Minggu, November 24, 2024

Sapi, Jagung, Manusia

Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi
- Advertisement -

Di Jawa Pos, 20 Juli 2021, ada dua foto tampil di halaman 5. Foto dua ekor sapi. Pembaca makin mengerti sapi berkaitan Idul Adha. Pada bagian atas, foto sapi dengan keterangan sumbangan Joko Widodo untuk warga di Banjarmasin. Bobot sapi hampir 1 ton. Di bawah, kita melihat foto sapi dengan keterangan: “Sapi limosin terjual Rp 100 juta.” Sapi berbobot 1,3 ton pernah dua kali juara dalam kontes ternak kriteria sapi penggemukan. Pada peringatan Idul Adha, publik diajak memikirkan sapi, disusul kambing. Sapi menjadi berita gara-gara bobot atau ngamuk.

Kita masih membuka halaman-halaman Jawa Pos edisi 21 Juli 2021. Berita tentang Raffi Ahmad berkurban 20 sapi dan 20 kambing. Di situ, ada foto artis dan sapi dinamakan Si Bager, berbobot 1 ton. Berganti di Kompas, 21 Juli 2021, ada pemberitahuan: “Sandiaga Uno Berbagi 1.000 Hewan Kurban di 17 Provinsi, Ajak Atta Halilintar.” Jumlah mencengangkan. Seribu hewan (sapi, kerbau, dan kambing) untuk pemaknaan Idul Adha. Kita membaca dan kagum. Sapi masih menjadi pilihan utama. Tahun demi tahun, jumlah sapi dalam Idul Adha terus bertambah. Orang-orang mungkin menggemari daging sapi atau berurusan dengan bobot dalam pembagian. Peternakan sapi tentu memiliki kerja besar setiap tahun.

Peringatan hari bermakna dalam agama itu bertambah heboh saat kita membaca berita di Jawa Pos, 22 Juli 2021. Berita berjudul “Kurban 1.100 Hewan, Putra Siregar Pecahkan Rekor Muri.” Kita menunduk bingung dan meragu bertepuk tangan. Urusan kurban sudah diurusi dengan rekor. Masalah agak absurd saat kita ingin mengerti iman dan insaf atas situasi wabah. Kita mengutip berita sambil berharapan hal itu jangan terulang: “Selain dari pihak Muri, pemecahan rekor tersebut disaksikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Kehadiran sang menteri diabadikan juga oleh Putra Siregar dan dibagikan di Instagram berikut ucapan terima kasih darinya.”

Kita mundur saja ke belakang ketimbang kebingungan memikirkan sapi dan rekor di Indonesia. Kita berimajinasi (peternakan) sapi tapi tak beralamat di Indonesa. Pengisah bernama Taufiq Ismail, kuliah di kedokteran hewan dan pernah dolan ke Amerika Serikat. Kita membaca puisi berjudul “Sapi Daging Peternakan Brenton” digubah Taufiq Ismail pada 1971. Lawas tapi membekas bagi kita ingin membuktikan si penggubah puisi mengerti masalah binatang dan bisnis. Puisi mengandung berita: Inilah pabrik daging yang hidup/ Inilah sebuah sistim/ Matahari musim rontok bersinar/ Tanahnya landai, lumpurnya subur/ Duaratus meter persegi tai sapi/ dalamnya satu dengkul/ Mata rantai produksi kali ini/ Adalah kandang-kandang sapi daging/ Peternakan Brenton. Kita diminta membaca itu sebagai puisi sejenis “riset” tersampaikan mirip berita. Pada masa 1970-an, Taufiq Ismail sudah kondang, publik tak usah meragu dengan puisi-puisi dimuat di majalah-majalah dan diterbitkan menjadi buku.

Kita membaca lagi untuk menghormati puisi mengenai sapi: Dua ribu sapi menguak sekaligus/ Dalam persatuan yang mengharukan/ Suara mereka adalah/ Ilustrasi padang-padang jagung/ Tanah yang landai/ Lumpur yang subur/ Tangki air sembilan ribu galon/ Kamar pengaduk makanan/ Timbangan 5000 kilo/ Kantor catatan kelahiran/ buku hitung dagang/ Dan bau serbuk manis/ Melayang bersama/ Tepung jagung/ Hinggap pada suara/ Dua ribu sapi menguak sekaligus/ Dalam persatuan yang mengharukan. Kita mungkin ketakutan melihat rombongan sapi dengan jumlah ribuan. Mereka berada dalam misi besar menjadi gemuk dan disantap manusia.

