Pepatah Arab mengatakan ‘syubbaanul yaumi rizaalul ghodi”, pemuda sekarang adalah pemimpin dimasa yang akan datang. Hal yang sama juga ada dalam istilah bahasa Inggris yang berbunyi “Student Now, Leader Tomorrow”, hari ini pemuda/pelajar, besok pemimpin. Itu artinya, generasi muda merupakan warisan penting yang dimiliki oleh setiap bangsa atau negara.
Pekan lalu, Presiden Jokowi mengumumkan tujuh staf khusus (Stafsus) kepresidenan yang berasal dari generasi milenial. Mereka adalah CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra. Perumus Gerakan Sabang Merauke, Ayu Kartika Dewi.
Ada pendiri Ruang Guru, Adamas Belva Syah Devara. Peraih Beasiswa Kuliah di Oxford, Billy Gracia Yosaphat Mambrasar. CEO dan Founder Creativepreneur, Putri Indahsari Tanjung. Pendiri Thisable Enterprise, Angkie Yudistia. Serta Ketua Umum PB PMII periode 2014-2017, Aminuddin Ma’ruf.
Untuk sebagian orang, keputusan Presiden Jokowi adalah langkah yang baik dan tepat dalam rangka melakukan regenerasi kepemimpinan berdasarkan prestasi dan kompetensi. Sedangkan sebagian orang yang lain memilih pesimis.
Di samping pemborosan anggaran negara, hadirnya kaum milenial tersebut dilakukan semata-mata berdasarkan politik bagi-bagi kekuasaan sembari menyamarkan lingkaran oligarki yang membekap tubuh kekuasaan Jokowi Jilid II.
Memberi Warna Perubahan
Terlepas dari kontroversi yang ada, hadirnya talenta-talenta muda di lingkaran pemerintahan perlu disambut dengan baik. Kehadiran mereka akan memberi warna perubahan tersendiri dalam lanskap politik Tanah Air untuk satu periode ke depan. Paling tidak disebabkan oleh tiga alasan:
Pertama, untuk menjawab tantangan bonus demografi. Pada tahun 2020-2030, Indonesia berpeluang untuk mengalami bonus demografi, di mana negara ini akan memiliki sekitar 180 juta (70%) orang berusia produktif, sementara yang tidak produktif berkurang menjadi 60 juta jiwa (30%). Sementara itu, berdasarkan data BPS 2018, Indonesia saat ini punya 90 juta penduduk berusia muda atau milenial (usia 20-34 tahun).
Kehadiran milenial dalam pemerintahan diharapkan mampu memahami sekaligus merespon tantangan demografi yang kini sudah di depan mata. Jika selama ini kelompok milenial dipandang sebagai konsumen atau objek semata, saatnya mereka menjadi produsen atau subjek yang menggerakkan. Kehadiran milenial ini dituntut untuk mampu menampung aspirasi sekaligus menggerakan kelompok usia produktif Indonesia agar siap menghadapi kompetisi global.
Kedua, untuk menjawab tantangan pembangunan. Seperti yang kerap disampaikan Presiden Jokowi, di era revolusi industri 4.0, tantangan kompetisi global bukan lagi negara besar menguasai negara kecil, melainkan negara cepat mengusai negara lambat. Apalagi salah satu ciri utama generasi milenial, mengutip Bencsik & Machova (2016), ialah kemampuannya beradaptasi dengan perkembangan zaman, khususnya teknologi informasi.
Generasi milenial dinilai punya kemampuan mengakses teknologi informasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Media sosial menjadi bagian keseharian mereka, sedangkan internet merupakan sumber informasi. Generasi milenial pun dinilai cepat dalam merespons segala perubahan. Mereka lebih kreatif, terbiasa berpikir out of the box, kiritis, punya energi, dan semangat.
Dengan berbagai kelebihan tersebut, kehadiran generasi muda diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menghadapi persaingan global yang semakin kompetitif. Pejabat milenial dengan kemampuan adaptif serta penguasaan teknologi yang mumpuni, diyakini bisa menjadi salah satu modal utama untuk melakukan percepatan pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang kini sedang jadi prioritas di pemerintahan Jokowi periode kedua.
Ketiga, mendobrak budaya birokrasi yang paternalistik dan feodal. Paternalisme adalah suatu sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan dan harus dihormati oleh bawahannya. Kondisi birokrasi seperti ini persis dengan apa yang digambarkan oleh Karl Max hanya berorientasi untuk mempertahankan “privilage” dan “status quo” kepentingan kelas penguasa.
Budaya birokrasi yang “paternalisme-feodalistik”, juga mengakibatkan munculnya raja-raja kecil (little kings) di daerah yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Kebijakan raja-raja kecil ini sulit dikontrol, sehingga terjadi disfungsional birokrasi seperti praktik pungli, sogok/ suap, laporan asal bapak senang (ABS), serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Di sinilah peran Stafsus milenial dibutuhkan dalam penyelenggaraan birokrasi. Karakteristik anak muda yang anti kemapanan, memiliki idealisme besar, kreatif serta berani, diharapkan mampu menjadi pembawa perubahan (agent of change) dalam mendorong lahirnya reformasi birokrasi. Berbagai terobosan dan keberanian perlu dilakukan oleh birokrat muda guna mempercepat laju perubahan seperti yang dicita-citakan.
Memaksimalkan Kapasitas
Oleh karena itu, pejabat milenial harus menunjukkan kinerja luar biasa (extra performance) bahwa mereka direkrut bukan hanya sebagai etalase politik (pajangan). Caranya adalah dengan memaksimalkan posisi dan kreatifitas mereka di bidang teknologi, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good goverment). Mereka juga harus bisa menjadi katalisator atau penyambung aspirasi rakyat atas berbagai kebijakan pemerintah.
Tentu saja tugas ini bukanlah hal yang mudah. Karena pejabat Milenial ini sudah pasti akan bersaing dengan kelompok kepentingan lain yang sudah lama berada dilingkaran pemerintahan. Apabila tak punya daya tekan, mereka akan kalah oleh elite politik senior. Karena elite politik senior ini punya partai, punya bargaining, dan sudah terbiasa melakukan kompromi politik dalam budaya politik oligarki.
Meski demikian, penulis merasa optimis bahwa kehadiran pejabat milenial ini sedikit banyaknya dapat merubah kelemahan pemerintahan saat ini. Melalui kerja berbasis teknologi (media digital), pejabat milenial sejatinya dapat menggali aspirasi masyarakat dengan mudah dan cepat.
Mereka juga mampu berkomunikasi melampaui batasan-batasan geografis dan dapat berinteraksi secara dialogis (multiarah) sehingga mampu membentuk relasi sosial yang kuat dengan masyarakat.