Minggu, November 24, 2024

Kang Said di Mata Fachry Ali

Prof. Dr. Wardah Nuroniyah
Prof. Dr. Wardah Nuroniyah
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat
- Advertisement -

Kang Said – panggilan akrab Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA ketua PBNU 2010-2022 — menempati “posisi khusus” di mata Gus Dur. Ini terjadi karena Gus Dur menganggap Kang Said sebagai “mutiara terpendam” di gua garba NU. Gua garba yang saya maksudkan adalah, Kang Said lahir dari keluarga kyai besar NU yang – pinjam istilah Azyumardi Azra – berada dalam jaringan ulama nusantara.

Dalam catatan genealogi pria kelahiran Cirebon 3 Juli 1953 itu, seperti tertera dalam buku “Kiai Pesantren Membangun Peradaban, 70 Tahun Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, MA – karya Sa’dullah Affandy-Salamun Ali Mafaz — Kang Said adalah putra pasangan Kiai Aqil dan Nyai Afifah Harun. Sedangkan Kiai Aqil adalah putra Kiai Siroj yang masih keturunan Kiai Muhammad Said dari Gedongan, Cirebon. Kiai Muhammad Said Gedongan adalah ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar para santri dan pendiri pondok pesantren Gedongan.

Ponpes Gedongan di desa Ender, kecamatan Pangenan, kabupaten Cirebon didirikan Kiai Muhammad Said tahun 1800-an. Ponpes Gedongan merupakan pesantren tertua di Cirebon.

Dalam manuskrip C. Snouck Hurgronje bertahun 1889 tercatat dua embah buyut Kang Said. Yaitu Kiai Muhammad Said dari Gedongan dari jalur ayah dan Kiai Hasan Sukunsari, Plered dari jalur ibu. Di samping sebagai ulama mumpuni, Kiai Muhammad Said Gedongan juga terkenal sebagai pejuang tangguh yang melawan penjajah Belanda.

Bila dirunut lebih jauh, Kiai Muhammad Said — embah buyut Kang Said — ternyata merupakan keturunan Sunan Gunung Djati atau Maulana Syarif Hidayatullah, salah seorang anggota Wali Songo yang legendaris itu. Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang lahir di Mesir itu, dianggap masih keturunan Rasulullah.

Dengan demikian, dalam diri Kang Said masih mengalir “darah” Rasulullah. Karena itu, doktor Ushuluddin Universitas Ummul Quro, Mekah, yang referensi disertasinya 1000 kitab itu, berhak menyandang gelar habib.

Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari – sebagaimana Gus Dur – Kang Said tidak pernah menunjukkan dirinya atau mengaku-aku sebagai habib. Kang Said hidup sederhana, bersahaja, merakyat, dan seakan “menyembunyikan” identitas luhur yang diagung-agungkan warga Nahdliyyin tersebut.

Dalam diskursus ini, bukan persoalan kehabiban itu yang hendak ditunjukkan Fachry Ali saat membedah buku “Kiai Pesantren Membangun Peradaban, 70 Tahun Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, MA” Kamis 22 Februari 2024 di Universitas Negeri Jakarta tadi. Akan tetapi, Fachry Ali hendak menunjukkan, bahwa Kang Said jauh lebih dikenal sebagai sosok kiai yang luas ilmunya dan sederhana hidupnya, seperti lazimnya kaum santri di kalangan Nahdliyyin. Namun Kang Said punya kelebihan, menguasai sastra dan seni suara serta ilmu keislaman, baik yang paling klasik maupun paling modern. Uniknya, di masa mudanya, Kang Said dikenal sebagai penyanyi yang populer di wilayah Cirebon dan punya kepiawaian membuat syair atau puisi yang bernas dan indah.

Semua keistimewaan Kang Said ini ditunjang pula oleh pendidikan doktornya di perguruan tinggi Islam ternama di Saudi Arabia, Ummul Quro University.
Menurut Bang Fachry, sejarawan cum kolumnis lulusan Monash University, Australia itu, Kang Said istimewa di mata Gus Dur karena konsistensi akademik dan keluasan ilmunya, yang kemudian berkontribusi menambah khazanah keilmuan Islam yang sudah berdiri kokoh di kalangan Nahdhyiyin.