Di sana, Taufiq Ismail pasti tercengang dan memikirkan beragam hal mengenai sapi, jagung, perdagangan makanan, dan derajat Amerika Serikat. Pada masa 1960-an, ia sering menulis puisi-puisi protes atau melawan berkaitan politik. Di Amerika Serikat, ia bertemu sapi. Puisi memuat gelagat protes atas nasib tumbuhan, binatang, dan manusia. Orang-orang makan daging sapi berarti mengonsumsi jagung. Ribuan atau jutaan sapi gemuk gara-gara makan jagung. Bersekutulah jagung, sapi, dan manusia! Taufiq Ismail tak lupa mengabarkan kelimpahan laba bertema sapi: Industri ke seluruh negeri/ Dan Advertensi penuh fantasi! Makanlah daging sapi. Konon, santapan itu lezat dan bergengsi, setelah orang-orang makan atau “dimakan” iklan-iklan.

Kita malah tergoda ingin mengetahui masalah jagung, setelah sapi. Kita pilih membaca buku berjudul jelek: Fakta Mengejutkan Makanan Modern: Memperbaiki Pola Makan dan Menuju Seehat dan Alami (2010) garapan Michael Pollan. Judul asli memiliki ledekan: The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. Dulu, buku itu sempat disepelekan gara-gara judul dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia. Buku apik mengajak orang-orang “marah” dan “kecewa” berkaitan jagung dan sapi.

Buku berfaedah setelah membaca puisi gubahan Taufiq Ismail. Kita simak: “… memberikan sejumlah besar jagung kepada sapi pada masa pertumbuhannya sama sekali bukan bagian dari kebiasaan leluhur atau bahkan kebiasaan baik. Keuntungan besarlak yang diperoleh jika sapi-sapi itu diberi pakan jagung, sumber padat kalori untuk menghasilkan energi dan dapat menggemukkan dengan cepat. Daging mereka yang berlemak memberikan rasa dan tekstur yang sepertinya digemari konsumen Ameerika. Tetapi, daging sapi pemakan jagung ini, setelah diuji, tidak terlalu menyehatkan.” Kita merenung sejenak, mencari keberadaan jerami sebagai pakan. Jatah jagung diutamakan dimakan sapi ketimbang jerami. Pengetahuan kita mengenai sapi-sapi di desa dan materi pelajaran berubah. Sapi dan jagung adalah tema besar di Amerika Serikat.

Daging sapi sangat digemari. Peternakan sapi wajib “cepat” menjadikan hewan itu gemuk atau berdaging. Bisnis adalah patokan. Kita diajak berpikiran jauh setelah mengetahui sapi dalam dongeng, gambar, atau pengalaman di desa. Sapi mungkin tema belum terlalu penting dipelajari meski kita berulang mengetahui harga daging sapi sering mahal atau sapi-sapi dalam peringatan Idul Adha. Buku cerita anak bertokoh sapi sudah melimpah tapi memikirkan sapi secara serius berkaitan beragam hal masih lambat. Kita pun tak menduga Taufiq Ismail menulis sapi dalam puisi.

Kita bandingkan dengan puisi menggunakan diksi sapi tapi mengisahkan “ini” dan “itu” gubahan Darmanto Jatman. Puisi itu berjudul “Hai Sapi!” Puisi lucu bergelimang sindiran. Kita membaca: Ini pasar apa seminar?// Denok deblong/ Pernahkah sampeyan ke pasar Beringharjo circa 1982?/ Kalau sampeyan tutup mata sampeyan,/ lalu sampeyan buka telinga sampeyan/ yakinlah:/ ini seminar, bukan pasar! Pembaca susah mencari sapi. Kita mengutip lagi sembarangan: Anget, anget!/ Copet! Copet!/ Anget, anget!/ SGM semutu susu ibu!/ Jadi kesimpulannya/ Yang kita butuhkan adalah kebebasan mencipta, dan tentu saja/ juga kebebasan untuk menerbitkannya/ lalu publikasi, lalu eh, honorarium. Darmanto Jatman kadang “sinting” dalam menulis puisi. Kita mendingan tak terlalu repot memahami. Di situ, kita membaca ada susu. Bocah-bocah di Indonesia biasa mengingat susu itu sapi. Iklan-iklan di majalah dan televisi kadang menampilkan sapi. Jadilah bocah-bocah minum susu sapi!

- Advertisement -

Kita masih penasaran sapi. Berita-berita, dua puisi, dan buku belum mencukupi untuk mengetahui sapi. Pada abad XXI, sapi pasti sudah memiliki masalah-masalah tambahan dan besar. Begitu.

Bandung Mawardi
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.