Akhir-akhir ini telinga sivitas akademika dibuat bising berdengung dengan program Kampus Merdeka. Bosan, pusing, dan bahkan mual, ketika jargon tersebut diucapkan secara overdosis. Bahkan tak tanggung-tanggung diglorifikasikan oleh elite-elite pejabat kampus di tayangan megatron, dinding-dinding, ruang kelas, dan ruang seminar atau diskusi sekalipun.
Bukan tidak beralasan, mulanya penulis pun menaruh harapan dengan gagasan “Kampus Merdeka”. Kampus yang memerdekakan seluruh sivitas akademikanya. Namun jauh panggang dari api, nyatanya jargon tersebut hanya menjadi lipservice yang terus diucapkan secara verbal. Kampus belum sepenuhnya merdeka dari jerat problematika klasik, yakni rendahnya aksesibilitas pendidikan tinggi akibat mahalnya biaya pendidikan.
Ketika kampus-kampus lain di luar negeri telah banyak mencetak pemenang nobel karena pengabdiannya, temuannya, ataupun gerakannya yang diakui oleh dunia. Kampus di Indonesia justru masih belum lepas dengan permasalahan fundamental. Ya, UKT masih menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Meminjam istilah Hobbes, UKT seperti sosok Leviathan, monster yang mampu menghancurkan harapan, mimpi, dan bahkan akhir-akhir ini menghilangkan nyawa manusia yang sedang berjuang di jalan ilmu pengetahuan.
Utamanya di kampus-kampus negeri, UKT menjadi persoalan yang pelik, berulang, dan tidak menemukan jalan ujungnya. Hampir selalu setiap semester menjelang pembayaran UKT, para mahasiswa masih melakukan demonstrasi dan advokasi untuk memperjuangkan mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.
Sungguh ironis ketika Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK PT) tahun 2022 masih sebesar 31.16 (BPS, 2022). Persoalan UKT yang tidak terjangkau ini justru seperti mimpi buruk bagi akses masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi. Padahal secara asas berdasarkan Pasal 3 UU Dikti, meski ditempatkan diakhir, penyelenggaraan pendidikan tinggi harus berasaskan “keterjangkauan.” Mungkin karena ditempatkan diposisi akhir, sehingga terlewat atau tidak terbaca oleh para pemangku kebijakan dan para pejabat kampus.
Begitu pun secara prinsipil, dalam Pasal 6 UU Dikti bahwa salah satu prinsip pendidikan tinggi ialah keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Seringkali penulis bergurau dengan rekan mahasiswa yang mempertanyakan mengapa biaya pendidikan tinggi makin hari makin tinggi? Mungkin karena istilahnya pendidikan “tinggi”, maka biayanya pun harus “tinggi” pula, dan mungkin hanya dikhususkan masyarakat kelas atas saja.
Sebetulnya dalam kerangka hukum, aspek-aspek pemenuhan hak mahasiswa pada dasarnya terlah tergambar dalam UU Dikti. Bisa dilihat dalam Pasal 76 UU Dikti bahwa:
Ayat (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Ayat (2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. Beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;
b. Bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau
c. Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Ayat (3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.”
Bahkan diperkuat dalam Pasal 9 Ayat (4) Permendikbud No. 25 Tahun 2020 bahwa dalam hal Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa mengalami penurunan kemampuan ekonomi, antara lain dikarenakan bencana alam dan/atau non-alam, Mahasiswa dapat mengajukan: a. Pembebasan sementara UKT; b. Pengurangan UKT; c. Perubahan kelompok UKT; atau d. Pembayaran UKT secara mengangsur.
Sayangnya berbagai aspek pengaturan tersebut kurang diperhatikan dan tidak diakomodir dalam kerangka peraturan dan kebijakan kampus. Sebagai contoh dibanyak Statuta Universitas, pengaturan tersebut tidak diakomodir dan diadopsi secara utuh. Bahkan secara kebijakan pun seringkali ketentuan tersebut direduksi sedemikian rupa. Kampus seringkali hanya mengeluarkan kebijakan penangguhan UKT atau pembayaran UKT secara mengangsur.
Padahal pengurangan dan perubahan kelompok atau bahkan pembebasan UKT merupakan hak mahasiswa yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan.
