Jumat, Oktober 11, 2024

10 Tahun Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Isu Gender Belum Jadi Prioritas

Wendy A. Prajuli & Aulia Y. Serera
Wendy A. Prajuli & Aulia Y. Serera
Wendy A. Prajuli, Mahasiswa S3 di Institut Kajian Asia dan Afrika, Humboldt University of Berlin dan Aulia Y. Serera, Staf Pengajar Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura

Dalam 10 tahun terakhir ini Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) telah mengimplementasikan prinsip gender di dalam kebijakan luar negerinya, seperti mendorong penambahan jumlah personel perempuan pasukan penjaga perdamaian PBB, mempromosikan pelibatan perempuan dalam penyelesaian konflik Afghanistan, dan menerbitkan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Kementerian Luar Negeri RI. Selain itu, selama 10 tahun ini Kemlu juga dipimpin oleh menteri luar negeri perempuan. Namun, apakah perubahan-perubahan tersebut telah menempatkan isu gender sebagai prioritas kebijakan luar negeri dalam satu dekade terakhir?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami melakukan analisis isi atas Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) dan Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri (Renstra Kemlu) dalam 10 tahun terakhir yang terdiri dari 10 PPTM (2015-2024) dan 2 Renstra Kemlu (2015-2019 & 2020-2024). Metode tersebut memungkinkan kami untuk menganalisis isu gender apa yang menjadi perhatian Kemlu di dalam lingkup kebijakan luar negeri.

PPTM merupakan dokumen penting untuk memahami orientasi kebijakan luar negeri Indonesia karena berisikan evaluasi tahunan yang dilakukan Kemlu atas kebijakan luar negeri tahun sebelumnya. Sementara, Renstra Kemlu merupakan dokumen penting karena menerjemahkan kebijakan strategis ke dalam langkah-langkah teknokratis terukur.

Penelitian kami menemukan bahwa penyebutan kata kunci perempuan (termasuk di sini juga wanita, woman, women, dan female) di PPTM jumlahnya masih terbatas, terutama di periode 2015-2019. Penyebutan kata kunci perempuan meningkat hingga dua digit di periode 2020-2024. Sebaliknya, kata kunci gender tidak mengalami peningkatan yang berarti sejak 2015 hingga 2024. Pola yang sama juga terlihat dari Renstra Kemlu di mana peningkatan yang signifikan dalam penyebutan kata kunci perempuan dan gender terjadi di Renstra Kemlu 2020 (gambar 1).

Peningkatan penyebutan kata kunci perempuan di periode 2020-2024 menunjukan jika perhatian Kemlu pada isu gender menguat di periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Namun, apakah ini menunjukan isu gender telah menjadi prioritas Kemlu?

Kami menemukan sejak PPTM 2015 hingga 2024 jumlah kata kunci perempuan dan gender tidak pernah berada di posisi teratas. Secara umum, kata kunci teratas di PPTM adalah ASEAN dan ekonomi (termasuk di sini juga economy, economic, economies). Sejak PPTM 2015 hingga 2024 kata kunci ASEAN dan ekonomi mendominasi dengan jumlah penyebutan selalu dua digit.

Selain ASEAN dan ekonomi, kata kunci lain yang mendominasi adalah WNI, pandemi, kesehatan, dan perlindungan. Dominasi isu kesehatan dan pandemi di 2021-2022 tentunya dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 saat itu. Namun, setelah pandemi global selesai, isu ASEAN dan ekonomi kembali mendominasi. Kondisi yang sama juga berlaku di Renstra Kemlu 2015-2019 dan 2020-2024 (gambar 2). Kata kunci ASEAN dan ekonomi menduduki peringkat pertama dan kedua.

Terkait isu gender, fokus perhatian Kemlu masih sebatas pada isu perdamaian dan pemberdayaan perempuan. Dari total 110 kali penyebutan kata kunci perempuan dan gender, 37,3% terkait dengan isu perdamaian, seperti pelibatan lebih banyak perempuan dalam proses perdamaian. Sementara, isu pemberdayaan perempuan merupakan isu dominan kedua sebesar 28,2% (gambar 3).

Kebijakan-kebijakan pro-gender tersebut juga mayoritas bersifat eksternal, yaitu ditujukan ke luar Indonesia, termasuk di dalamnya adalah ke negara lain, organisasi internasional, dan diaspora Indonesia. Dari 110 kali penyebutan kata kunci perempuan dan gender, 83,6% terkait dengan kebijakan yang berorientasi eksternal. Sebaliknya, yang terkait dengan kebijakan-kebijakan pro-gender yang bersifat internal, yaitu kebijakan yang ditujukan ke dalam institusi Kemlu, hanya berjumlah 9,1% (gambar 4).

Berdasarkan data-data di atas, dapat disimpulkan, pertama, isu gender telah menjadi perhatian di Kemlu namun belum menjadi prioritas kebijakan luar negeri Indonesia. Sekalipun perhatian telah diberikan sejak 2004 dengan memberikan kesempatan kepada pasangan suami-istri diplomat untuk ditugaskan di waktu yang relatif bersamaan dan di Perwakilan Indonesia yang berdekatan.

Prioritas kebijakan luar negeri Kemlu masih fokus pada isu ekonomi dan ASEAN.  Ini sejalan dengan penjelasan  Retno Marsudi bahwa prioritas kebijakan luar negeri Indonesia adalah diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan, kepemimpinan Indonesia di kawasan dan global, dan infrastruktur diplomasi.

Kedua, kebijakan pro-gender Kemlu cenderung berorientasi eksternal. Ini artinya kebijakan pro-gender difokuskan untuk membangun citra positif Indonesia di luar negeri sekaligus meningkatkan peran internasional Indonesia. Perhatian Kemlu untuk kebijakan pro-gender yang bersifat internal dengan tujuan untuk membangun relasi gender yang sehat dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri masih terbatas. Ini sekaligus menunjukan reformasi birokrasi yang dilaksanakan Kemlu belum berorientasi gender. Sekalipun kebijakan internal, seperti pencegahan dan penindakan pelecehan seksual serta anggaran responsif gender, telah dilakukan.

Ke depan, tentunya melalui pemerintahan baru, Kemlu perlu menempatkan gender sebagai prioritas kebijakan luar negeri, baik eksternal maupun internal, karena permasalahan gender di level internasional semakin banyak dan beragam. Sebagai bagian dari masyarakat internasional Indonesia tentu saja punya tanggung jawab untuk ikut mengatasinya.

Selain itu, dari tahun ke tahun jumlah diplomat perempuan Indonesia juga semakin meningkat. Tahun 2000, Kemlu memiliki 145 orang diplomat perempuan (24%) dari 613 orang diplomat. Namun, di tahun 2023 meningkat menjadi 722 orang (39%) dari 1843 orang diplomat. Terakhir, kesetaraan gender di tempat kerja dan rumah telah menjadi norma sosial baru. Dua perubahan ini tentu saja membutuhkan pengakomodasian sistem dan budaya kerja yang sensitif gender di lingkungan Kemlu.

Wendy A. Prajuli & Aulia Y. Serera
Wendy A. Prajuli & Aulia Y. Serera
Wendy A. Prajuli, Mahasiswa S3 di Institut Kajian Asia dan Afrika, Humboldt University of Berlin dan Aulia Y. Serera, Staf Pengajar Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.