Sabtu, November 23, 2024

The Red and The Black: Hipokrisi Mengkhianatimu

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Stendhal (né Henri Beyle) berumur empat puluh lima tahun ketika dia mulai menulis novel pertamanya, The Red and the Black. Novel tersebut diterbitkan saat Revolusi Perancis tahun 1830, sebuah peristiwa yang meratifikasi dan mengatur perubahan-perubahan dalam kehidupan dan politik Perancis. Dengan demikian, novelnya ini adalah dokumen sosial tingkat tinggi dan juga karya yang luar biasa. Stendhal melakukan apa yang dilakukan banyak novelis. Dia mengambil cerita yang ditemukannya di surat kabar dan menyusunnya menjadi sebuah karya imajinatif dengan menyimpulkan perasaan dan pemikiran si protagonis.

Stendhal adalah seorang pemikir bebas. Dia bermaksud untuk menggambarkan politik Perancis, kehidupan warga Perancis, dan kehidupan Paris dalam The Red and the Black. Dia mempunyai pandangan politik yang spesifik—bahwa kaum darah biru dan Gereja Katolik berkolusi melawan kepentingan masyarakat umum dan membantu Charles X dalam melembagakan kembali monarki absolut. Namun novel ini tidak hanya menampilkan pandangan-pandangan tersebut. Ia juga berdiri sendiri sebagai potret psikologis dan gambaran sebab dan akibat (kausalitas) gairah seksual.

Julien Sorel, sang protagonist, adalah seorang anak petani tampan yang ambisius. Baginya penampilan sangat penting, karena hal ini memungkinkannya untuk mengakses tempat dan kelompok yang seharusnya tertutup baginya. Orang-orang elit memuji kualitas-kualitas mulia, seperti kebanggaan dan kehalusan perasaan, yang dimiliki pada dirinya bahkan sebelum dia belajar untuk mendapatkannya. The Red and the Black adalah studi tentang dampak sosial dari prilaku. Julien berakhir seperti itu karena orang lain mengharapkan hal-hal besar darinya, dan dia juga mengharapkan hal itu. Tidak jelas apakah dia mempunyai talenta hebat atau hanya fasilitas tertentu.

Sebagian dari gagasan Stendhal bahwa perkembangan Julien bersifat publik dan bukan privat dan dia bertindak berdasarkan ekspektasi orang lain. Kesombongan yang dimilikinya merupakan akibat sikap antipati ayah dan saudara-saudaranya. Dia suka mengambil tantangan. Dari awal hingga akhir, setiap ada peluang dia memadukan sikap hati-hati dan keberanian. Tapi Julien tidak melulu berhati-hati. Oleh karena itu, dia memiliki kecenderungan sebagai seorang tokoh pahlawan Romantis, disamping faktor-faktor bakat, semangat, atau keistimewaan yang dipunyainya.

Karena kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kehebatan militernya, Julien bergabung dengan gereja dengan harapan dia dapat mewujudkan ambisinya di sana. Namun gereja terpecah menjadi partisan dan dia menyerahkan nasibnya kepada pihak yang salah (kaum Jansenis sebagai lawan dari kelompok Jesuit). Namun pada akhirnya wanitalah yang menyelamatkannya.

Hubungan cinta pertamanya adalah dengan seorang istri walikota, yang mempekerjakannya untuk mengajari ketiga putranya, Madame de Rênal. Dia sama menariknya dengan Julien—seorang pensiunan, lugu yang lahir dari didikan yang ketat, tanpa teman sejati atau posisi di masyarakat. Dia bahkan belum pernah membaca novel. Dia sama sekali tidak siap menghadapi gelombang gairah yang dia rasakan pada Julien. Awalnya Julien tidak menanggapinya perasaannya, namun kegembiraan dalam hubungan itu akhirnya membangkitkan gairahnya juga, sampai gosip di kota dan kecurigaan M. de Rênal memaksa mereka berdua untuk berpisah.

Politik Gereja membawa Julien ke Paris, ke posisi sebagai sekretaris seorang bangsawan kaya dan menteri pemerintahan, M. de La Mole. Dia memiliki seorang putra dan putri seusia Julien. Julien segera menyadari bahwa dia mempunyai lebih banyak hal daripada putra atau putri bangsawan muda tersebut. Sementara itu, majikannya mulai memperlakukannya dengan baik dan akrab. Si putri majikan, Mathilde yang sangat cantik, mulai melibatkannya dalam drama gairah besar dan terkutuk yang diciptakannya sendiri. Julien sebenarnya bukannya enggan untuk ikut serta, namun motifnya tumbuh lebih karena rasa bangga dan berani dibandingkan karena cinta sejatinya pada Mathilde. Klimaksnya dipicu ketika dia mengetahui bahwa Mathilde hamil.

