“Kematianku lebih masuk akal ketimbang kehidupanku”, mungkin frase paling tepat yang bisa diambil untuk memadatkan keseluruhan kelam hidup Joker. Sejak kecil ia tumbuh sebagai anak yang surplus trauma dan–tentu saja–defisit cinta. Mental illness hanyalah sebutan sopan untuk kenyataan “gila sistemik” yang ia derita.
Baginya, getir dan komedi cukup dirayakan dengan satu ekspresi: bahak. Menolong anak kecil agar gembira sama mulianya dengan membunuh ibunya. Ujungnya adalah gelak. Namun, tetap ada yang waras darinya.
Otaknya bekerja dengan benar untuk mencari selubung misteri hidup, sampai ia paham detail babakan muram masa silam. Nalarnya mengalir lancar. Ini bisa juga dianggap sebagai paradoks dari sebuah jiwa yang terbelah: logika bekerja pada jiwa yang rapuh.
Panggung hidup yang serba gelap tersebut membuatnya hanya percaya pada satu hal: ketidakpastian. Itulah yang membuatnya selalu membangun pertahanan berlapis, yakni tidak berharap menegakkan relasi dengan orang dalam jangka panjang dan melenyapkan jika dirasa telah menjadi ancaman.
Joker terbiasa hidup dalam fragmen yang “ditiadakan”, sehingga tak ada lagi risiko yang ia sandang. Ketika komedi jamak diucapkan tanpa teks, bukan masalah bila dia mesti mencatat dan membacanya ketika berdiri saat pentas. Ini terjadi bukan oleh sebab ingatannya yang labil, namun keraguannya terhadap semua perkara, juga terhadap dirinya sendiri.
Satu-satunya cara untuk memitigasi ketidakpastian adalah dengan menegaskan kecermatan tanpa kompromi. Jadi, inilah sudut privat yang menjadi bingkai dari alas hidup Joker.
Konteks sosial dari Joker lebih kompleks lagi. Ia tak pernah dalam posisi menyerang, tapi membangun pertahanan. Tak banyak yang membaca sisi ini, di mana pemakaian senjata api sebagai alat pertahanan diri sebetulnya bukan kemauannya, bahkan ia paham kepemilikan tanpa izin adalah pelanggaran.
Rentetan penembakan yang Joker lakukan sebetulnya kritik pedas atas situasi di Amerika Serikat (juga negara lain) selama puluhan terakhir. Nyaris setiap tahun orang-orang yang memiliki “gangguan mental” membuat puluhan warga tak berdosa terkapar oleh senapan dari orang sipil yang memegang senjata.
Gelombang protes agar kepemilikan senjata api dibatasi telah muncul karena mempunyai efek yang sulit dikendalikan. Perangai Joker dalam soal ini menjadi representasi yang tepat untuk mendeskripsikan risiko penguasaan senjata api tersebut.
Selebihnya, secara sosial “Jokerisme” membesar bukan sebuah kesengajaan. Ia kebetulan belaka sebab Kota Gotham yang sedang murung ditimpa resesi, kriminalitas, dan jurang ketimpangan.
Kisah itu banyak terjadi dalam sejarah di mana pun dan dalam kurun waktu apa pun: setiap sulutan akan menjadi santapan. Joker yang menembak tiga orang brengsek (yang kebetulan mewakili kaum kerah putih) langsung menjelma menjadi simbol gerakan perlawanan.
Tepi dari film ini menunjukkan persuaan antara sifat privat (patologi jiwa) dengan karakter sosial (ketidakadilan) tersebut: ia menari-nari di atas mobil sambil dielukan oleh jamaah kerah biru. Sisanya, film ini merupakan pentas tunggal Joaquin Phoenix. Ia menutup seluruh kelemahan sinema ini dengan aktingnya yang paripurna.
Apakah Jokerisme ini sebatas komik dan film yang laik untuk situasi Amerika Serikat? Tidak. Ia ada di sekeliling kita. Anak-anak yang tercerabut dari orang tuanya, ditinggalkan oleh sejarah, ataupun dibenturkan oleh kekejaman zaman ada di mana pun, bahkan bisa jadi itu tetangga atau bagian dari saudara kita. Mereka bakal tumbuh menjadi bagian warga dengan menyangga beban kelam yang mengendap di pori-pori jiwa.
Pembunuhan terhadap orang tua sendiri, mencincang anak kandung, atau menembak kekasihnya adalah kisah yang terbiasa kita baca atau dengar di negara sendiri atau luar negeri. Ia merupakan fenomena ganjil yang dipaksa menjadi jamak dari waktu ke waktu.
Sebagian (besar) dari kita tak merasakan getar lagi ketika membaca tragedi semacam itu karena kisahnya yang terus berulang. Itulah fenomena Jokerisme yang merebak dan menuntut sebuah sikap.
Fakta yang menarik untuk dikupas, ketika resesi menerjang apa yang dilakukan negara atau pemerintah kota? Kota Gotham, sebagai latar film Joker, salah satunya memberi resep: jaminan sosial dipangkas. Akibatnya, penderita mental seperti Joker tak lagi bisa menikmati konsultasi dengan psikolog secara gratis, juga tak ada ruang untuk menebus obat. Proteksi sosial roboh dan seluruh perkara sosial menjadi urusan privat.
Kita beruntung ketika usia Republik makin menua perhatian terhadap jaminan sosial kian komplet. Masih belum sempurna, tapi jaminan sosial (seperti kesehatan) telah menjangkau sebagian besar masyarakat, sehingga resesi ekonomi tak akan mengganggu ketahanan rumah tangga dan kesehatan (badan dan jiwa) warga. Film ini jika dibaca jernih sebetulnya menyalakan pesan-pesan substantif yang menggedor pikiran penyelenggara negara.
Namun, kenapa film ini menimbulkan kecam bagi sebagian masyarakat, bahkan di tempat film itu diproduksi? Saya bisa menerima kenyataan tersebut, sambil memberikan pernyataan yang sebaliknya. Jika fokus baca dari film ini adalah ekspresi sadis atas laku penderita gangguan mental, yang kemudian dicemaskan akan menjadi bahan belajar bagi publik, maka pasti kekhawatiran itu yang muncul.
Sebaliknya, jika pikiran dialihkan ke pesan-pesan politik dan sosiologis yang ditampilkan secara implisit, maka film ini justru menyumbangkan kritik dan argumen yang lumayan meyakinkan. Lihat saja akhir tragis dari calon wali kota yang tersungkur dari lubang senapan: bahwa karir politik (untuk posisi apa pun) mesti dibangun dengan keagungan, bukan serangkain kepalsuan yang dijejalkan.
Jadi, Jokerisme adalah agregasi dari seluruh laku pribadi, preferensi sosial, dan kebijakan negara ketika menghadapi aneka peristiwa yang tak sederhana. Hikmah semacam itu bisa ditelusuri dari banyak penjuru kisah film ini.
Baca juga
Joker dan Kita: Antara Tragedi dan Komedi
Realitas Joker dan Situasi Jalanan Kita