Dalam karyanya, Islamic Reform (2009), Prof. Tariq Ramadan berargumen, “I should modestly begin by saying that there is today no “Islamic” alternative to the dominant neoliberal economic model.” Apapun yang diklaim sebagai ‘yang-Islam’ dalam dunia ekonomi sekarang, bukanlah Islam sesungguhnya, sebab model ekonomi neoliberal masih menjadi kekuatan satu-satunya di dunia ini.
Apapun yang berbau Islam, bernama Islam atau berstempel Islam hanya mengadaptasi sistem kapitalisme global yang kini bernama neoliberal. Dimana pun negaranya dan dalam bentuk apapun sistem negara tersebut, udara yang kita hirup tetap ekonomi neoliberal. Sudah banyak buku dan artikel serius yang membahas tentang model ekonomi neoliberal. Secara sekilas, berikut ini mengenai prinsip ekonomi neoliberal.
Pertama, materialisme. Akumulasi kapital tanpa akhir adalah tujuan hakiki dari sistem tersebut. Asumsinya, jika sampai pada tahap puncak, pasar akan mengalami kelesuan, ‘lemas’, atau jenuh, maka grafiknya turun sampai pada titik akan naik terus kembali.
Logika akumulasi material yang tiada akhir sebenarnya secara etika dinamakan kerakusan. Setiap orang atau perusahaan dalam model sistem ekonomi ini dipaksa untuk terus akumulatif (untung). Demi mencapai target inilah terjadi pola kerja eksploitatif dan efisiensi. Sampai kapan logika akumulasi materialistik berlangsung? Tanpa batas sepanjang nafsu kerakusan manusia terus diekspresikan dan dilayani.
Kedua, dalam proses ini, ada relasi yang sifatnya eksploitatif antarmanusia dan manusia dengan alam. Hubungan eksploitatif antarmanusia terjadi misalnya antara petani, nelayan, atau peternak dengan pengumpul dan pedagang yang mewakili para pemilik modal (kapitalis). Apakah keuntungan petani dan nelayan yang berupaya keras menghasilkan beras atau ikan lebih besar dari pengumpul dan pedagang yang tinggal angkut dan jual?
Contoh lain misalnya buruh pabrik yang diambil nilai surplusnya demi akumulasi kapital oleh para kapitalis. Buruh tidak bisa apa-apa sebab mereka tergantikan dan bisa dipecat dengan alasan apapun atau perusahaan bisa bangkrut. Kapitalis hanya menjalankan logika sistem tersebut, karena jika tidak, maka perusahaan akan merugi terus. Sistemnya yang menciptakan ketidakadilan.
Dalam pola manusia dan alam, relasi yang ada dalam sistem ini memerlukan eksploitasi dengan mengambil nilai lebih/surplus/untung dari alam. Ada hubungan subyek dan obyek: logika manusia sebagai subyek mengeksploitasi alam sebagai obyek. Relasi ini rentan menguntungkan satu pihak dan menghancurkan pihak lainnya. Konsekuensinya adalah global warming dan kerusakan alam yang luar biasa.
Kita bisa merasakannya tanpa saya berpanjang lebar memberi banyak contoh, seperti yang baru-baru ini terjadi di Australia (dari kebakaran sampai hujan es bola golf dan badai debu), di Peru (gempa bumi), di Indonesia (banjir, gempa bumi dan longsor), di Jepang, Filipina, dan Meksiko (gunung api meletus), di China (wabah virus Corona), di Arab Saudi (hujan es), dan sebagainya.
Manusia selama ini mengobyekkan alam seolah-olah alam hanya materi saja tanpa energi atau jiwa. Padahal banyak ajaran agama yang secara arif memaparkan bahwa alam adalah semesta dengan energi dahsyat yang ‘berjiwa’.
Ketiga, creative destruction demi efisiensi. Salah satu yang paling terlihat sekarang menurut saya adalah peran mesin yang sangat penting menggantikan tenaga manusia. Semakin tinggi teknologi, maka semakin sedikit pula buruh yang bekerja dan perusahaan semakin untung atas logika efisiensi.
Dalam perkembangan teknologi sekarang ini, bila perlu buruhnya dipecat dan diganti mesin semua agar tidak mengeluarkan biaya terlalu tinggi. Semakin efisien, maka perusahaan semakin untung (surplus). Nantinya, pada sepuluh sampai tiga puluh tahun ke depan akan ada beberapa pekerjaan yang sudah tergantikan oleh mesin, bukan lagi tenaga manusia.
Profesi kasir, administrasi kantor, akuntan, audit, resepsionis, bahkan koki (tertentu) mulai merasakan revolusi 4.0. Di beberapa supermarket besar Jakarta, sudah ada pilihan kasir otomatis. Kita bisa langsung tempel atau gesek saja kode barangnya.
Di negara maju, isi bensin dilakukan sendiri, bahkan pembayaran sama sekali tidak dijaga dan langsung bayar sendiri dengan hanya menempel kartu saja. Administrasi online sudah mulai dilakukan di Indonesia sehingga peran operator dipangkas oleh beragam aplikasi.
Saya kira di negara lain pun sudah mulai transisi ini. Bahkan pelabuhan di China, supir truknya sudah otomatis. Contoh-contoh di atas memang tidak mendalam tapi memperlihatkan bagaimana model ekonomi neoliberal berusaha semaksimal mungkin mengurangi biaya demi efisiensi dari pergantian alat produksi untuk tujuan akhir pencarian untung sebanyak mungkin.
