Setiap Ramadhan dan lebaran, terutama 5 tahun belakangan ini, saya selalu mengalami kesedihan di balik kemeriahan lebaran. Itu karena mengingat nasib saudara-saudara sebangsa dan semuslim yakni 300-an pengungsi Syiah Sampang yang masih terusir dari kampung halamannya.
Kesedihan saya bertambah saat mengetahui niat 270 orang pengungsi untuk bersilaturahmi lebaran barang sejenak dengan keluarga mereka di kampung tahun ini telah dilarang dan tidak diberi jalan oleh pemerintah dengan alasan tidak aman. Alasan yang menurut saya sangat tidak bertanggung jawab dan selalu mau enaknya sendiri dengan, seperti biasa, mengorbankan yang lemah. Atas dasar moral apa kita dan negara merasa berhak untuk tidak melindungi hak warga demi bersilaturahmi dan berlebaran?
Aspirasi rakyat kecil yang diperlakukan begitu sepele. Banyak dari pengungsi yang ibunya, bapaknya, kakak dan adiknya, kerabat dekatnya masih berada di kampung. Sejumlah orangtua dan saudara mereka telah meninggal dunia di kampung tanpa pengungsi sempat mengurusnya dan menguburnya dengan layak.
Dalam kesedihan saya membatin, untuk hal-hal seperti inilah seharusnya politik, pemilu, dan wibawa kekuasaan menjadi relevan dan penting. Menjamin keadilan dan perlindungan kepada orang-orang lemah.
Namun watak kekuasaan dan pemimpin yang kita pilih memang sering lupa dan mengecewakan, terutama ketika mereka selalu memandang sepele aspirasi orang-orang kecil betapapun kekuasaan baru saja melalui bulan suci Ramadhan dan katanya merasa kembali fitri.
Jika ada kontribusi kepada kemanusiaan yang paling ditunggu-tunggu dunia dan masyarakat sosial saat ini, tak lain itu adalah hasil olah diri umat Muslim yang baru saja merampungkan puasanya dan kemudian meraih “kemenangan” rohani, moral, dan jasmani selama berpuasa.
Bulan Ramadhan dalam segala aspeknya bermaksud mendidik kita menjadi manusia yang lebih baik dalam ketakwaan kepada Ilahi, kesabaran, pengendalian diri, penghancuran kesombongan diri, berkasih sayang dengan sesama terutama pemupukan empati dan tanggung jawab sosial khususnya kepada anak-anak yatim yang tak berdaya, fakir miskin dan orang-orang tertindas sebagai objek sentral pembebasan dalam Islam.
Namun kualitas kasih sayang dan kompas moral Ramadhan selama 5 tahun ini tak pernah mengarah dan memberi dampak kepada pembebasan nasib kepada 300-an orang pengungsi Muslim Syiah Sampang yang masih menghuni Rusunawa Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 5 tahun belakangan ini.
Para pengungsi tetap terusir dari rumah, tanah, nafkah, dan kampung halaman mereka di Bluuran dan Karanggayam, Sampang. Mereka hidup di pengungsian dalam keadaan menjadi setengah tawanan.
Sepanjang pengalaman saya dan lembaga kami, Lembaga Bantuan Hukum Universalia, YLBHU selama 5 tahun lebih mendampingi pengungsi Sampang, saya ingin bersaksi bahkan jika itu atas nama kitab suci al-Qur’an, bahwa mereka pengungsi bukan manusia jahat, sesat apalagi bejat yang berbahaya secara sosial dan bisa merusak akidah umat.
Sebaliknya, mereka Muslim yang taat: suka cita berpuasa, salat, tadarus al-Qur’an, membaca doa dan lebih penting mereka menampakkan budi pekerti yang baik, sabar, dan tabah. Saya bahkan yakin mereka jauh lebih religius, lebih baik dari diri saya sendiri.
Jika banyak pihak seperti pemerintah daerah dan tokoh ulama enggan dan ragu-ragu mengatakannya, izinkan saya karena interaksi saya bersama mereka mengatakannya dengan jelas kepada Anda bahwa para pengungsi sama sekali tidak pantas menjadi tawanan. Mereka justru adalah mercusuar kecil, balada kisah orang-orang tertindas yang bertakwa karena memilih untuk tetap taat, sabar, dan tabah.