Amanat Pasal 12 Permendikbud No. 25 Tahun 2020 pun menyebutkan bahwa dalam hal penghitungan besaran UKT terdapat: a. Ketidaksesuaian data dengan fakta terkait ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa; atau b. Perubahan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa, pemimpin PTN dapat menurunkan atau menaikkan besaran UKT melalui penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap Mahasiswa.
Namun ketentuan tersebut seringkali diabaikan oleh perguruan tinggi dan bahkan tidak diimplementasikan secara optimal. Penulis sendiri memandang jika ketentuan tersebut harus diletakkan dalam kerangka yang lebih imperatif. Jika kampus tidak melakukan verifikasi UKT mahasiswa setiap semesternya atau secara berkala dalam tahun akademik tertentu, maka perlu adanya sanksi administratif bagi kampus tersebut. Harapannya agar kampus memiliki kesadaran akan menjalankan kewajibannya, meskipun masih sebatas takut dikenakan sanksi.
Di sisi lain, upaya verifikasi UKT pun dapat menjadi mekanisme bagi kampus untuk menindak mahasiswa-mahasiswa picik yang mencantumkan gaji orang tua dengan nominal yang kecil, agar tidak mendapatkan UKT dengan golongan tinggi. Padahal kondisi orang tuanya sangat mampu membiayai mahasiswa tersebut.
Pada dasarnya banyak cara yang bisa dilakukan kampus untuk menyelesaikan masalah UKT. Misalnya melalui dana CSR hasil kerja sama dengan berbagai perusahaan ataupun melalui pemanfaatan dana abadi untuk bantuan dan beasiswa bagi mahasiswa. Bahkan secara radikal, perlu adanya usulan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bahwa anggaran universitas berapa persennya untuk membantu mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT. Apalagi mengingat UKT mahasiswa menyumbang sebagian besar pendapatan kampus.
Akan tetapi, jika melihat bargaining position mahasiswa, sangatlah lemah dalam aspek perumusan kebijakan di kampus. Mahasiswa seringkali hanya dijadikan objek yang harus menjalankan program-program dan kebijakan kampus. Tanpa terlibat dalam perumusan program dan kebijakan tersebut. Sebagai contoh kondisi ini tergambar di beberapa universitas berstatus badan hukum (PTN BH) yang tidak memasukan unsur mahasiswa dalam keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA).
Padahal jika mahasiswa masuk ke dalam unsur MWA, ia mampu memperjuangkan haknya melalui perumusan kebijakan yang strategis. Termasuk dalam menentukan kebijakan UKT bagi mahasiswa. Tugas dan wewenang MWA yang sangat strategis, tentu dapat mendorong gerakan mahasiswa dalam menuntut hak-haknya, bukan hanya dalam demonstrasi jalanan tetapi juga melalui meja perundingan.
Terakhir persoalan yang tak kalah peliknya pun terkait Jalur Mandiri dalam penerimaan mahasiswa baru di PTN. Uang pangkal yang begitu besar saja secara logika awam sudah tentu bertentangan dengan asas keterjangkauan. Belum lagi UKT mahasiswa jalur mandiri yang seringkali diseragamkan pun tidak memperhatikan aspek kondisi ekonomi mahasiswa.
Transparansi terkait pendapatan universitas dari jalur mandiri pun belum diatur sedemikian rupa. Akibatnya jalur ini menjadi celah bagi oknum-oknum di kampus untuk meraup pundi melalui jalur mandiri. Kasus tertangkapnya salah satu Rektor PTN di Lampung harus menjadi evaluasi yang amat penting bagi penyelenggaraan PMB Jalur Mandiri. Sebaiknya jalur ini dihapuskan dan diganti oleh jalur lain yang lebih berkeadilan dan terjangkau bagi seluruh masyarakat marginal sekalipun.
Dengan demikian, beberapa upaya di atas diharapkan menjadi alternatif bagi penyelesaian masalah UKT. Jika tidak, maka ini akan menjadi jalan panjang problematika UKT bagi mahasiswa. Tanpa adanya solusi yang nyata, mungkin kita akan terbiasa melihat demonstrasi mahasiswa yang menjadi sebuah konvensi atau kebiasaan yang terus dilakukan setiap tahunnya.