Metode dalam memahami Al-Qur’an tidak bisa lepas dari penasfsiran para ulama’. Berawal dari penafsiran nabi Muhammad SAW yang disampaikan beliau melalui haditsnya, yang menjadi salah satu dari fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an yakni Bayan Tafsir (menjelaskan dengan menafsiri).
Kemudian perkembangan ilmu tafsir dilanjutkan oleh para sahabat beliau yang memiliki kapasitas dan kompetensi dalam menafsirkan firman Allah seperti Ibnu Abbas R.A, hingga dilanjutkan murid-muridnya yang berantai dan tersambung sampai para ulama’ diberbagai macam daerah seiring dengan semakin tersebar luasnya agama islam.
Di negeri kita indonesia tercinta tersebarnya agama islam tidak bisa lepas dari peran para ulama’ yang memiliki kemampuan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam hal ini kita patut bangga, karena ulama’ kita memiliki pengetahuan yang tidak kalah hebatnya dengan ulama’ Timur Tengah dalam bidang tafsir.
Dalam memahami suatu ilmu pengetahuan tidak boleh mengabaikan sosial-budaya, dikarenakan dalam memahami suatu ilmu harus memahami juga sosial-budaya didaerah tersebut agar bisa dipahami dengan baik. Begitu juga di Indonesia seorang pengkaji ilmu tafsir tidak boleh mengabaikan begitu saja terhadap sosial-budaya yang menjadi bagian kehidupan umat islam Indonesia. Sejarah perkembangan tafsir di Indonesia yang tercatat dalam sejarah dimulai dari masa ‘Abd ar-Rauf as-Sinkili (1615-1693 M) pada abad ke-17 Masehi sampai masa M. Quraish Shihab pada era awal abad ke-21 M.
Dilihat dari latar belakang sosial dan budayanya tafsir di Indonesia terbagi menjadi beberapa corak penafsiran, yaitu: (1) Tafsir yang ditulis dalam pengaruh politik kekuasaan yang kental; (2) Tafsir yang yang disusun dalam lingkukungan kultur pondok pesantren; (3) Tafsir yang ditulis ketika penulisnya aktif di lembaga pendidikan formal; (4) Tafsir yang ditulis dalam konteks sosial budaya pada organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam; (5) tafsir yang ditulis di luar latar belakang tertentu.
Pertama, tafsir yang ditulis dalam pengaruh politik kekuasaan yang kental. Salah satu bentuknya adalah tafsir yang ditulis oleh Abd ar-Rauf as-Sinkili, berjudul Tarjuman al-Mustafid. Tafsir ini merupakan tafsir pertama di Nusantara yang ditulis pada tahun 1675 oleh penasehat Kerajaan Aceh. Dalam konteks ini terlihat jelas bahwa proses penulisan tafsir ini diwarnai oleh latar sosial-budaya yang dipengaruhi oleh suatu kultur kekuasaan tertentu, yakni Kerajaan Aceh.
Contoh lain karya tafsir yang dipengaruhi oleh kultur kekuasaan tertentu adalah karya Raden Muhammad Qamar berjudul Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Penulis juga dikenal sebagai Raden Pengulu Tafsir Anom V atau juga dikenal sebagai Pengulu Ageng ke-18 pada Dinasti Kartasura, yang lahir pada tahun 1854 M di Kompleks Pengulon, Surakarta Hadiningrat sebagai anak ke 6 dari Penghulu Tafsir Anom IV, yang garis keturuannya bersambung hingga ke Sultan Trenggana, penguasa terakir Kerajaan Islam Demak.
Penulis tafsir ini merupakan Penghulu yang diangkat saat berusia 30 tahun (1815) oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Sehingga tafsir yang ditulis dapat dikatakan berada dalam konteks sosial-budaya kuasa tertentu. Terdapat juga tafsir yang ditulis M. Quraish shihab yakni, Tafsir al-Misbah yang mana beliau menulisnya ketika menjabat sebagai duta besar Indonesia di Mesir, yang termasuk dalam tafsir Indonesia modern yang dipengaruhi pengaruh kekuasaan politik.