Tapi bukankah banyak kiai NU yang ilmunya luas? Nah, di sinilah istimewanya Kang Said. Menurut Fachry Ali, posisi Kang Said di kalangan kaum Nahdliyyin cukup distinktif. Fachry melihat, hingga hari ini, baru Kang Said yang berhasil menjadi Ketua Umum PBNU dengan gelar akademik lengkap: profesor, doktor, dan master of art. Semua gelar itu ditempuh melalui pendidikan formal berjenjang di “pondok pesantren, sekolah diniyah, dan perguruan tinggi Islam, baik tingkat nasional maupun internasional.”

- Advertisement -

Pencapaian Kang Said ini, dari aspek teknikal-akademik sangat sempurna. Ini berbeda dengan ketua-ketua umum PBNU sebelumnya. Mereka adalah the great selected persons (orang-orang besar pilihan) yang tak diragukan mempunyai kelebihan-kelebihan ilmu dan hikmah dibanding rata-rata massa kaum Nahdliyyin yang berjumlah ratusan juta itu.

Kendati demikian, yang membuat posisi Kang Said tampak “khusus” adalah deretan gelar akademik yang disandangnya ketika, sekali lagi, mendapat kehormatan menjadi ketua umum PBNU. Maka, jika sejarah Kang Said harus ditulis, ujar Fachry, beliau masuk ke dalam kategori ─ pinjam istilah Eric Hobsbawm – macro-historical narrative di dalam dunia kaum Nahdliyyin.

Ini bukan berarti ribuan jumlah kaum berpengetahuan agama Islam di kalangan Nahdliyyin berada di bawah Kang Said. Apa yang terjadi justru sebaliknya.

Di samping pengakuan bahwa Kang Said belajar kitab-kitab kuning di bawah bimbingan tokoh-tokoh pesantren, seperti Kiai Machrus Ali dari Ponpes Lirboyo Kediri dan Kiai Ali Maksum dari Ponpes Krapyak Yogya — ilmu pengetahuan agama yang diperoleh Kang Said dari Universitas Umm al-Qurra, Mekah, justru sepenuhnya terintegrasi atau merupakan bagian dari apa yang disebut intelektual muslim Ulil Abshar Abdalla sebagai “gunung teks” keislaman yang telah terkonservasi ratusan tahun di dalam tradisi berpikir kaum Nahdliyyin.

Ilmu pengetahuan agama yang dimiliki Kang Said, dengan demikian, bukan merombak susunan teks yang “menggunung” itu. Melainkan, memberikan kontribusi agar “gunung teks” itu terdorong ke arah posisi yang lebih tinggi (Fachry Ali dalam Catatan Struktural tentang Kang Said Aqil dan Kaum Nahdliyyin, kata pengantar “Kiai Pesantren Membangun Peradaban, 70 Tahun Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, MA” ).

Dalam konteks inilah, sosok Kang Said, ikut mewarnai “kekayaan wacana keislaman NU” sepeninggal Gus Dur. Barangkali, itu pula yang menyebabkan kedekatan hubungan Kang Said dan Gus Dur semasa “Sang Presiden RI” dari kalangan NU itu masih hidup.

Dengan rendah hati, Kang Said mengakui, bahwa Gus Dur adalah “Guru Besar” yang membimbing hidupnya. Sedangkan Gus Dur menyebut Kang Said sebagai “Perpustakaan Berjalan” (walking Library). Sebutan walking library itu menunjukkan luasnya pengetahuan Kang Said, putra Kiai Aqil pengasuh Ponpes Kempek, Palimanan, Cirebon ini.

Lepas dari kapasitas intelektual Kang Said yang mumpuni, menurut Fachry Ali, Ketua Umum PBNU 2010-2021 ini adalah sosok independen seperti Gus Dur. Beliau tidak mudah dikooptasi kepentingan politik. Obsesinya, seperti Gus Dur, Kang Said ingin membangun peradaban. Bukan kekuasaan.

Itulah sosok Kang Said! Kita berharap di usia 70 tahun ini, Kang Said tetap sehat dan terus menjadi obor untuk umat.

Prof. Dr. Wardah Nuroniyah
Prof. Dr. Wardah Nuroniyah
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.