Dalam Transparenci International dan Amnesty International, sejak UU KPK direvisi pada tahun 2019, skor indeks persepsi korupsi Indonesia turun signifikan, dari 40 pada tahun 2019 menjadi 37 pada tahun 2020. Pada tahun 2019 Indonesia berada di peringkat 85, dan penurunan skor diikuti dengan merosotnya peringkat pada posisi 102 dari total 180 negara yang diukur. ini disebabkan berbagai macam pelemahan KPK yang terjadi sejak era SBY hingga Jokowi, yang paling mendasar adalah pelemahan KPK secara legislasi.
Revisi UU KPK ini kemudian berkembang dan diikuti dengan alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dalam asesmen dimasukkan materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menurut sebagian orang sangat kontroversial. TWK dimasukkan oleh pimpinan KPK meskipun UU tidak mengaturnya. Pada akhirnya, TWK digunakan oleh pimpinan KPK untuk menyingkirkan pegawai berdasarkan alasan subjektif dan tidak transparan.
Hal inilah kemudian yang dimaksud dengan adanya upaya pelemahan KPK secara massif. Berawal dari di sahkannya UU KPK yang baru No 19 tahun 2019 sejak saat itu upaya penolakan terhadap UU KPK ini kian banyak di suarakan.
Dalam UU KPK No 19 tahun 2019 beberapa pasal kemudian di revisi dari UU KPK yang lama, seperti adanya pengawasan terhadap KPK, perubahan KPK menjadi Lembaga yang bertanggung jawab kepada Presiden, DPR dan BPK, dan KPK berwenang menghentikan penyidikan perkara korupsi yang tidak selesai proses penyidikan dan penuntutannya selama paling lama satu tahun. Dan yang terakhir, klimaks dari rentetan peristiwa ini berujung kepada pemecatan 57 pegawai KPK.
KPK sebagai Lembaga rasuah anti korupsi di Indonesia sudah sepatutnya dilindungi dan diperkuat kedudukannya dalam menjalakan tugas. Namun beberapa tahun belakangan terakhir, KPK justru secara terang benderang di lemahkan, upaya ini adalah upaya yang merugikan negara itu sendiri, karna jika KPK dilemahkan, maka korupsi di negri ini akan semakin tumbuh subur dan tidak bisa dibendung.
Prestasi KPK selama ini seperti diabaikan, KPK terlalu bebas dan berani dalam bertindak dan menentukan pejabat pejabat mana saja yang terbukti korupsi, dan disinyalir tindakan KPK ini justru dapat mengganggu pejabat pejabat yang melakukan korupsi besar lainnya, namun belum terbukti. Menanggapi soal ini, ada istilah yang menarik yang dikemukakan oleh guru besar ilmu Politik Universitas Indonesia, Maswardi Rauf mengatakan bahwa kebebasan itu dapat menyebabkan ketidak pastian. Sebabnya beberapa pejabat negara dan pemimpin negara menghendaki kepastian.
Dalam kasus KPK ini misalnya, jika KPK tidak dilemahkan melalui UU KPK yang baru dan pemecatan 57 Pegawainya, maka KPK tetap akan eksis memberatas korupsi tanpa pandang bulu, dan inilah yang dikhawatirkan. Memberantas korupsi tanpa pandang bulu memang tujuan yang mulia dan merupakan pengejewantahan dari kehendak rakyat terhadap maraknya kasus korupsi di negri ini, namun hal ini justru berbanding terbalik dengan elit politik dan pejabat di negara ini. Birokrat, politisi dan pemimpin yang korup khawatir jika suatu waktu mereka akan menjadi terget KPK, sebabnya mereka membutuhkan kepastian.
Kepastian ini terpatri dalam di sahkannya UU KPK No 19 tahun 2019 mengenai adanya dewan pengawas KPK dalam memberantas korupsi. Selain itu, KPK juga dalam tindakannya memberantas korupsi bettanggung jawab terhadap Presiden, DPR dan BPK. Dari sepenggal contoh isi dalam UU KPK yang baru ini, sudah jelas bahwa ada pejabat pejabat negara yang menginginkan kepastian untuk KPK dalam memberanatas korupsi di negri ini.
