Nadiem Makarim seperti melakukan perubahan besar dalam pendidikan. Dia seperti ingin berbeda dari menteri-menteri sebelumnya. Paling tidak, pada pidato Hari Guru, Nadiem Makarim tidak bertele-tele. Kata-katanya tidak akademis dan teoretis. Dia tak mengutip banyak ahli. Dia tak menyinggung Ki Hadjar Dewantara. Kata-katanya, seperti juga tertulis dalam pidato itu, mengalir dengan tulus. Kata-kata itu mudah dimengerti. Kata-kata itu bahkan sangat dekat, seperti tak berjarak, dengan pembacanya.
Intinya, sebagai pidato dan teks, Nadiem Makarim berhasil memahami pembaca dan pendengarnya. Namun, sebagai guru, meski Nadiem Makarim mengakui tak akan memberi kata-kata inspiratif dan retorik, saya justru memandang pidatonya malah semakin retorik. Untunglah pidato itu cukup inspiratif. Terbukti, berbagai kalimat Nadiem dibuat menjadi quote oleh netizen. Tetapi, untuk apa sebuah kalimat inspiratif kalau ia berhenti sebatas kalimat. Siapa pun tahu, aksi lebih bekerja daripada sebatas kata-kata.
Seberapa berbuih pun orang tua berkata-kata, ia akan tetap dimaknai sebagai kalimat daripada sebuah nasihat. Sebaliknya, meski tanpa kata, jika orang tua memberi teladan, anak akan paham. Teladan lebih bermakna daripada seribu kalimat.
Saya tak sedang mengatakan Nadiem Makarim tak memberikan teladan. Ia sudah memberikan itu dengan nyata. Namun, sebagai menteri, saya melihat bahwa Nadiem seperti tak seorang menteri. Ia justru berlaku seperti seorang guru.
Penjelasannya begini. Seharusnya, menteri memandang masalah dan hadir sebagai pemecah masalah, bukan malah sebatas mengakui ada masalah itu. Semua tahu dan semua mampu, kok, kalau sebatas mengaku. Tak perlu menjadi seorang menteri hanya untuk mengaku ada masalah.
Memang, seperti saya singgung di atas, Nadiem Makarim berbeda. Ia tak mau ribet dengan berbagai teori. Ia hadir dengan kata yang amat sederhana, seperi yang akan saya beberkan di bawah ini. Tetapi, kalimat itu tak berjiwa.
Mari kita singgung poin ini, misalnya: tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Kata-kata itu keren. Tapi, kata-kata ini tak berjiwa. Saya mencari hingga pidato itu selesai, tak satu pun kalimat yang dibuat untuk membereskan yang tersulit atau mengapresiasi yang termulia. Ini bukan soal saya seorang guru. Ini soal lain: mengapa kita sulit sekali menghargai yang termulia? Mengapa kita enggan memudahkan yang sulit? Barangkali memang terlalu materialis jika saya menyebut begini: sejahterakan guru.
Tetapi, sebagai profesi yang sulit dan mulia, bukankah mereka pantas disejahterakan? Mengapa kita selalu berhenti pada pengakuan? Benar bahwa kini guru sudah mulai bahagia dengan tunjangan sertifikasi. Tetapi, tak semua guru bersertifikasi. Guru honorer amat menderita.
Lagipula, jika harus dibanding-bandingkan, jabatan struktural lainnya acap lebih mewah daripada guru. Belum lagi kalau kita sampai pada hal lain: sudahlah sulit mendidik moral anak zaman now, guru malah harus dipersulit lagi untuk membereskan administrasi kenaikan pangkat. Beberapa dari guru bahkan dipermainkan oleh oknum untuk melengkapi berkas.
Apakah begini perlakuan kita pada guru yang, konon, tersulit dan termulia itu? Saya sungguh menunggu sebuah jawaban dari sang Menteri, bukan sebatas pengakuan.
Masuk kita ke poin lainnya. Maaf, kali ini juga saya tak akan mengutip para ahli. Saya juga tak akan menyebut 7 kalimat yang hampir serupa yang disampaikan sang Menteri. Saya kutip satu saja: Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberikan aturan dibandingkan dengan pertolongan. Kalimat ini sangat keren.
Namun, dari seorang menteri, kalimat ini kurang keren. Kalimat ini justru retoris bagi saya. Betapa tidak, dari tujuh kalimat serupa, semuanya punya kata “tetapi” atau yang identik. Mengapa sang Menteri tidak bertindak membuang “tetapi” itu saja?
