Belum lama ini di acara BUMN Muda bertajuk: Fast Break: Menuju Generasi Emas BUMN, Erick Thohir membuat kejutan menarik. Rencananya acara ini dimulai siang hari. Namun, Erick Thohir meminta hal yang tak diduga, acaranya mesti dimajukan pagi hari. Anak buahnya pun kalang-kabut.
Sesuai permintaan Erick Thohir itu, acara dimulai pagi. Tapi perubahan mendadak itu menjadi kejanggalan bagi banyak anak buahnya. Agaknya, wajar saja bila ada yang berprasangka buruk bahwa Menteri BUMN itu bersikap sewenang-wenang atas jadwal yang sudah disusun. Erick tampak santai saja dan selalu ceria seperti hari-hari sebelumnya. Ia tentu tahu banyak pertanyaan di dalam kepala anak buahnya.
“Jadi begini, mengapa tadi tiba-tiba acara kita majukan lebih cepat?” ujar Erick dengan senyum khasnya memberikan jawaban di pertengahan acara. “Saya ingin melihat kesiapan kita semua untuk menghadapi hal-hal tak diduga,” lanjutnya disambut tepuk tangan meriah dan riuh oleh para anak buahnya.
Tepuk tangan itu dibalas Erick Thohir dengan senyum terima kasihnya kepada semua yang hadir di acara tersebut. Wajahnya tampak sumringah karena kejutan yang ia berikan diselesaikan dengan baik oleh anak buahnya. Begitu juga raut muka anak buahnya yang tampak bahagia karena tantangan tak terduga itu dapat dilakukan dengan maksimal. Tidak sia-sia menggunakan kata kunci “Muda”, “Generasi Emas”, “Fast Break”, dan seterusnya dalam acara tersebut.
Sekilas, kejutan dari Erick tersebut tampak sederhana saja. Tapi, sesederhana apapun kejutan itu, yang penting adalah soal visi yang dibawanya. Jutru dari hal-hal sederhana itulah suatu visi besar harus dimulai dan diujicobakan. Sebagai Menteri BUMN, Erick membawa visi untuk membuat BUMN fondasi tangguh bagi Indonesia. Hal itu hanya bisa diwujudkan kalau para jajarannya, dari bawah sampai atas, benar-benar bisa bekerja dengan tangguh juga. Bagaimana pun juga, selama ini, di negara kita ini citra abdi negara sangatlah buruk.
“Orang-orang yang dibiayai negara itu ogah-ogahan melayani masyarakat dengan baik. Melihat masyarakat datang ke kantor mereka aja, muka mereka langsung penuh beban!” begitu komentar salah satu warganet yang melampiskan kekesalannya ketika berurusan dengan abdi negara.
Kejutan sederhana yang dilakukan Eric tersebut, pada prinsipnya, adalah soal membangun “budaya kerja” yang berbeda, di antaranya budaya kerja yang lebih cekatan, siap-sedia, dan kerja sama. Hanya dengan budaya kerja seperti itulah citra buruk atas pegawai negara bisa dihilangkan pelan-pelan. Tak dapat dipungkiri, masyarakat kita mempunyai keinginan besar untuk mendapat pelayanan dan pemenuhan kebutuhan yang layak dari lembaga-lembaga negara, termasuk BUMN. Mau tak mau, BUMN mesti memenuhinya.
Begitulah yang telah dilakukan Erick Thohir ketika ia baru diangkat jadi menteri. Sejak awal, visi untuk mengubah budaya kerja di BUMN sudah tampak jelas darinya. Hal itu tampak dari perubahan slogan BUMN. Pada era sebelumnya, slogannya adalah “BUMN Hadir untuk Negeri”, kemudian diganti dengan “BUMN Hadir untuk Indonesia”. Lagi-lagi, apa yang dilakukan Erick tampak terlalu sederhana sekali. Hanya mengganti satu kata. Namun, dampaknya lebih besar.
Erick ingin mempertegas orientasi kerja para jajarannya pada negara “Indonesia”. Kita tahu bahwa kata “negeri” bisa merujuk ke “Indonesia”. Tapi, yang diinginkan Erick adalah munculnya tanggung jawab moral kita terhadap penggunaan kata “Indonesia” tersebut. Penggunaan kata Indonesia selama ini sering disepelekan saja. Siapa pun bisa saja mengusung kata Indonesia tetapi tidak semua yang benar-benar bisa menunjukkan tanggung jawab untuk berbakti pada Indonesia. Erick Thohir ingin jajarannya punya tanggung jawab terhadap slogan baru tersebut dan ia mau di setiap langkah para jajaran BUMN, selalu ada tanggung jawab untuk “Indonesia”.