Maksudnya adalah, KPK tetap dalam rule nya memberantas korupsi di negri ini, namun dalam tindakannya, KPK menjadi bagian dalam rumpun eksekutif dan segala tindak tanduknya dibatasi. Inilah yang dimaksud dengan kepastian itu. Dengan di sahkannya UU KPK yang baru, beberapa pejabat sudah tidak lagi menjadi khawatir. Dengan begitu, secara tidak langsung, mereka dapat mengotrol KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di negri ini. Kemudian pemecatan 57 pegawai KPK yang baru adalah klimaks dari segala upaya pelemahan KPK selama ini.
Tercatat, beberapa penyidik yang telah di pecat KPK itu adalah mereka yang telah lama mengabdi untuk KPK dan merupakan pegawai yang terbilang berprestasi. Pemecatan ini tergolong tendensius, dan ditambah lagi Tes Wawasan Kebangsaan itupun tidak di atur dalam UU KPK yang baru. Sebabnya, pemecatan 57 pegawai KPK ini merupakan keputusan subyektif dari Firli Bahuri selaku petinggi KPK.
Dilansir dari Tirto. Id, pemecatan ini dalam pandangan Komnas HAM telah melanggar Hak Asasi Manusia, begitupun juga pada temuan Ombusdman RI, hasil temuan Ombusdman RI, pada assessment TWK telah ditemukan mal-admisnistrasi. Sementara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) sepakat bahwa assessment TWK sesuai konstitusi, meskipun MA meminta kepada Presiden untuk menengahi polemic yang terjadi.
Kemudian lebih lanjut, apabila dicermati perubahan UU KPK sebagaimana telah diubah menjadi UU No 19 Tahun 2019 tidak mengikuti salah satu prosedur atau tahapan yang dimaksud yaitu tahapan “perencanaan” atau dengan kata lain perubahan UU KPK tidak dimuat dalam prolegnas jangka waktu lima tahun (2014-2019), sedangkan Pasal 45 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019 menentukan peryaratan RUU wajib berdasarkan Prolegnas. Bahkan UU No. 15 Tahun 2019 mengamanatkan agar melibatkan partisipasi masyarakat, LSM dan KPK sebagai lembaga negara terkait namun hal itu justru diabaikan.
Tidak hanya demikian, bahkan perubahan UU KPK juga terdapat keanehan dalam proses pembentukannya, yaitu begitu cepat dilakukan oleh DPR. Sementara, terdapat antrein RUU Pertanahan, dan RUU lainnya yang sebetulnya telah dimuat terlebih dahulu dalam prolegnas tetapi justru tidak disahkan menjadi UU oleh DPR. Hal ini, mengindikasikan bahwa dalam perubahan UU KPK, kuat dugaan ada unsur politis dan kepentingan didalamnya.
Padahal lahirnya KPK adalah buah dari reformasi yang tidak percaya urusan hukum sepenuhnya ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, sebabnya KPK lahir sebagai Lembaga independent yang dalam pelaksanaanya tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presden. Pasca Orde baru, sisah sisah praktek korupsi itu masih bertahan di era reformasi, mereka bersembunyi menjadi birokrat yang merangkap menjadi politisi dan pengusaha. Praktek ini disebut oleh Yoshihara sebagai pemburu rente. Sebabnya sudah sepatutnya para pelaku tindak pidana korupsi ini diberantas, yaitu dengan menguatkan KPK.
Namun, kenyataan justru berbanding terbalik. KPK terus saja dilemahkan dengan berbagai upaya hingga klimaksnya pemecatan 57 pegawainya. Kini masa depan penanganan korupsi ada ditangan masyarakat Indonenesia. Pamor KPK yang kian memudar, menandakan nasib pemberantasan korupsi kini di ujung tanduk.