Sebagai pengarang, Stendhal sangat blak-blakan tentang hasrat karakter wanitanya, sosok yang tidak bijaksana dan tidak sentimental. Bagi Madame de Rênal, cinta tidak hanya menguasai keyakinan agamanya, namun juga membuatnya kewalahan. Bagi Mathilde, kebajikan adalah kebutuhan sosial, namun bukan keharusan moral maupun agama. Hingga akhir, tujuannya adalah untuk menikah dengan Julien dengan syarat apapun, bahkan dengan cara yang paling kompromis sekalipun. Julien-lah yang berulang kali berupaya mencari cara untuk melibatkan kembali dirinya ke dalam masyarakat dengan cara sesedikit mungkin merusak reputasi dan nasibnya.

Pada saat yang sama, Stendhal memberikan perhatian khusus pada pertumbuhan perasaan masing-masing karakter. Mereka tidak didefinisikan sebagai “jatuh cinta”, melainkan interaksi antara hasrat, kebanggaan, kebencian, ketakutan, pemikiran kedua, kehati-hatian, dan kecakapan bermain digambarkan dengan hati-hati. Ini membuat hubungan cinta Julien tampak relatif dingin, berbeda dengan kisah cinta Tom Jones dan Sophia Western, tapi jauh lebih menarik.  Untuk Julien dan kekasihnya, pertumbuhan cinta mereka lebih bersifat politis dan bukan alamiah. Memang cinta tidak mempunyai tujuan kecuali sensasi momen. Namun Julien tidak berpacaran dengan wanita mana pun. Karenanya sebuah akhir yang bahagia tidak bisa diharapkan dalam hubungan yang ada.

Sebaliknya, pendekatan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan: nafsu para karakter membuat mereka berada di luar kehidupan normal masyarakat Perancis yang mata duitan, kejam, dan hampa sehingga banyak yang mati atau menjadi gila—Julien dieksekusi, Madame de Rênal meninggal karena patah hati, dan Mathilde memerankan cita-cita gilanya tentang seorang ratu abad pertengahan (secara kebetulan, Marguerite de Navarre), mengubur kepala kekasihnya dengan tangannya sendiri, lalu membangun kuil untuknya. Bagian akhir novel ini tidak lucu atau tragis namun ironis sebab ia melukiskan potret sosial masyarakat Perancis di Paris. Stendhal sangat mahir dalam melakukan detailisasi.

- Advertisement -

Julien, Mathilde, dan Madame de Rênal adalah karakter yang kompleks dan menarik, namun karakter narator tidak kalah menariknya. Narator bertindak sebagai penyeimbang kesadaran realistis di mana Romantisisme mereka selalu tenggelam. Narator tidak pernah gagal untuk memiliki perspektif yang luas, tidak pernah gagal untuk memasukkan tindakan dan perasaan para karakter ke dalam konteks sosial, tidak pernah gagal untuk menganalisis langkah-langkah mereka saat mengambil keputusan dan tindakan. Perancis bukanlah tempat yang transendental atau sentimental bagi narator. Baginya, Perancis adalah wilyah di mana keserakahan, ambisi, iri hati, dan kebencian selalu bekerja, penampilan sangat menipu, dan kehati-hatian merupakan kebajikan yang penting namun tidak memberikan jaminan keamanan.

Suaranya sangat ironis— dia tidak menghormati dan juga tidak merendahkan aspirasi Julien;  dia hanya mengamatinya dengan rasa simpati. Narator agaknya menyukai Madame de Rênal karena kedalaman cintanya yang polos dan menghormati intensitas tekad Mathilde. Tetapi dia menyadari bahwa ketiga karakter tersebut kalah dan juga beruntung atas tindakan mereka sendiri.  Dia tidak menawarkan mereka sebagai model;  ada kualitas yang tidak rasional dalam pilihan mereka. Tentu ini berasal dari fakta bahwa Stendhal menemukan cerita tersebut dan menjadikan dirinya sebagai pengamat utama, namun tidak membuat cerita tersebut berdasarkan pengalamannya sendiri.

The Red and the Black secara formal tidak sempurna. Novel ini terkesan bertele-tele dan adanya ketidakcocokan bagian-bagiannya satu sama lain. Peristiwa penembakan, persidangan dan eksekusi di bagian akhir berjalan terlalu cepat. Novel ini seharusnya mencakup lebih banyak wilayah daripada yang ada sekarang secara detail namun rileks seperti di paruh pertama. Julien tidak sepenuhnya simpatik, adakalanya dia terlalu licik dan di lain waktu kelewat angkuh. Psikologinya tampak utuh tetapi tidak menarik. Meski begitu, The Red and the Black adalah novel yang luar biasa kaya, jauh lebih berani daripada novel abad ke-19 yang pernah ada.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.