Minggu, November 24, 2024

Insentif Kedaruratan untuk Para Ulama?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -

Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi kita semua dalam masa Covid-19 ini adalah kesulitan kita dalam menjalani hidup. Hidup yang saya maksud adalah mencari dan mempertahankan kehidupan yang layak dan normal. Kehilangan pekerjaan, penurunan usaha, dan masih banyak lagi. Mereka yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan bagaimana cara hidup ini merata. Semua kelas sosial mengalami dalam derajat yang mungkin berbeda.

Ada sebagian masyarakat yang masih bisa merasakan penghidupan yang layak, namun saya yakin jumlahnya juga menurun. Di sinilah sebenarnya saya merasa agak tercengang dengan usulan MUI, salah seorang pengurus yang juga Stafsus Wapres, Lukmanul Hakim kepada Menko PMK, Muhadjir, agar pemerintah memberikan insentif kedaruratan untuk yang dia sebutkan para ulama.

Saya memandang usulan seperti ini menunjukkan sikap yang jauh dari sensitif dan empatik atas nasib sebagian besar manusia yang juga mengalami kesulitan. Mengapa kurang sensitif dan simpati, karena mereka mendahulukan kelompok sosial mereka sendiri. Mereka tidak berpikir bahwa mereka yang kebanyakan terpapar tidak menjadi bagian dari kategori ulama.

Apakah karena seseorang berpredikat sebagai seorang ustadz, mubaligh, atau apa, lalu dalam keadaan dimana semua orang sulit, menyebabkan seseorang itu diusulkan untuk mendapatkan prioritas? Apalagi kalau yang dimaksud sebagai ulama di sini ini adalah mereka yang sudah memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang cukup lumayan seperti menjadi pengurus MUI, mubaligh, ustadz dan lain sebagainya?

Cara berpikir insentif kedaruratan ulama ini mirip cara berpikir oligarki dan sungguh layak untuk dipersoalkan karena di dalam kehidupan dan kebijakan negara seperti di Indonesia, seseorang mendapatkan insentif karena masa pagebluk ini bukan karena predikatnya misalnya ulama, tapi karena pertama mereka warga Indonesia, kedua, mereka dalam keadaan yang memang butuh (fakir/miskin), ketiga, meskipun meskipun bekerja namun karena pandemi, pekerjaan mereka hilang atau tidak menghasilkan pendapatan sesuai denga apa yang mereka butuhkan untuk keperluan dasar sehari-hari, dlsb. Pendek kata, mereka yang paling berdampak inilah yang menurut hemat saya yang selayaknya disuarakan MUI.

Kita tahu bahwa ulama adalah orang yang memiliki keilmuan yang lebih di bandingkan dengan masyarakatnya. Dalam pengertian kita sehari-hari, mereka adalah orang yang memiliki ilmu agama yang unggul. Mubaligh juga demikian, mereka pandai berceramah, menasehati orang soal urusan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan sebagai seorang Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah keahlian, atau dalam bahasa modern dinamakan sebagai profesi (keahlian).

Dengan profesi ini, seseorang bisa mendapatkan penghidupan. Bahkan dalam era sekarang ini, para ulama, mubaligh dan ustadz termasuk di antara mereka yang memiliki penghasilan hidup yang memadai karena profesi mereka dibutuhkan baik oleh masyarakat, partai politik atau oleh pihak-pihak lain. Dengan kata lain, kebanyakan mereka adalah kelas menengah ke atas secara ekonomi dengan keahlian yang mereka miliki.

Namun sejarah keulamaan masa lalu itu berbeda dengan keulamaan yang MUI bayangkan sekarang ini terutama dikaitkan dengan usulan mereka untuk insentif keulamaan dari negara. Ulama masa lalu adalah orang yang berjuang memajukan agama tanpa memikirkan bantuan apapun dari pihak negara.

Ulama masa lalu, bahkan dalam keadaan tersulit pun, mereka rela menjadikan dirinya sebagai pelopor di depan. Pelopor segalanya, pelopor perjuangan melawan penjajah, pelopor pendidikan, dlsb. Mereka rela berkorban demi masyarakat mereka. Kehidupan keseharian pun rara-rata mereka tidak bergantung pada bantuan negara. Bahkan karena sikap yang independen inilah yang menjadikan mereka sebagai orang yang tidak memiliki beban ketika melakukan kritik pada negara.

Bahkan, menjadi independen itu merupakan bagian dari ukuran keulamaan mereka. Pendek kata, bayangan keulamaan yang dibahasakan oleh MUI “sebagai kelompok masyarakat yang butuh diberi insentif kadaruratan” adalah hal yang berbeda dengan sikap keulamaan masa lalu. Karenanya, saya memiliki pendekatan lain dari pendekatan MUI.

- Advertisement -

Mungkin jika kita tanya langsung ke para ulama lebih mana yang didahulukan; apakah insentif untuk mereka atau untuk profesi lain yang lebih membutuhkan yang didahulukan? Bisa jadi jawabnya untuk orang lain dulu, kita, para ulama masih bisa bertahan. Itu imajinasi saya tentang keulamaan. Saya ngga tahu benar apakah imajinasi saya benar atau tidak, tapi yang jelas dasar saya adalah sejarah peran ulama di masa lalu.

Namun dari segi sosiologi politik, organisasi kadang memang banyak yang memerankan peran seperti. Mereka bertindak demikian untuk mengawetkan otoritas yang sudah mereka dapatkan dan orang yang mereka klaim diwakilinya selama ini. Dengan cara ini organisasi bisa bertahan. Namun sekali lagi, sebagai agensi, mereka belum tentu menyuarakan apa yang benar-benar menjadi kepentingan dari mereka yang diklaim sebagai suara yang diwakilinya. Ini realitas yang seringkali terjadi.

Saya memimpikan bahwa sebuah lembaga keulamaan atau keagamaan, mereka sepatutnya mendahulukan untuk menyuarakan suara kelompok yang paling lemah lebih dahulu (mustad’afin), meskipun itu bukan bagian dari mereka. Siapa mereka?

Dalam konteks Covid-19 adalah mereka yang terkena Covid-19, keluarga mereka yang tidak mampu, dan juga kelompok kerja kelas bawah yang dalam kesehariannya memang harus bekerja untuk memenuhi keberlanjutan hidup mereka. Bagi saya organisasi keagamaan dan keulamaan harus lebih banyak berbicara kepentingan rakyat lebih dahulu daripada kelompok mereka sendiri karena kalau bukan mereka yang menyuarakan, siapa lagi? Seharusnya, kelompok keagamaan dan keulamaanlah yang paling kredibel menyuarakan ini, jika kita melihat sejarah mereka di masa lalu.

Terakhir, ketika saya amati secara seksama, mengapa di lingkungan Ormas Keagamaan kita, hanya MUI saja yang memiliki usulan insentif keulamaan? Suara seperti itu nampaknya tidak terdengar dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama? Ini persoalan yang menarik untuk dilihat. Apakah itu diusulkan oleh MUI karena MUI selama ini dekat dengan negara dan orang-orang pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, sehingga dengan itu mereka merasa berhak untuk menyuarakan itu? Atau ada hal lainnya?

Sebagai catatan, lembaga keulamaan seperti MUI akan mendapatkan simpati lebih banyak kalangan apabila mereka menyuarakan kepentingan masyarakat yang lebih luas, bukan kelompok mereka sendiri. Karenanya, permintaan insentif keulamaan lebih baik mereka ganti insentif kaum musta’difin, kaum yang lemah terutama karena terdampak Covid-19 ini.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.