Mari kita beralih ke topik yang lebih mendalam tentang sosok “prajurit yang gugur” dalam pertarungan politik kali ini: Kamala Harris, yang tampaknya mengalami kekalahan telak dalam pemilihan ini. Secara signifikan, ia kehilangan begitu banyak suara sehingga peluangnya untuk melangkah ke kursi Presiden Amerika Serikat kian jauh dari jangkauan. Dari total 538 suara di Electoral College, seorang kandidat membutuhkan setidaknya 270 suara untuk mengamankan kemenangan dan menjadi presiden.
Namun, berdasarkan proyeksi dan hasil sementara yang beredar, Harris hanya mampu mengumpulkan 226 suara, jauh dari jumlah yang dibutuhkan. Lebih parahnya lagi, ia gagal memenangkan satu pun dari negara bagian swing yang sangat menentukan—tidak ada satu pun yang berhasil ia rebut. Tak hanya itu, Harris juga tak mampu mengungguli rekor Presiden Joe Biden pada pemilu 2020 di negara bagian mana pun. Bahkan, dukungannya justru merosot, terutama di kalangan pemilih wanita, Latino, dan Asia.
Lalu, di mana letak kesalahan fatal dalam perjalanan politiknya kali ini? Apakah beban kebijakan dari Administrasi Biden menjadi salah satu faktornya? Ataukah kondisi ekonomi yang tengah bergejolak? Atau mungkin isu imigrasi yang panas di Amerika Serikat? Bisa jadi semua alasan tersebut berperan—atau mungkin ada faktor lain yang lebih dalam lagi? Laporan kami berikutnya akan mencoba mengupas lebih tuntas alasan di balik kekalahan Harris ini. Malam ini, kita tidak akan mendengar pernyataan langsung dari Wakil Presiden mengenai hasil ini, tetapi kita bisa menantikan suaranya yang akan muncul besok.
Pada akhirnya, kegembiraan yang sempat terasa di awal berubah menjadi ketakutan dan kekecewaan yang mendalam. Wakil Presiden Kamala Harris tidak pernah muncul di panggung pada acara pesta pemantauan hasil pemilihannya, meninggalkan para pendukungnya dalam kebingungan dan rasa tak percaya. Suasana malam itu mengingatkan banyak orang pada pemilihan presiden tahun 2016, ketika Hillary Clinton juga mengalami kekalahan mengejutkan.
Malam itu, bukan Hillary yang keluar untuk menyapa para pendukungnya, melainkan ketua kampanyenya, membawa kabar yang mengecewakan. Harris, yang telah bekerja keras dan melakukan berbagai upaya luar biasa dalam kampanye ini, harus menerima kenyataan bahwa tugas besar yang ia impikan belum dapat ia wujudkan. Ambisinya yang monumental untuk menjadi presiden wanita pertama dalam sejarah Amerika Serikat pun sirna, sementara mantan Presiden Donald Trump justru berhasil kembali dengan mandat yang lebih besar.
Di sisi lain, Harris juga mengalami kegagalan dalam mempertahankan atau bahkan melampaui rekor suara yang diraih Joe Biden pada tahun 2020. Di setiap negara bagian yang penting, Trump berhasil memperoleh lebih banyak dukungan, bahkan diperkirakan akan menyapu bersih ketujuh negara bagian swing, yang selalu menjadi medan pertempuran sengit dalam setiap pemilihan.
Tapi, kekalahan ini bukan hanya soal negara bagian. Harris juga kehilangan dukungan yang sangat penting dari kalangan pemilih wanita, di mana hanya 54% dari mereka yang memilihnya, turun sekitar 3% dibandingkan dukungan yang diraih Biden pada 2020. Hal ini menjadi sinyal kemunduran yang mengkhawatirkan bagi Harris, terlebih lagi ketika dukungan dari pemilih Latino dan Asia juga merosot signifikan, dengan penurunan 6% dalam suara Latino dibandingkan kemenangan Biden pada tahun 2020. Ini menambah daftar tantangan yang harus dihadapi Harris dalam pemilu ini, menunjukkan betapa beratnya perjuangan yang harus ia lalui.
Jadi, di mana sebenarnya letak kesalahan yang membuat Kamala Harris kehilangan pijakannya dalam pemilu ini? Pertama-tama, ada faktor pribadi dari Harris sendiri; ia belum sepenuhnya teruji dalam pertempuran politik tingkat tinggi. Ia mencalonkan diri sebagai presiden hanya sekitar 16 minggu, sementara lawannya adalah sosok yang pada dasarnya sudah mempersiapkan diri untuk posisi ini selama hampir satu dekade. Ini memberikan keunggulan pengalaman dan ketahanan bagi lawannya yang mungkin tidak dimiliki oleh Harris.