Mereka sebenar-benarnya hanyalah korban dari konflik politik lokal yang dibungkus seolah-olah menjadi konflik mazhab yang didasari oleh ketersinggungan, dengki, kecemburuan, fitnah dan kebohongan dari segelintir orang yang mengaku penjaga Islam dan penjaga ketertiban republik ini. Mereka mengorbankan hidup dan melanggengkan penderitaan 5 tahun lebih ratusan manusia warga negara Indonesia hanya karena mereka meyakini mazhab Syiah Imamiyah. Apalagi sebenarnya Syiah memiliki banyak kesamaan tradisi dengan Nahdlatul Ulama.
Selama 5 tahun ini pula saya menyaksikan bahwa modal sosial untuk rekonsiliasi, reintegrasi dan lebih permanen lagi, membangun kerukunan dan hidup bersama kembali, sebenarnya sangat besar dan nyata di kedua belah pihak, baik warga kampung dan pengungsi. Tapi sayang sekali modal sosial ini tak pernah diperhatikan dan diberdayakan oleh pemerintah pusat.
Mungkin karena prioritas pembangunan nasional Presiden Jokowi begitu banyak dan karenanya pembangunan sosial seperti reintegrasi kasus Sampang berikut penderitaan manusia di dalamnya teramat sepele di hadapan agenda pembangunan manusia Indonesia. Entahlah.
Saya menilai keadaan ini warisan dari negara post-colonial dengan ciri-ciri penegakkan hukum dan kualitas demokrasi yang lemah, terutama isu hak-hak sipil dan HAM, meskipun kini kita hidup di era janji-janji Nawa Cita.
Saya sejujurnya lebih antusias dengan kapasitas dan kedewasaan rakyat di akar rumput tepatnya di Bluuran dan Karanggayam, dua desa tempat konflik berasal. Mereka lebih dewasa dan jernih melihat konflik dan mampu melibatkan akal budi untuk memisahkan fitnah dan dusta dari perbedaan pandangan mazhab dan segelintir elite picik yang ingin menyeret-nyeret agama.
Menurut kesaksian dari warga desa yang berkunjung ke pengungsian, para preman yang dulu terlibat penyerangan lalu menyesal dan telah datang ke pengungsian bermaaf-maafan dengan pengungsi, dan sejumlah pengungsi yang pulang ke kampung dan diterima dengan baik oleh kerabat dan warga kampung. Klaim kondisi tidak aman, kembali bentrok dan rawan, atau berbahayanya aliran keagamaan Tajul Muluk (Syiah) lama-lama makin terlihat hanya permainan segelintir elite tokoh di belakang pengusiran pengungsi yang kemudian diresonansi menggunakan wibawa pemerintah daerah dan polisi.
Mereka sejumlah kecil elite yang mengusir pengungsi tampaknya telah bertekad ingin menutup peluang pengungsi kembali hidup rukun dengan warga selamanya, walaupu mereka harus melawan dan mengkhianati nilai-nilai luhur ajaran Islam mereka sendiri.
Selama 5 tahun ini polisi seringkali menciduk dan mengusir paksa sejumlah pengungsi keluar saat mereka kembali ke kampung. Bahkan terakhir di lebaran kali ini, pihak kepolisian melalui kapolresnya dan perwakilan pemerintah provinsi Jawa Timur khusus mengumpulkan pengungsi dan mewanti-wanti dengan ancaman bahwa pengungsi tak boleh pulang silaturahmi berlebaran karena akan bentrok dengan warga dan kalau dipaksakan juga akan bentrok dengan pihak kepolisian.
Daripada menjaga dan melindungi pengungsi yang mau silaturahmi barang sejenak untuk kemudian kembali lagi ke pengungsian, polisi memilih melarang dan mengancam. Sebuah model “perlindungan” ala polisi yang bertahun-tahun telah digunakan kepada pengungsi. Model yang menurut saya menunjukkan polisi dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah bagian dari masalah.
Jika kita ingin benar-benar tulus menyelesaikan kasus ini dengan cara beradab, konstitusional, dan berjangka panjang, kita harus lebih mendengar dan memperhatikan lebih saksama modal sosial yang telah terajut di akar rumput daripada mendengar suara-suara elite yang lebih sering mengecohkan kita dengan kepentingan mereka.