Selain slogan, Erick juga mengganti logo. Perubahan logo ini masih menjadi bagian dari cara Erick untuk mengubah budaya kerja di BUMN. Melalui logo baru tersebut, Erick ingin menyimbolkan bahwa sebagian posisi-posisi penting di BUMN mesti diisi oleh anak muda. “Saya ga segan mengangkat direksi muda, bukan gaya-gayaan, ini transformasi karena, mohon maaf, kita pemimpin ada waktu dan umurnya. Jadi berikan kesempatan yang muda jadi penerus. Kita kuatkan karakter, logo baru, pondasi yang kuat kita bergerak,” ujar Erick sangat yakin.
Tidak sedikit pihak yang mengapresiasi upaya rebranding logo tersebut, namun tidak sedikit pula yang bertanya-tanya maksud dari aksinya tersebut. Meskipun Menteri Erick Thohir sudah menjelaskan maksud dibalik logo baru tersebut sebagai upaya transformatif, reformasi birokrasi, serta komitmen yang nyata untuk terwujudnya good corporate governance (GCG). Namun tentu upaya pergantian logo BUMN ini dapat pula dibaca dari kacamata yang berbeda yakni sosiologi visual.
Pertama-tama, sosiologi visual dikenal sebagai metode untuk mempelajari setiap gambar yang dihasilkan sebagai bagian dari kebudayaan. Karena ia bagian dari kebudayaan maka terdapat kode-kode simbolik yang sudah lebih dulu memperoleh konsensus secara sosial. Sederhananya, gambar apapun yang dihasilkan tidak terlepas dari konteks sosial yang ada serta mengandung makna yang tafsirannya bisa dibangun dan dibongkar oleh siapapun.
Uniknya, kesadaran visual yang sudah menjadi tradisi bagi setiap perusahaan dalam menumbuhkembangkan bisnisnya itu berangkat dari sebuah adagium bahwa dunia yang dilihat, difoto, digambar, atau diwakili secara visual berbeda dari dunia yang diwakili melalui kata-kata dan angka. Maka, tidak jarang setiap perusahaan begitu cermat memperhatikan setiap produknya untuk kemudian secara visual dikemas semenarik mungkin.
Kita bisa melihat pula bagaimana perusahaan-perusahaan besar hingga kecil cukup terbiasa dengan rebranding logo dengan maksud menyegarkan kembali citra mereka setelah sekian waktu, sekaligus sebagai bentuk respon atas persaingan di dunia bisnis. Jika melihat sepak terjang Erick Thohir selaku pengusaha sebelum ia menjadi Menteri, maka kesadaran visual ini adalah bagian yang tidak bisa lepas dari dinamika bisnis yang digelutinya.
Logo BUMN yang baru di era Menteri Erick Thohir ini, bila dicermati menggunakan nalar visual, maka bisa dilihat sebagai medium penglihatan dalam sebuah konstruksi organisasi sosial serta makna. Selain itu, ia juga berarti praktik komunikasi ikonik yang secara disengaja mengomunikasikan informasi dan dapat digunakan untuk mengelola hubungan dalam masyarakat.
Meskipun dimulai dari hal sederhana, yaitu perubahan logo dan slogan, tapi pada gilirannya visi Erick untuk memperbanyak kontribusi generasi muda di BUMN merupakan terobosan penting. Bagaimana pun juga, sudah jadi rahasia umum bahwa salah satu yang memperlambat kerja institusi negara adalah masih bercokolnya generasi lama di dalamnya.
Tentu, tidak ada salahnya dengan generasi lama bila gerak kerjanya masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Tapi, dalam banyak kasus, tempo kerja dan tingkat respons generasi lama pada kondisi-kondisi terbaru seringkali lambat, bahkan berbenturan. Sehingga, hal itu seringkali menjadi batu kendala di dalam institusi itu sendiri. Apalagi bila budaya kerja di institusi tersebut bersifat feodal, maka semakin sulit bagi generasi muda untuk memegang kendali ke arah yang lebih baik.
Tidak dapat disangkal lagi, perubahan besar-besaran mesti dimulai dari budaya kerja, terutama di dalam institusi negara itu sendiri. Tanpa budaya kerja yang tepat, visi sebaik apapun akan tenggelam begitu saja. Bila Erick Thohir memang ingin menciptakan generasi emas dan angkatan muda yang lebih maju dan tangguh dalam membangun Indonesia, maka apa yang dilakukannya tersebut sudah sangat tepat. Budaya kerja yang dibangun oleh Erick Thohir di BUMN tak hanya harus terus-menerus diperkuat di dalam BUMN saja, tetapi juga harus diterap-luaskan ke institusi-institusi lainnya.