Kedua, Harris mungkin menaruh terlalu banyak fokus pada isu hak aborsi, dan hal ini ia lakukan sambil terus menyalahkan Trump sebagai penyebab utama masalah ini. “Hari ini, anak-anak perempuan kita memiliki hak yang lebih sedikit dibandingkan nenek mereka. Ini adalah krisis kesehatan, dan kita semua tahu siapa yang harus disalahkan: Donald Trump,” ujarnya dengan nada tegas. “Dia secara terbuka mengatakan bahwa dia ‘bangga’ telah membatalkan Roe v. Wade—bangga,” kata Harris.
Tentu, pandangan ini selaras dengan prinsip dan kekuatan partainya dan diharapkan dapat mendorong lonjakan dukungan, terutama dari kalangan progresif, di saat-saat terakhir pemilihan. Namun, Harris tampaknya melupakan bahwa meskipun aborsi merupakan isu yang penting, hal ini bukanlah masalah yang menyatukan mayoritas warga Amerika—sebuah kenyataan pahit yang harus diterima. Faktanya, pada tahun 1992, slogan Demokrat berbunyi, “Ini tentang ekonomi, bodoh,” yang seharusnya menjadi pengingat bagi Harris tentang pentingnya isu ekonomi dalam memenangkan hati pemilih.
Selama empat tahun menjabat sebagai Wakil Presiden, Harris juga terikat erat dengan berbagai masalah domestik yang semakin membebani kehidupan masyarakat. Krisis biaya hidup yang meroket, inflasi yang tak kunjung terkendali, pertumbuhan ekonomi yang lesu, dan isu ketenagakerjaan menjadi tantangan berat yang turut melemahkan posisinya. Semua ini tidak hanya menambah beban kampanyenya tetapi juga mengikis persepsi publik tentang kemampuannya dalam memimpin negara ke arah yang lebih baik.
Alasan penting lainnya yang sangat memengaruhi posisi Harris dalam pemilu ini adalah isu imigrasi dan keamanan perbatasan. Masalah ini menjadi perhatian utama bagi sebagian besar pemilih Amerika, dengan 20 persen di antaranya menganggapnya sebagai isu paling krusial.
Selama masa pemerintahan Trump, tingkat imigrasi ilegal berada pada level yang relatif lebih rendah. Namun, situasi ini berubah secara signifikan di bawah pemerintahan Biden, di mana angka imigrasi ilegal mengalami lonjakan yang membuat banyak warga resah. Sebagai Wakil Presiden, Harris juga dianggap ikut bertanggung jawab atas meningkatnya arus imigran yang masuk tanpa izin, membuat isu ini menjadi tantangan besar dalam kampanyenya.
Dari sini, kita beralih ke faktor keempat yang tidak kalah penting: “beban Biden” yang harus dipikulnya. Administrasi Biden memberikan beban berat bagi Harris dalam kampanye ini, dan yang lebih parah, Harris justru memperburuk situasi dengan beberapa pernyataannya. Dalam sebuah wawancara, ketika ditanya apakah ada hal yang akan ia lakukan berbeda dari Biden, Harris menjawab dengan mengatakan, “Tidak ada yang terlintas di benak saya—tidak ada.” Jawaban ini menjadi bumerang besar bagi Harris, terutama karena tim kampanye Trump segera memanfaatkan pernyataannya dengan cerdik.
Mereka terus memutar jawabannya berulang-ulang dalam berbagai iklan dan media, menekankan bahwa Harris seakan tidak memiliki rencana atau visi alternatif yang bisa menjadi solusi bagi permasalahan saat ini. Alih-alih menampilkan dirinya sebagai sosok yang bisa membawa perubahan, pernyataan ini justru membuat Harris semakin terjebak dalam bayang-bayang kebijakan Biden, yang akhirnya melemahkan daya tariknya di mata banyak pemilih.
Walaupun Harris mendapat dukungan besar dari kalangan selebriti, liputan media yang umumnya menguntungkannya, dan penggalangan dana yang memecahkan berbagai rekor, kampanyenya masih dipenuhi banyak kelemahan yang tak bisa diabaikan. Namun, tidak semua faktor yang merugikan Harris sepenuhnya merupakan kesalahannya. Misalnya, aspek ras dan gendernya bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan. Memang sulit untuk membuktikan bahwa seksisme adalah faktor utama yang menyebabkan kekalahannya, tetapi kenyataannya, gender tetap memainkan peran besar dalam pilihan pemilih Amerika.
Lihatlah rekam jejak Trump, yang telah memenangkan dua dari tiga pencalonannya sebagai presiden. Ia kalah dari Joe Biden, seorang pria kulit putih, tetapi berhasil mengalahkan dua pesaing wanita yang menjadi saingannya di kancah politik. Bagi Harris, seolah-olah semua hal yang berpotensi menjadi hambatan benar-benar menjadi batu sandungan di tengah jalan, meruntuhkan harapannya satu per satu. Kekalahan ini pun menciptakan celah besar yang pada akhirnya membuka jalan bagi kembalinya Donald Trump, yang disebut-sebut sebagai “kembalinya Trump yang terbesar” dalam sejarah politik Amerika.