Kedua, tafsir yang ditulis dalam lingkungan sosial kultural di pondok pesantren, seperti kitab tafsir yang ditulis oleh Kyai Imam Ghazali Guru Pondok Pesantren Mamba’ al-U’lum Solo, yang berjudul Tafsir al-Balagh. Selain tafsir ini terdapat pula beberapa kitab tafsir yang ditulis beberapa kalangan Kyai di lingkungan pesantren di antaranya dapat disebutkan: Rauḍat al-I’rfān fī ma’rifah al-Qur’an dan Tamsyiyatul Muslimin fī Tafsir Kalam Rabb al-A’lamin yang merupakan karya dari KH. Ahmad Sanoesi (1888-1950 M.), al-Ibriz li Ma‘rifati Tafsir alQur’an al-‘Aziz (1960) yang merupakan karya dari K.H. Bisri Mustofa (1915-1977), Iklil fī Ma‘ani at-Tanzil (1980) dan Taj al-Muslimin dua kitab yang menjadi karya dari K.H. Misbah ibn Zainul Mustofa (1916-1994), dan akhirnya Jami’ al-Bayan karya tafsir dari KH. Muhammad bin Sulaiman.
Ketiga, Tafsir yang ditulis ketika penulisnya aktif di lembaga pendidikan formal. Di antara seperti karya KH. Hamzah Manguluang, seorang ustadz pada Madrasah Aa’adiyah di Sengkang, Kab. Wajo. Ia telah menyelasaikan terjemah al-Qur’an dalam bahasa Bugis 30 Juz yang dibaginya dalam tiga jilid. Dalam penulisanya, penulis membagi tafsirnya dalam dua format, sebelah kiri adalah ayat-ayat al-Qur’an, sementara di sebelah kanan berisi terjemahan ayat dalam bahasa Bugis.
Adapun penjelasan diberikan pada ayat tertentu secara singkat. Karya ini telah mendapatkan pengakuan dari sang pemberi kata pengantar yaitu Anre Gurutta H. Daus Isma’il, yang menyatakan bahwa penulis telah mendapatkan kemuliaan karena telah menulis tafsir dalam Bahasa Bugis 30 Juz yang belum pernah dilakukan sispapun sebelumnya.
Keempat, tafsir yang ditulis dalam koteks sosial budaya pada organisasi kemasyarakat (Ormas) Islam. Salah satu contoh dari tafsir ini adalah tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh komunitas Muhammadiyah dengan judul Kur’an Jawen, yaitu tafsir al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Jawa, tafsir ini diterbitkan tahun 1927 oleh Ormas Muhammdiyah bidang Taman Pustaka di Surakarta. Selain Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam) juga pernah menerbitkan Tafsir al-Furqan, pada tahun 1928. Tafsir ini sendiri ditulis oleh sorang aktivis Persis yang bernama A. Hassan (1887-1958). Tafsir ini karena beberapa hal baru diselesaikan secara utuh tahun 1956 dan diterbitkan di Surabaya oleh Sa’ad Nabhan.
Kelima, Tafsir yang ditulis di luar latar belakang sosial tertentu. Tafsir ini berada dalam konteks sosial-budaya yang cukup independent, bebas dai ikatan identitas dan kepentingan tertentu. Contoh uatama dari corak ataupun pula tafsir ini adalah tafsir yang ditulis oleh Buya Hamka (Haji Abdul Malik Amullah), yang berjudul Tafsir al-Azhar. Meski Buya Hamka masuk dalam Ormas Muhammadiyah, namun pola tafsirnya cenderung lepas dari pengaruh Ormas tersebut karena ketokohannya yang begitu menonjol.
Konteks sosial-budaya menjadi penting untuk memahami sejarah tafsir di Indonesia dan berbagai macam coraknya, mengingat bahwa karya tafsir al-Qur’an akan senantiasa merupakan sebuah produk sosial-budaya tertentu yang dihasilkan dalam konteks historis tertentu. Perkembangan keilmuan Islam dibidang tafsir di Indonesia tidak kalah hebatnya dengan dengan keilmuan ulama’ timur tengah, dan tentu keilmuan di bidang lain juga tidak bisa dipandang remeh karena karya-karya ulama’ kita sering menjadi rujukan diberbagai macam universitas besar di timur tengah.