Masih banyak lagi prinsip neoliberal yang belum bisa dipaparkan di sini karena keterbatasan ruang, seperti prinsip kepemilikan, pasar bebas, non-intervensi pemerintah, privatisasi, kompetisi, monopoli, komodifikasi, konsumerisme, alienasi, dan sebagainya.
Lalu bagaimana orang-orang Islam menghadapi semua prinsip model ekonomi neoliberal di atas selama ini? Argumen saya berpijak dari pendapat Tariq Ramadan yaitu jika orang-orang Islam hanya mengadaptasi prinsip-prinsip model ekonomi neoliberal ke dalam tubuh Islam. Saya sebut “kapitalisme Islam”. Islam sendiri mengikuti prinsip ekonomi neoliberal.
Kapitalisme Islam adalah sistem neoliberal dengan stempel atau label Islam-Arab, yakni sistem neoliberal dibajukan, di-klamben-i, dipernak-pernikkan simbol-simbol Islam biar seolah-olah Islam. Padahal, isinya adalah akumulasi kapital/materialisme, eksploitasi, dan creative destruction.
Argumen saya lebih pada pertanyaan yang kita bisa terjawab sendiri di ‘lapangan’: Adakah sistem syariah menguntungkan orang Islam ataukah sistem itu mencari keuntungan dari pasar orang Islam? Apakah bank syariah memberi utang tanpa resiko dan agunan atau tetap dibatasi oleh syarat-syarat yang menopang sistem neoliberal agar system dominan tetap kuat fondasinya? Apakah ada etika Islam seperti keadilan dan etis dalam institusi ekonomi Islam sekarang ini?
Apakah ada keadilan yang memihak kaum yang tertindas dan tereksploitasi dari sistem besar neoliberal? Apakah dalam persaingan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional keduanya dalam ruang hampa atau ruang besar sisten ekonomi neoliberal? Apakah jika kita mengambil KPR di bank syariah lantas jatuhnya lebih murah dibandingkan di bank biasa? Kok bisa junk food itu halal?
Padahal, pengertian halal begitu kompleks dan mendalam terkait dengan bagaimana baiknya menanam bahan yang kita makan, bagaimana binatang-binatang yang kita makan dirawat dengan baik dan diberi makan yang baik (bila perlu organik), bagaimana obat-obatannya, segala macam bahan kimia tidak disuntikkan ke dalam apa yang kita makan, bagaimana para petani, peternak dan buruh-buruh di dalamnya diperlakukan adil dalam prinsip-prinsip Islam dan sebagainya.
Argumen saya dikuat dengan tulisan Asisten Prof Universitas Notre Dame, USA, Mun’im Sirry di Geotimes, “Perbedaan Kosmetik Bank Syariah Dan Konvensional” (Mun’im Sirry, 1/11/2019); lihat juga “Riba Dilarang, Bunga Bank Boleh” di Geotimes (Mun’im Sirry, 27/9/2019).
Argumennya saya simpulkan bahwa selama orang Islam hanya mengakali Islam dengan ragam istilah teknis bahasa Arab (halal-haram, murabahah, mudharabah, bai’ salam, ijarah dan sejenisnya) tanpa belum lebih keras lagi menawarkan alternatif substantif untuk menghadapi ekonomi neoliberal, maka Islam hanya kosmetik yang mempercantik wajah ekonomi neoliberal yang eksploitatif itu.
Bisa jadi saya belum melihat kasus yang memang sudah keluar dari ekonomi neoliberal. Kasus yang secara substantif Islami (walaupun tidak memakai ornamen/identitas/label/stempel/logo Islam), walaupun kasus itu ada, bisa masih lemah, karena belum pada tahap menjadi penyeimbang dari ekonomi neoliberal yang kontras. Mungkin pembaca bisa menunjukkan kepada saya kasus ekonomi non neoliberal yang menyakinkan.
Dalam karyanya, Tariq (2009, 242-248) pun menyakinkan saya bahwa ekonomi Islam hanya berkutat pada kaidah operasional fikih tanpa masuk secara mendalam ke wilayah usul fikih yang berfondasi pada ethical goals of Islam (al-maqâsid) seperti prinsip keadilan, maka ekonomi Islam justru mengiyakan, mengimani, dan menjustifikasi sistem dominan ekonomi neoliberal.
Klaim saya juga beralasan dan bersumber pada fakta yang dipaparkan Mun’im Sirry (2020) bahwa sistem ekonomi syariah diklaim sudah dimulai pada 1970-an di seluruh duni Islam, tapi sampai sekarang masih saja disebut dalam masa transisi tanpa kejelasan menuju sistem real dan jelas dalam menghadapi model ekonomi neoliberal. Singkatnya, model ekonomi Islam selama ini masih saja hidup dalam sistem besar model ekonomi neoliberal.
Secara kontektual dan selaras dengan argumen Mun’im, Tariq (2009, 243) berargumen “… they confirm both in its philosophy of productivist profitability and in its global domination. Presented in this way, the great catchphrase “an Islamic economy” is far from being an alternative. At best it is simply a “marginal option” whose function is insensibly to confirm the preeminence of the “mainstream”—that is to say, the liberal market economy”.
Jadi pertanyaan reflektifnya, sistem ekonomi Islam sekarang ini sebenarnya sistem ekonomi Islam sesungguhnya ataukah sistem kapitalisme Islam? Apakah formalisme Islam dalam klaim ekonomi Islam di dalam system besar ekonomi neoliberal membuat kita menjadi orang-orang yang munafik dan menistakan Islam sendiri?