Saya jadi teringat pada tulisan Butet Manurung di harian Kompas tentang seseorang yang, konon, ingin mengikuti jejaknya. Sayangnya, seseorang itu masih punya kata “tetapi”. Atau begini saja, cermati kalimat ini: “saya sebenarnya sangat mencintaimu, “tetapi” saya tak sanggup.
Kalimat itu menjengkelkan sekali, bukan? Sebagai seorang menteri, tugasnya semestinya harus setingkat lebih tinggi: membereskan kata “tetapi”, membereskan masalah. Sebagai guru, saya akan lebih sangat puas jika kalimat itu ditukar menjadi seperti ini, misalnya: Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, mulai hari ini, saya akan membantu Anda dengan membuat aturan yang transparan dan tepat. Kalimat seperti ini lebih bertenaga dan lebih tambak berwibawa. Saya tahu hal itu amat sulit untuk dilakukan.
Tetapi, begitulah menteri: dipilih untuk membereskan hal yang sulit. Kalau hanya membereskan hal yang mudah, kita tak perlu menghabiskan anggaran hanya untuk menggaji menteri. Maaf, saya tak sedang menyebut Nadiem Makarim bekerja untuk gaji. Ia sudah tuntas, kok, dari perusahaannya yang mahadahsyat. Ia tak perlu lagi menjadi menteri hanya untuk makan. Namun, justru hal itu yang mestinya menjadi kekuatan baginya: bekerja dengan gigih. Apalagi Bung Nadiem adalah menteri milenial.
Semakin Kecewa
Nah, yang membuat saya semakin kecewa dengan pidato Bung Nadiem sebenarnya adalah ketika ia menyebut demikian: saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada Anda. Kata “Anda” saya pikir adalah guru. Apa artinya ini? Apakah Bung Nadiem tak akan membantu para guru? Ini bukan soal janji, apalagi janji kosong. Kita tahu sakitnya dikhianati karena janji. Tetapi, ini bukan soal janji. Ini soal bagaimana kita mengerti akan ke mana kapal pendidikan ini dibawa. Dari janji itulah kita bisa saling menggerakkan.
Dan, oh, semakin retorislah pidato sang Menteri ketika sampai pada titik ini: perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Sudahlah, jika kini ranah pendidikan termasuk lembaga paling korup, itu bukan dari bawah. Catat besar-besar, bukan dari bawah. Lantas dari mana?
Kalau bukan dari atas, itu lebih pada karena buruknya sistem. Sistem inilah yang semestinya dituntaskan, bukannya malah lari ke kalimat ini: semuanya berawal dan berakhir dari guru. Kejam sekali kalimat itu. Apakah buruknya moral dan adab kita semua berawal dan berakhir pada guru?
Sadarlah, saat ini, guru kadang lebih cenderung jadi budak penjaga anak bagi orang tua, budak mengajar dan mengisi nilai bagi sekolah, budak mengantar bangsa ini ke masa depannya. Maaf kalau bahasa saya terlalu kejam. Tetapi, demi kebaikan pendidikan, demi masa depan kapal besar bernama Indonesia, saya pikir sudah saatnya kita bongkar-bongkaran agar secepatnya membersihkan dan menata ulang.
Baiklah, sebelum saya akhiri, saya sengaja mengambil tulisan ini dengan nada yang pesimis karena saya melihat Bung Nadiem sebenarnya mampu berbuat banyak. Saya begitu percaya diri ia bisa cepat bekerja. Ia sudah membuktikannya. Apalagi, konon, ia berjanji akan berjuang untuk kemerdekaan belajar. Karena itu, semoga Bung Nadiem paham arti tulisan ini.
Akhirnya, selamat bekerja Bung Nadiem. Jangan kecewakan kami, guru-guru. Maaf kalau saya harus kecewa untuk kali pertama sebab sesungguhnya saya sedang bersiap diri untuk bahagia di kali lainnya setelah Pak Menteri mengerti isi tulisan ini. Amin!
Bacaan terkait
Nadiem Makarim sebagai Mendikbud: Disrupsi itu Benar-benar Terjadi
Nadiem Makarim dan Kabinet Jokowi yang Agile
Bersama Nadiem, Saatnya Mendefinisikan Kembali Esensi Pendidikan