Di Indonesia, kemunculan kelompok-kelompok sempalan dari aliran kepercayaan atau keagamaan arus utama, beberapa di antaranya sering disebut sebagai aliran sesat, sudah tak terbilang jumlahnya. Kemunculan mereka silih berganti dan kadang tidak terdeteksi oleh penegak hukum atau organisasi keagamaan formal yang diakui di Indonesia (MUI, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya).
Kehadiran kelompok-kelompok sempalan tersebut seolah menjadi oase di padang tandus yang memuaskan rasa dahaga para pengikutnya. Bagaimana tidak, kelompok-kelompok seperti Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), kelompok sempalan dari Hizbut Tahrir Indonesia, Forum Aktivis Syariah Islam (FAKSI), dan Laskar Jundullah umumnya mampu menghipnotis para pengikutnya dengan memberikan janji keadilan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemakmuran dunia, bahkan masuk surga.
Kelompok-kelompok tersebut kerap dituding bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang dikenal luas oleh masyarakat dunia serta asas Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Bahkan beberapa yang lain juga dicurigai berafiliasi dengan jaringan teroris internasional. Keberadaan mereka dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan. Bisa jadi faktor keuntungan ekonomi yang ingin diraih atau peperangan ideologi yang diatur dan dimobilisasi oleh negara-negara asing di berbagai belahan dunia.
Selama ini keberadaan berbagai kelompok sempalan itu seringkali menjadi bagian dari kegelisahan sebagian masyarakat Indonesia yang merasa penghidupan mereka penuh dengan ketidakpastian. Mereka umumnya adalah masyarakat kelas bawah atau yang minim pengetahuan tentang keagamaan. Belum lagi ditambah dengan karut-marut politik, ketidakadilan, korupsi, lemahnya penegakan hukum, dan berbagai persoalan sosial dan ekonomi di negara ini, menjadi catatan tersendiri bagi mereka yang merasa tidak berdaya melawan keadaan.
Kelompok-kelompok tersebut cenderung menjerat orang-orang muda atau usia produktif yang gampang dipengaruhi dengan nilai-nilai dan keyakinan baru. Ajaran dan cara-cara penyampaiannya memikat hati. Di awal perkenalan mungkin mereka mampu dipengaruhi oleh bujuk rayu serta kata-kata manis atau sebaliknya dibangkitkan “darah muda” mereka untuk melawan ketidakadilan, ketertindasan, dan penyelewengan kekuasaan.
Para pengikut yang semula tidak memiliki stok pengetahuan dan minim tentang ajaran-ajaran atau nilai-nilai agama yang jelas sumber asal-usulnya mendapat perhatian sangat khusus. Para aktivis kelompok sempalan ini, misalnya, kerap mengajak ngobrol anak-anak muda ketika sedang kesepian, menawarkan bantuan keuangan, atau memberi solusi instan ketika mereka ditimpa masalah.
Upaya mereka untuk menjaga anggota baru agar jangan sampai terlepas dan kembali ke masyarakat yang dianggap “kafir” terus-menerus dilakukan. Misalnya dengan cara memberi perlindungan dan rasa nyaman kepada para anggota baru. Pada tahap-tahap ini daya pikat kelompok sempalan mampu mengalihkan kegalauan para anggota barunya dan pada akhirnya mencabut mereka dari keluarga inti, keluarga besar, lingkungan ketetanggaan, dan masyarakat mayoritas.
Apa yang bisa dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk melindungi warganya dari bujuk rayu kelompok-kelompok semacam itu? Ada dua hal yang harus menjadi catatan dan mungkin segera untuk ditindaklanjuti. Pertama, melakukan tindakan preventif bagi masyarakat yang belum menjadi korban indoktrinasi. Kedua, melakukan tindakan kuratif bagi anggota masyarakat yang telah menjadi korban dari kelompok-kelompok sempalan tersebut.
Upaya yang harus dilakukan dalam rangka menerapkan tindakan preventif adalah memperkuat keberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, khususnya memberikan perhatian lebih kepada masyarakat akar rumput dalam mengatasi masalah kemiskinan dan keterbelakangan mereka.
Keberdayaan sosial juga harus terus-menerus diperkuat, khususnya yang berkaitan dengan pemahaman pengetahuan mereka tentang keberagaman (diversity), keyakinan beragama, penguatan nilai-nilai budaya setempat sebagai local wisdom. Ini penting untuk menangkal berbagai aliran dan pemahaman atau keyakinan baru yang jauh dari nalar keberagamaan yang dianggap lurus dan benar.
Tindakan kuratif juga menjadi bagian penting untuk mencegah terulangnya kembali mereka masuk ke dalam kelompok-kelompok sempalan atau menderadikalisasi pemikiran dan tindakan mereka. Tindakan kuratif itu berupaya memberi perlindungan, pengetahuan, dan bimbingan yang intensif dalam jangka waktu yang dianggap tepat bagi mereka. Agar mereka mampu beradaptasi kembali ke masyarakat dan menjadikan mereka sebagai bagian penting dari gerakan menjaga keutuhan NKRI.
Untuk kedua hal tersebut, negara di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, melalui para pemegang otoritas dan kewenangan, organisasi agama dan kemasyarakatan, komunitas terdekat serta keluarga inti maupun besar, harus saling bahu-membahu menjalankan perannya untuk mencegah anak-anak muda dan orang-orang dewasa berusia produktif terhindar dari bujuk rayu kelompok-kelompok sempalan tersebut.
Mewujudkan hal ini memang tak semudah membalik telapak tangan. Tetapi upaya yang terus-menerus disertai dengan program-program yang jelas dan terencana diharapkan dapat sedikit demi sedikit membantu mengurangi pengaruh radikal dari kelompok-kelompok yang berusaha menggoyang eksistensi NKRI.