Sulit untuk menyembunyikan kenyataan bahwa saat ini Indonesia sedang dalam krisis. Tidak sekedar krisis. Ini adalah krisis yang sangat serius.
Di akhir periode pertama masa pemerintahannya Presiden Jokowi harus berhadapan dengan krisis ini. Sebagian dari krisis ini adalah bikinannya sendiri. Sebagian lagi berasal dari luar kendalinya. Namun apapun itu, sebagai presiden, dia harus menyelesaikannya. Dia harus mencari jalan keluarnya.
Krisis kebakaran hutan sangat serius. Asap kabarnya sudah sampai ke bagian selatan Jepang. Pendudik Ho Chi Minh City di Vietnam sudah memakai masker. Beberapa wilayah di Sumatra dan Kalimantan tidak layak sebagai ruang hidup.
Kehancuran lingkungan ini akan terasa ke masa-masa mendatang. Efek dari kebakaran ini akan terasa jauh ke depan. Ada studi yang mengatakan bahwa bayi-bayi yang terekspos asap kebakaran memiliki kecerdasan yang lebih rendah daripada yang tidak.
Kemudian ada krisis Papua. Krisis ini terbangun sudah sangat lama. Namun baru sekarang meledak. Saya tidak percaya bahwa ini hanya sekedar soal rasisme di Surabaya. Akarnya jauh lebih dalam daripada itu. Dan tidak ada usaha untuk menangani masalah itu kecuali dengan memberikan Papua infrastruktur dan tambahan militer/polisi.
Selanjutnya krisis kepercayaan (mistrust) terhadap lembaga-lembaga kenegaraan. Publik dikejutkan dengan pembuatan undang-undang yang sangat tergesa-gesa, hanya beberapa minggu sebelum DPR dan pemerintahan periode pertama menyelesaikan jabatannya.
Presiden Jokowi seharusnya tahu bahwa dia terpilih dua kali karena image-nya sebagai orang bersih, dari latar belakang yang sederhana, dan sebagai ‘orang baik.’ Caranya menangangi revisi UU KPK benar-benar menyesakkan.
Saya tidak tahu apakah presiden mengendalikan proses ini atau tidak. Tapi kelakuan orang-orang yang mengatasnamakan dirinya, yang membingkai perdebatan dengan memainkan sentimen sektarian, dan para buzzer-busser serta politisi yang berada dalam koalisinya, terlihat oleh mata publik benar-benar menjijikkan.
Dulu pendukung-pendukungnya sering menyalahkan kekuatan-kekuatan di sekitar presiden. Kini argumen itu tidak laku dlagi an bisa dipakai. Presiden adalah pemegang otoritas tertinggi. Dus, pemegang tanggungjawab tertinggi pula. Publik pun semakin menagih tanggungjawab presiden.
Pendukung serta para buzzernya berusaha mengendalikan opini publik dengan segala macam isu dan framing. Namun, semakin hari publik semakin bisa membaca dan tidak begitu saja percaya. Isu Taliban di KPK memang sempat membingungkan orang yang simpati dengan Presiden Jokowi. Namun isu itu ambyar karena orang tahu bahwa itu adalah sebuah isu yang direkayasa untuk melemahkan KPK.
Akibat dari krisis-krisis ini, saya bisa menangkap bahwa mood publik saat ini sangat tidak percaya kepada elit-elit pemerintah dan lembaga-lembaga negara, khususnya DPR. Tidak heran bila protes-protes mulai dibangun. Jangan dikira bahwa protes-protes ini tidak ada sebelumnya.
Protes dan perlawanan dari bawah sangat marak di masa pemerintahan pertama Jokowi. Kebijakan developmentalis presiden telah menghadapkan pemerintah dengan kalangan massa-rakyat bawah yang diminta berkorban untuk kebijakan ini.
Salah satu protes itu akan digelar besok di Gejayan, Yogykarta. Selama beberapa jam terakhir pesan-pesan mengalir ke saya mempertanyakan siapa penggerak protes ini? Siapa mereka? Sulit bagi saya untuk menjelaskan karena mereka bertindak kolektif. Didalamnya ada kawan-kawan mahasiswa dan berbagai elemen gerakan. Jogja tidak pernah sepi dari gerakan-gerakan perlawanan. Mereka selama ini melawan secara sporadis.
Satu kemungkinan yang saya juga saya amati adalah protes ini sangat mungkin meniru apa yang terjadi di Hongkong. Protes-protes di Hongkong berjalan tanpa pimpinan. Para partisipan berjalan menuju satu titik kumpul dan membesar.
Saya tahu pendukung Presiden cemas, tidak senang, dan bahkan berusaha untuk menggagalkan aksi protes ini. Beberapa berita yang saya terima memperlihatkan usaha untuk mendiskreditkan demonstrasi ini. Ada yang mendakwa ini didalangi militer. Ada yang berargumen bahwa ini tidak pantas dilakukan di Jogja. Ada yang menuduh ini didalangi oleh pihak yang kalah dalam Pilpres. Ada juga yang mengingatkan kemungkinan para pembonceng atau untuk membuat martir. Beberapa rektor saya dengar sudah mengeluarkan larangan untuk membolos untuk mengikuti aksi.
Saya termasuk yang tidak percaya bahwa aksi-aksi protes semacam ini ditunggangi. Manusia adalah ‘agency.’ Dia memiliki kehendak dan kemampuan mengambil keputusan serta mempertanggungjawabkannya. Segala macam dakwaan bahwa orang ikut demo seperti ini karena ditungganggi adalah merendahkan kemampuan manusia mengambil keputusan. Memang ada demo yang dibayar seperti yang kita saksikan di depan gedung KPK beberapa waktu lalu. Namun mereka pun adalah ‘agency’ karena mereka sadar dengan bayarannya.
Jika Anda kebetulan di Jogja dan punya waktu luang datanglah ke Gejayan hari ini. Datanglah dengan keriangan. Kita marah pada krisis-kiris yang tidak tertangani dengan baik. Kita menangis karena rusaknya ruang hidup kita karena kerakusan para elit.
Namun saya percaya kita bisa menyampaikannya dengan gembira. Satu-satunya kekuatan kita adalah berkumpul. Kita tunjukkan para elit dan para gedibal-gedibalnya itu bahwa kita masih ada, dan bukan sekedar angka statistik.