Minggu, November 24, 2024

“Masturbasi Antiklimaks” FPI

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis dan perupa, alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta.
- Advertisement -

Hari-hari ini perkembangan politik Indonesia terkesan gaduh dan kontraproduktif. Ibarat pertandingan tinju, aturan main sudah tak digubris lagi. Politik yang awal mulanya soal negoisasi beralih ke sebentuk pemaksaan kehendak semata.

Hal ini cukup kentara menjelang dan sesudah Pilkada Jakarta 2017 dan berlanjut hingga pasca-Pilpres 2019—di mana, meski pasangan Prabowo-Sandi legawa atas segala kekalahannya, masih saja orang-orang yang notabene menjadi pendukung setianya “khuruj” (keluar) selayaknya kaum khawarij di masa purba: Presidium Alumni 212 yang mayoritas merupakan anggota Front Pembela Islam (FPI).

“Masturbasi antiklimaks,” demikianlah saya melabeli segala kiprah FPI selama ini. Sejak dahulu, siapa pun tahu, kiprah ormas keagamaan ini sarat dengan pelanggaran aturan main yang sudah semestinya ada dalam ruang publik Indonesia. Pancasila dan UUD 1945 merupakan satu-satunya aturan main di Indonesia ketika semua orang yang datang dari latar belakang yang berbeda mesti menaatinya andaikata demokrasi dan kehidupan civil society di Indonesia ingin terjaga.

Semua kepentingan tak boleh menyalahi aturan main tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa politik di Indonesia sudah semestinya merupakan hasil negoisasi sebagaimana yang termaktub dalam sila ke-4 Pancasila.

FPI, ataupun ormas-ormas yang seideologis semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sudah melanggar aturan main itu sejak dalam pikirannya ketika aksi-aksi nyatanya sudah pasti diderivasikan darinya (baca: Neo-Khawarij, Habib Rizieq, dan Masyarakat Sipil) dan Perda Intoleransi, Perda Radikalisme, dan Nasib RUU Antiterorisme http://gusdurian.net).

Logikanya: bagaimana mungkin, misalnya, seorang petinju yang sudah meng-upper cut pelir lawan mainnya tak didiskualifikasi dari arena pertandingan? Masih layakkah pertandingan tinju itu—di mana aturan-aturan main yang menjadi syarat mutlak adanya sebuah pertandingan—disebut sebagai sebuah pertandingan tinju? Siapakah yang kemudian patut dipersalahkan? Tak terpungkiri lagi adalah sang wasit. Dalam logika nalar publik Indonesia siapakah wasit itu? Tak ada yang lain kecuali pemerintah dan jajarannya.

Demokrasi yang sehat dan dewasa mengisyaratkan tak boleh adanya vulgaritas dalam ruang publik. Merujuk pada John Rawls, sistem khilafah yang diagendakan oleh FPI, HTI, dan ormas-ormas yang serumpun sudah menciderai logika nalar publik.

Berbicara Indonesia adalah berbicara tentang kebhinekaan. Ketika agenda khilafah didengung-dengungkan dalam ruang publik Indonesia, lantas di manakah kalangan penganut Islam kebangsaan atau bahkan kalangan non-Muslim sekalipun—yang sama-sama memiliki saham atas Indonesia—diletakkan? Dan ketika agenda mereka, katakanlah terwujud, masihkah negara ini akan bernama “Indonesia” atau “nusantara”—penggalan-penggalan yang menyiratkan ke-“antara”-an, perbedaan?

Rawls mengatakan bahwa “comprehensive doctrines” yang sudah pasti ada dan diagendakan dalam setiap kelompok atau komunitas harus diterjemahkan secara menyeluruh, menyentuh kepentingan orang banyak (publik). Dan untungnya, Indonesia sudah memiliki kerangka itu, Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan perasan dari setiap kepentingan yang berbeda.

Kepentingan atau agenda yang diperjuangkan oleh FPI, (alm.) HTI, dan ormas-ormas yang serumpun jelas tak mengindahkan kepentingan atau agenda komunitas lainnya. Jelas, pada titik ini, mereka sudah memaksakan kehendak, menciderai hak orang banyak (publik). Indonesia akan selalu dalam tekanan dan ancaman ketika vulgaritas dalam ruang publik dibiarkan bebas berkeliaran dan menjadi, dengan mekanisme tertentu, kebiasaan banyak orang.

- Advertisement -

Kita semua merindukan pertandingan tinju yang elok, bukan lagi tinju jalanan. Maka, tak ada jalan lain bahwa di sini ketegasan menjadi satu-satunya pilihan, demi masa lalu, sekarang, dan mendatang. Pak Presiden, bersikap tegaslah!!! 

Kolom terkait

Ada Apa antara Istana dan GNPF MUI?

FPI Menuju Hegemoni Islam Politik?

Mengapa Harus Menolak FPI?

Pengkhianatan HTI dalam Aksi Bela Islam

Karikatur TEMPO, FPI, dan Fanatisme Buta

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis dan perupa, alumnus Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.