Presiden Jokowi saat ini ada di Bali. Saya bisa maklum mengapa sekarang dia kelihatan amat mencintai Bali. Di pulau kecil ini dia mendapat suara 92 persen dalam Pilpres yang lalu. Tidak pernah ada dalam sejarah, penduduk pulau ini menjatuhkan pilihan politik untuk seorang dengan suara yang demikian besar. Dalam politik, Bali biasanya sangat majemuk.
Saya melihat wajah Presiden sumringah. Juga gubernur dan bupati-bupatinya. Mereka sudah mempersembahkan (deliver) sebuah elektorat mayoritas maha absolut untuk sang Presiden. Tertinggi di Indonesia. Bahkan mungkin Suharto pun iri dengan pencapaian ini.
Tentu wajar bila presiden merasa beruntung memiliki gubernur yang di matanya sangat cakap dan cekatan. Naiknya reputasi sang gubernur di mata presiden, di sisi lain, tentu juga membuatnya semakin kuat di mata para bupati. Kecuali mungkin satu bupati yang pernah mengeluarkan uang besar-besaran untuk Pilgub dan Pilpres kemarin, tapi credit point-nya melayang ke orang lain :P
Karena di Bali, Jokowi tentu harus menjawab pertanyaan yang seringkali menjadi durinya dalam masyarakat Bali, yakni tentang status kawasan Teluk Benoa yang rencananya akan direklamasi.
Sang presiden menjawab pertanyaan itu dengan balik bertanya, “Lima tahun sudah jalan enggak (reklamasi). Pertanyaannya lima tahun sudah jalan enggak? Iya kan,” tanyanya.
Maksudnya, apakah dalam lima tahun ini ada reklamasi? Tidak ada kan? Jokowi menyodorkan kenyataan itu. Memang faktanya tidak ada reklamasi dalam lima tahun terakhir ini.
Namun, apakah itu persoalannya? Jelas tidak. Cara menjawab seperti ini adalah tipikal politisi. Mereka seolah-olah menyasar masalah namun sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mengubur persoalan.
Politisi selalu ingin berenang di air keruh. Dengan demikian tidak kelihatan kemana kaki dan badannya bergerak.
Sikap yang sama sebenarnya dimiliki oleh gubernur Bali. Ketika berkampanye untuk gubernur, dia berjanji menolak reklamasi Teluk Benoa.
Dalam satu berita tahun lalu, I Wayan Koster, sang gubernur mengatakan Pemerintah Provinsi Bali menolak reklamasi. Tapi dia berhenti sampai di sana. Dia tidak mau kalau Perpres No. 51/2014 yang mengubah status Teluk Benoa dari kawasan konservasi ke kawasan pemanfaatan itu dicabut.
Logikanya? “Perpres itu tidak menyuruh reklamasi. Jadi mau ada Perpres, mau tidak, kalau gubernurnya mengatakan tidak ada reklamasi, ya maka tidak dilaksanakan,” ujarnya.
“Perpres itu memberikan ruang saja, kalau mau dilakukan reklamasi, boleh. Tapi bukannya menyuruh. Jadi, mau direklamasi, memanfaatkan ruang yang disediakan atau tidak, itu ya tergantung pengambil kebijakan.”
Begitulah politisi, Sodara-sodara. Mereka ingin kita mempercayainya. Bukankah lima tahun terakhir ini tidak ada reklamasi? Demikian kata Jokowi. Gubernur selaku pengambil kebijakan menolak reklamasi! Itu kata gubernur.
Nah, persoalan yang paling substansial di sini dikuburkan dalam-dalam.
Kalau tidak ada reklamasi lima tahun belakangan ini, mengapa Perpres No. 51/2014 yang menjadi sumber masalah itu tidak dicabut? Bukankah Perpres ini yang memberikan jaminan (guarantee) dan payung hukum JIKA reklamasi harus diadakan?
Posisi Koster sebenarnya lebih keruh lagi. Percayakan saja pada saya karena saya menolak reklamasi. Lalu bagaimana dengan Perpres No. 51/2014 itu? Perpres itu tidak akan ada pengaruhnya karena saya menolak reklamasi. Ini menjadi semacam “l’etat c’est moi” (the state, that’s me) dari Koster.
Mengapa tidak mengusulkan saja dengan tegas dan jelas agar Perpres nas bedag* ini dicabut? Senyap. Koster tentu tidak mau masuk kesana. Perpres ini memberikan kekuasaan kepada dia. Karena, dalam definisinya, dia sendirilah pengambil kebijakan. Kita disuruhnya percaya pada dirinya, tanpa bisa mengontrol apa yang akan dia bikin.
Perpres No. 51/2014 ini ibaratnya adalah sebuah bom yang digantungkan di leher Anda. Detonator atau pemicu ledakan bom ini ada di tangan politisi.
Seperti Anda lihat di atas, politisi pertama berkata, “Hei, selama ini bomnya nggak meledak kan?”
Politisi kedua bilang, “Tenang saja, selama detonatornya ada di tangan saya, bom itu tidak akan meledak.”
Sementara bomnya sendiri? Good luck with it!
Lima tahun saya menanti jawaban: Apa sebenarnya yang Anda takutkan untuk mencabut Perpres itu, Bapak Presiden? Kalau tidak ada kepentingan apa-apa, mengapa tidak dicabut saja? Mengapa harus memelihara barang mubazir?
Maaf kalau saya katakan bahwa Anda menyandera rakyat Bali dengan Perpres itu.
*”Nas bedag” adalah makian bahasa Bali yang diucapkan Koster kepada para aktivis Tolak Reklamasi ketika dia berkampanye untuk menjadi gubernur.