Masalahnya kebiasaan buruk pemerintah nasional lebih suka mendengar apa yang ingin mereka dengar dari pemerintah daerah bahwa pengungsi sudah betah dan senang di pengungsian. Tak ada upaya untuk turun langsung memeriksa keadaan, mendengar dari pengungsi dan menatap mata mereka.
Dalam konflik komunal pendekatan yang terbaik dalam konteks Sampang seringkali bukan pendekatan berbasis right atau power, tapi pendekatan berbasis kepentingan: mempertemukan kepentingan kedua belah pihak dalam rangka meresolusi konflik dan membangun reintegrasi kembali.
Di tengah kekosongan peran negara, kami dari YLBHU mencoba membangun pendekatan berbasis kepentingan dalam mencoba menyelesaikan konflik Sampang dan membangun reintegrasi kembali yang dalam operasinya berarti pengungsi diperjuangkan kembali ke kampung halamannya hidup dengan kesepakatan-kesepakatan budaya yang saling menghargai daripada terus terusir dengan bahasa santun bernama relokasi.
Kami percaya, reintegrasi dan membangun kerukunan adalah jalan yang harus dilakukan negara, sementara jalan relokasi dan pengusiran adalah jalan yang malas dan menindas. Dalam membangun pendekatan resolusi konflik berbasis kepentingan itu, kita tidak boleh melihat masalah secara hitam-putih; siapa yang benar dan salah. Tetapi lebih banyak mengumpulkan sebanyak mungkin modal-modal kesediaan kedua belah pihak untuk duduk bersama, saling menemukan kembali kesepahaman, memisahkan fitnah dari perkara, dan akhirnya saling memaafkan dan membentuk semacam ikrar perdamaian bersama.
Semua hal itu sudah terjadi dalam kasus Sampang. Hebatnya, kami bahkan bukan aktor utamanya, para jaringan preman yang dulu terlibat konflik, sejumlah kiai muda, dan warga yang sadar telah memulai proses bersama kearifan hati pengungsi.
Pengungsi Sampang selama ini tak pernah memainkan diri merasa diri “suci” hanya karena mereka adalah korban. Mereka bersedia untuk melakukan introspeksi sosial; memaafkan; menghormati apa yang dihormati masyarakat; mengedepankan kerukunan; tak ingin mempermasalahkan perbedaan jika mereka diizinkan pulang ke kampung halamannya.
Antara warga di kampung dan pengungsi telah sama-sama berikrar untuk membangun perdamaian dan kerukunan dan perubahan bagus ini bukan omong kosong belaka. Mereka bisa didatangi, digerakkan, dan menjadi motor perdamaian asal pemerintah mau memberi jalan. Bukan malah mengganggu apalagi menafikan modal ini.
Modal sosial ini sepatutnya digunakan pemerintah pusat dan tadinya saya berharap Presiden Jokowi akan melakukannya secepatnya sebagai bagian dari program quick wins pemerintah.
Saya sulit berharap kepada Pemerintah Daerah Sampang dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengambil inisiatif membangun rekonsiliasi dan reintegrasi. Menurut saya, berdasarkan interaksi dalam upaya penyelesaian konflik Sampang selama ini, kedua institusi itu melalui pemimpin politiknya adalah bagian dari masalah.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo punya kebencian personal dan gagal memahami tugas-tugas kenegarawanan akibat transaksi-transaksi politik. Karenanya, saya tidak berharap lain selain kepada kepemimpinan Presiden Jokowi.
Ayolah Pak Presiden Jokowi, beri keyakinan pada kami bahwa kekuasaan dan pemilu masih punya makna. Jangan perpanjang lebih lama lagi penderitaan pengungsi Sampang. Bebaskan penderitaan pengungsi dengan reintegrasi kembali. Jadikan kasus Sampang sebagai model penyelesaian konflik keagamaan yang berkeadaan dan konstitusional.
Dan pada akhirnya buktikan Islam Rahmatan lil Alamin yang dulu sering Pak Presiden sering sebut-sebut itu adalah nyata dan bukan omongan semata. Jangan didik warga untuk menonton dan menerima penindasan sebagai kewajaran. Selamat lebaran, selamat menunaikan tugas-tugas pembebasan yang diamanatkan oleh pesantren Ramadhan.