agar mau menanamkan modal dan membangun kerajaan bisnis di wilayah mereka. Ada yang menggelar pesta dansa megah dengan forum-forum mewah nan gemerlap, ada pula yang merayu dengan janji manis berupa keringanan pajak dan subsidi menggiurkan.
Namun di tengah hiruk-pikuk persaingan ini, Indonesia tampil beda, bak kesatria pemberani yang tak segan menghunus pedang. Alih-alih rayuan, Indonesia justru melontarkan ancaman terbuka yang menggemparkan dunia. Sasarannya? Tak lain tak bukan, sang raksasa teknologi, Apple, dengan produk terbarunya, iPhone 16. Pemerintah Indonesia dengan tegas melarang penjualan iPhone 16 di tanah air. Ya, Anda tidak salah dengar! Smartphone canggih yang menjadi incaran banyak orang itu kini menjadi barang terlarang di Indonesia.
Apa pasal? Rupanya, iPhone 16 dianggap tidak memenuhi persyaratan kandungan lokal yang ditetapkan pemerintah. Indonesia menuntut agar 40% komponen smartphone yang dijual di negaranya harus berasal dari dalam negeri. Ini bukan sekadar angka, melainkan sebuah pernyataan tegas tentang kedaulatan dan kemandirian bangsa. Apple, yang selama ini dikenal dengan strategi bisnisnya yang agresif, kini harus berhadapan dengan tembok kokoh yang dibangun Indonesia.
Tak tinggal diam, Apple pun segera menyusun strategi baru. Proposal investasi senilai $100 juta, termasuk rencana pembangunan pabrik aksesori dan komponen, diajukan ke hadapan pemerintah Indonesia. Namun, Indonesia tak mudah terbujuk. Mereka masih ingat janji investasi Apple sebelumnya yang tak kunjung terealisasi. $10 juta yang dijanjikan pada tahun 2023 hanyalah tinggal kenangan. Kali ini, Indonesia menuntut komitmen yang lebih nyata, investasi yang benar-benar dapat memberikan dampak signifikan bagi perekonomian negara.
Pertanyaannya, akankah Indonesia berhasil memenangkan pertarungan ini? Akankah Apple tunduk pada tuntutan Indonesia, atau justru memilih hengkang dan mencari pelabuhan lain yang lebih ramah? Drama ini masih terus berlanjut, dan dunia menyaksikan dengan penuh harap. Indonesia telah berani mengambil langkah berani, sebuah langkah yang mungkin akan menginspirasi negara-negara lain untuk lebih tegas dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya di tengah arus globalisasi yang deras.
Indonesia memang memiliki daya tarik yang memikat bagi para investor global. Dengan populasi yang menduduki peringkat keempat terbesar di dunia dan ekonomi terkuat di Asia Tenggara, Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi perusahaan multinasional. Keunggulan ini memberikan Indonesia posisi tawar yang kuat, memungkinkan mereka untuk menetapkan syarat dan menegosiasikan kesepakatan yang menguntungkan bagi negara.
Namun, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menyadari potensi kekuatan pasarnya. Di belahan dunia lain, negara-negara seperti India, Afrika Selatan, dan Brasil juga telah lama menerapkan strategi serupa untuk mengamankan investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
India, misalnya, mewajibkan Hyundai dan Suzuki, pionir otomotif asing di pasar mereka, untuk menjalankan program “Make in India”. Artinya, kedua raksasa otomotif tersebut harus berinvestasi dalam pembangunan pabrik dan produksi di India jika ingin menjual mobil mereka di sana. Strategi ini berhasil mendorong transfer teknologi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan industri manufaktur dalam negeri.
Afrika Selatan juga menunjukkan sikap tegas ketika Walmart, raksasa ritel asal Amerika Serikat, berniat mengakuisisi jaringan ritel lokal pada tahun 2012. Pemerintah Afrika Selatan mengajukan sejumlah persyaratan ketat, seperti pembatasan PHK dan pembentukan dana untuk mendukung usaha kecil, sebagai syarat persetujuan akuisisi. Langkah ini bertujuan melindungi tenaga kerja lokal dan mencegah dominasi perusahaan asing yang dapat mengancam keberlangsungan bisnis domestik.
Brasil, di sisi lain, berhasil memanfaatkan potensi pasarnya yang besar untuk menarik investasi dari Amazon. Dengan memberikan akses ke pangsa pasar e-commerce yang menggiurkan, Brasil berhasil meyakinkan Amazon untuk berinvestasi sebesar $1,8 miliar dalam pembangunan infrastruktur digital. Hasilnya? Amazon kini memiliki lebih dari 20 pusat distribusi di Brasil, meningkat pesat dari hanya satu pusat distribusi pada tahun 2020. Investasi ini tidak hanya memperkuat infrastruktur digital Brasil, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja dan meningkatkan efisiensi logistik di negara tersebut.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam memanfaatkan kekuatan pasarnya untuk mengamankan investasi yang berkualitas dan berkelanjutan. Dengan strategi yang tepat dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat memaksimalkan potensi ekonominya dan mencapai kemandirian yang lebih tinggi di kancah global.
Memanfaatkan pasar untuk mengamankan investasi memang strategi jitu, namun layaknya bermain catur, setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat. Tidak semua negara memiliki bidak yang sama kuatnya. Negara-negara dengan pasar besar seperti Indonesia, India, dan Brasil, ibarat raja di papan catur, memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar untuk mengatur permainan. Mereka dapat dengan leluasa “menekan” perusahaan-perusahaan multinasional, memaksa mereka untuk tunduk pada aturan main yang mereka tetapkan.
Namun, negara-negara kecil dengan pasar terbatas, seperti pion di papan catur, memiliki ruang gerak yang lebih sempit. Memaksa perusahaan besar dengan ancaman pembatasan pasar bisa menjadi bumerang. Jika perusahaan tersebut hengkang, negara tersebut justru akan kehilangan potensi investasi dan kesempatan untuk mengembangkan industri dalam negeri.
Di sinilah seni bernegosiasi berperan penting. Pemerintah harus piawai dalam mencari titik keseimbangan, antara melindungi kepentingan nasional dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Mendorong perusahaan asing untuk berinvestasi dan berproduksi di dalam negeri memang penting, namun jangan sampai mengorbankan industri lokal yang masih berkembang.
Contoh kasus India dan Tesla menjadi pelajaran berharga. India menginginkan Tesla membangun pabrik di negaranya, namun Tesla enggan berkomitmen sebelum memastikan potensi pasar mobil listrik di India. Keinginan India untuk memaksa Tesla melalui pembatasan impor justru dapat berujung pada kegagalan. Tesla bisa saja memilih untuk fokus pada pasar lain yang lebih ramah investor.
Hal serupa juga terjadi pada kasus laptop. India berencana membatasi impor laptop untuk mendorong produksi dalam negeri. Namun, langkah ini berisiko melanggar aturan perdagangan internasional dan dapat memicu gugatan dari negara lain, seperti yang pernah terjadi pada kasus sel surya antara India dan Amerika Serikat.
Pengalaman India mengajarkan kita bahwa “leverage” pasar bukanlah senjata pamungkas. Ada aturan main global yang harus dipatuhi, dan terkadang, diplomasi dan negosiasi menjadi kunci untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Indonesia, dengan kekuatan pasarnya yang besar, perlu bijak dalam memainkan peran di panggung perdagangan internasional. Mendorong investasi asing memang penting, namun menjaga keseimbangan ekosistem ekonomi dalam negeri juga tak kalah krusial.