Selasa, Oktober 22, 2024

Pendidikan di Era Digital: Menavigasi Tantangan dan Meraih Peluang

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Teknologi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia merupakan pencapaian terbesar umat manusia, membuka pintu menuju kemajuan dan inovasi yang tak terbayangkan. Namun di sisi lain, ia juga menciptakan tantangan dan dilema yang tak kalah rumit. Salah satu arena pertempuran paling sengit antara manfaat dan mudarat teknologi adalah di lingkungan sekolah.

Di seluruh dunia, kita menyaksikan bagaimana teknologi telah merevolusi pendidikan. Akses informasi yang tak terbatas, alat pembelajaran digital yang interaktif, dan kolaborasi online adalah beberapa contoh positif bagaimana teknologi telah memperkaya pengalaman belajar siswa.

Namun, di balik gemerlap inovasi ini, tersembunyi pula sisi gelap yang mengkhawatirkan. Guru harus bersaing dengan layar ponsel untuk mendapatkan perhatian siswa. Pembuat kebijakan berjuang untuk mengatasi kecanduan media sosial yang mengancam kesehatan mental generasi muda. Orang tua pun dihantui kecemasan tentang dampak negatif teknologi terhadap anak-anak mereka.

Dalam menghadapi dilema ini, banyak pemerintah memilih jalan pintas: melarang penggunaan smartphone di sekolah. Hampir seperempat negara di dunia telah menerapkan kebijakan ini, dengan berbagai variasi dalam pendekatan dan implementasinya. Beberapa negara memberlakukan larangan secara ketat dan menyeluruh, sementara yang lain hanya memberikan rekomendasi kebijakan yang longgar. Ada yang melarang di tingkat nasional, seperti yang dilakukan oleh Hongaria, Yunani, Prancis, dan Belgia baru-baru ini. Ada pula yang menerapkan kebijakan di tingkat negara bagian, seperti di India dan Amerika Serikat.

Namun, di balik popularitas larangan smartphone ini, terdapat ketidakpastian dan kebingungan. Tidak ada template yang jelas atau formula ajaib untuk menerapkan larangan secara efektif. Bahkan, belum ada bukti yang cukup kuat untuk membuktikan bahwa larangan tersebut benar-benar berhasil mengatasi masalah yang ada.

Smartphone di sekolah memang memiliki banyak dampak negatif, seperti mengurangi rentang perhatian siswa, meningkatkan tekanan sosial, dan membuka pintu bagi perundungan dunia maya serta pelecehan seksual online. Namun, kita juga tidak bisa mengabaikan manfaatnya. Smartphone dapat menjadi alat komunikasi penting dalam keadaan darurat, membantu siswa menghubungi orang tua, melakukan pembayaran, atau navigasi menggunakan peta digital.

Dilema teknologi di sekolah adalah tantangan kompleks yang membutuhkan solusi yang bijaksana dan komprehensif. Larangan smartphone mungkin merupakan langkah awal yang baik, tetapi tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik, yang melibatkan pendidikan literasi digital, pengembangan keterampilan sosial-emosional, dan kolaborasi antara guru, orang tua, dan siswa. Hanya dengan cara inilah kita dapat memanfaatkan potensi teknologi untuk kebaikan, sambil melindungi generasi muda dari dampak negatifnya.

Di tengah perjuangan sekolah untuk mengatasi dilema smartphone, muncul ancaman baru yang lebih kompleks: kecerdasan buatan (AI). Sementara para orang tua dan guru masih beradaptasi dengan teknologi pembelajaran jarak jauh, para siswa telah dengan cepat mengadopsi AI sebagai alat bantu belajar, bahkan untuk tujuan yang kurang etis.

Bayangkan, 19% remaja menggunakan ChatGPT untuk mengerjakan PR mereka, 20% menggunakannya untuk menulis esai, dan 69% memanfaatkannya untuk melakukan penelitian. Ini mungkin sudah cukup mengkhawatirkan, tetapi yang lebih meresahkan adalah penggunaan AI untuk menyontek dalam ujian. Siswa kini dapat menghasilkan laporan yang terdengar sangat meyakinkan, mengkloning suara, bahkan membuat deepfake seksual dari teman sekelas mereka.

Sekolah-sekolah, sekali lagi, terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian. Alih-alih mencari solusi yang tepat, beberapa sekolah justru mengambil langkah yang salah. Contohnya, sebuah sekolah menengah di New Jersey yang mengumumkan nama-nama siswi korban deepfake melalui interkom sekolah, tindakan yang jelas-jelas melanggar privasi dan memperburuk trauma korban. Di sisi lain, ada sekolah yang terlalu antusias mengadopsi teknologi, bahkan sampai menggantikan guru dengan kecerdasan buatan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap kualitas pendidikan.

Masalahnya jelas: teknologi berkembang dengan kecepatan yang jauh melampaui kemampuan kita untuk memahami dan mengaturnya. Pergeseran paradigma yang cepat ini membuat kita semua, terutama para pendidik, terengah-engah. Teknologi baru belum diuji secara menyeluruh, namun sudah tersedia secara luas, menciptakan risiko dan tantangan yang belum pernah kita hadapi sebelumnya.

Kita perlu menyadari bahwa AI, seperti halnya smartphone, adalah alat yang memiliki potensi besar untuk kebaikan maupun kejahatan. Tugas kita adalah menemukan cara untuk memanfaatkan potensi positifnya, sambil meminimalkan dampak negatifnya. Ini membutuhkan kolaborasi antara para ahli teknologi, pendidik, orang tua, dan siswa, untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, etis, dan berorientasi pada masa depan.

Kita harus berani menghadapi tantangan ini dengan pikiran terbuka dan kemauan untuk belajar. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa teknologi, termasuk kecerdasan buatan, akan menjadi kekuatan pendorong kemajuan pendidikan, bukan ancaman yang merusak generasi muda.

Meskipun perubahan teknologi yang pesat dapat terasa menakutkan, kita tidak boleh menyerah pada keputusasaan. Ada langkah-langkah konkret yang dapat kita ambil untuk melindungi generasi muda dan memastikan bahwa teknologi digunakan secara bertanggung jawab dan bermanfaat dalam lingkungan pendidikan.

Kita perlu memprioritaskan perlindungan privasi siswa, melakukan evaluasi yang lebih ketat terhadap teknologi baru sebelum diimplementasikan secara luas, dan memperbarui kurikulum agar relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran di kalangan guru, orang tua, dan siswa tentang potensi manfaat dan risiko teknologi, serta bagaimana menggunakannya secara bijaksana.

Meskipun tantangan ini terasa baru dan kompleks, kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan selalu beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi. Selama bertahun-tahun, kita telah mengajarkan anak-anak tentang bahaya narkoba, alkohol, dan mengemudi yang tidak aman. Kini, saatnya kita menambahkan “label peringatan digital”, “sabuk pengaman”, dan “batas kecepatan” untuk teknologi.

Kita perlu merumuskan kembali pendekatan kita terhadap teknologi di sekolah. Bukan lagi sekadar melarang atau membatasi, tetapi juga mendidik dan memberdayakan. Kita perlu mengajarkan siswa tentang etika digital, literasi media, dan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk menavigasi dunia digital yang semakin kompleks.

Dengan kolaborasi dan komitmen dari semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan berorientasi pada masa depan. Kita dapat memastikan bahwa teknologi, alih-alih menjadi ancaman, akan menjadi alat yang ampuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan abad ke-21.

 

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.