Tindakan perundungan (bullying) masih marak terjadi di dunia pendidikan. Yang mutakhir, seorang siswi SMP Negeri 147 Ciracas, Jakarta Timur bunuh diri melompat dari lantai empat sekolahnya (14/1) karena di-bully. Di Malang, seorang siswa SMPN 16 korban bullying, jarinya sampai harus diamputasi. Kemudian seorang siswi SMP di Purworejo yang merupakan penyandang disabilitas dirundung tiga siswa.
Kasus-kasus tersebut merupakan segelintir bullying yang terjadi di negeri ini. Tentu masih banyak kasus bullying di sekolah yang tidak terekspos media massa. Maraknya kasus bullying di sekolah harus jadi bahan renungan kita semua. Ternyata proses pendidikan belum mampu membuat karakter anak yang cinta damai. Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan lebih ditonjolkan ketimbang upaya berdamai.
Bullying yang ada di sekolah persis dijelaskan dalam buku Bullied Teacher Bullied Student, Parson, L (2005), bisa terjadi saat pelajaran maupun di luar kelas. Bentuknya, berupa kekerasan verbal, fisik, maupun psikis yang pelakunya bisa guru, siswa sendiri, juga karyawan sekolah. Adanya kekerasan dibiarkan sehingga menimbulkan akumulasi perilaku menyimpang pada diri anak. Bentuk pelampiasannya kerap menimpa korban yang lemah secara fisik.
Bullying tidak hanya secara interaksi tatap muka, tetapi sudah menggunakan media sosial dengan istilah cyber bullying. Yakni, segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui internet. Cyber bullying terjadi di mana seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi atau dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler.
Seiring perkembangan zaman, teknologi pun semakin canggih. Anak-anak dan remaja sekarang sudah mahir menggunakan teknologi dan mengakses internet. Sosial media saat ini sedang digandrungi oleh remaja. Dengan aktif di sosial media seorang anak bisa dinilai gaul oleh anak lainnya. Emosi remaja masih tergolong labil, sehingga kerap mengekspresikan diri dan tidak dapat mengontrol dirinya, sampai bertindak bully terhadap temannya sendiri. Misalnya, menghina atau mempermalukan teman sekolah melalui sosial media.
Anak-anak atau remaja yang melakukan cyber bullying terhadap temannya terkadang tidak memikirkan apa dampak buruknya. Orang yang ia ejek tersebut bisa kecewa, sedih, hingga merasa tertekan dan bisa menarik diri dari lingkungannya karena tidak punya rasa percaya terhadap dirinya sendiri.
Perilaku-perilaku negatif termasuk tindakan bullying tentu tidak boleh dibiarkan karena sama artinya mencoreng pendidikan di negeri ini. Apalagi tindakan tersebut mendiskriminasikan sesama teman sekolah yang mungkin dianggap lemah.
Kecenderungan ketika terjadi kasus bullying di lingkungan sekolah, pemerintah mengambil kebijakan reaktif seperti, mencopot jabatan kepala sekolah, memecat guru, mengeluarkan siswa, dan menyerahkan mereka kepada aparat penegak hukum bisa menjadi sebuah kebijakan tanpa makna.
Berbagai cara itu tetap tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa kekejaman antar teman dan sesama siswa bisa terjadi di luar kontrol dan kendali guru atau orang dewasa yang mestinya bertanggung jawab pada keamanan dan keselamatan siswa?
Agar kejadian bullying tidak terulang dalam pendidikan, pihak sekolah terutama harus segera mencegahnya dengan memberikan dan mengawasi anak didik yang bermasalah (sering melakukan perilaku negatif) serta mendampingi anak didik yang masih dianggap lemah karena semua anak didik (baik yang memiliki tubuh sempurna maupun mengalami kecacatan) berhak memperoleh pendidikan yang sama.
Sekolah perlu membuat kebijakan antikekerasan. Lalu seluruh pemangku kepentingan (guru, staf, siswa, dan orangtua) harus dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan. Mereka perlu dilatih untuk mengenali perilaku kekerasan dan tanda-tanda seseorang menjadi korban perundungan. Mereka harus mengerti jenis-jenis perilaku perundungan, seperti kekerasan fisik, verbal, relasional, seksual, dan digital/siber.
Guru dan siswa harus belajar bagaimana menyikapi perilaku kekerasan untuk mengantisipasinya. Keterampilan menghadapi kasus kekerasan pendidikan dibutuhkan. Sebab guru sering kali tahu ada perilaku kekerasan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa.
Bila ada anak didik yang melakukan tindakan bullying, pihak sekolah harus mengusut secara tuntas kenapa melakukan hal tersebut. Jika tidak bisa ditoleransi, beri sanksi yang tegas kepada anak didik yang bersangkutan sebagai efek jera agar perilaku bullying di jenjang pendidikan tinggi tidak diikuti oleh anak didik yang lainnya dan kejadian serupa tidak terulang kembali.
Sekolah harus punya prosedur untuk melaporkan perilaku kekerasan. Sekolah perlu membuat kebijakan tentang bagaimana sistem untuk menerima laporan akan tindakan kekerasan dan sistem untuk melindungi para pelapor. Studi menunjukkan ketika perilaku kekerasan itu diawasi, dan staf secara konsisten menindaklanjuti setiap laporan tentang kekerasan, perilaku itu akan berkurang.
Para saksi perilaku kekerasan akan merasa nyaman melaporkan bila ada prosedur yang jelas dan mereka memiliki rasa percaya kepada para pendidik di sekolah. Sayangnya, di sekolah kita masih ada banyak siswa tidak mau melaporkan perilaku kekerasan karena merasa tidak nyaman, tidak aman, sebab pendidik kurang memiliki kredibilitas yang mampu melindungi pelapor.
Kepedulian pihak sekolah dengan mendampingi anak didiknya secara intensif tanpa diskriminatif juga sangat penting. Begitu pula peraturan yang ada di sekolah diterapkan secara tegas. Tindakan tersebut bakal menghentikan perilaku negatif anak didik terutama perilaku bullying yang tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga mencoreng nama baik sekolah tempat anak didik menuntut ilmu dan paling khusus pendidikan di negeri ini.