Ramadhan hampir usai, Hari Kemenangan kian dekat. Setelah hampir sebulan penuh ditempa dan dibina, sudah saatnya umat muslim merayakan hari kemenangan. Kemenangan atas perjuangan melawan hawa nafsu dan kenikmatan dunia yang melenakan. Perjuangan demi mendapatkan ampunan serta memperbanyak amal untuk belal menuju dunia setelah datangnya kematian.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, semakin dekatnya Hari Kemanangan ditandai dengan berbagai hal. Siaran berita dipenuhi dengan tagar Mudik Lebaran 2019. Sebuah tradisi yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat Indonesia. Tradisi di mana berjuta manusia akan merayakan hari kemenangan di kampung halaman. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi bahkan memperkirakan jumlah pemudik tahun ini akan mencapai angka 22 Juta orang. Jumlah yang tentu tidak sedikit.
Berjuta orang itu berjejal di Terminal, di Bandara, dan di Stasiun . Berjuta kendaraan juga mengular di sepanjang jalan tol yang kian meroket tarifnya. Hal yang wajar mengingat tidak sedikit pemudik beralih ke mobil pribadi setelah harga tiket Pesawat kian melambung tinggi.
Tidak hanya lonjakan manusia, kebutuhan uang menjelang lebaran juga tidak mau ketinggalan ikut bergeliat. Dilansir dari bisnis.com (27/5/19), Bank Indonesia pun telah memprediksi peningkatan kebutuhan uang selama masa libur Idul fitri sebesar Rp217,1 triliun atau naik sebesar 13,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Prediksi itu terbukti dengan ramainya tempat perbelanjaan, pasar tradisional, toko perhiasan dan juga tempat pegadaian. Kenaikan harga pangan tidak menyurutkan niat menyambut kemenangan dengan berbagai hidangan yang nikmat. Semua disulap untuk menjadi baru: pakaian baru, perhiasan baru, dan kendaraan baru.
Bagi mereka kaum hedonis yang terjangkiti gaya hidup mewah, lebaran adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Memperlihatkan nilai keberhasilan material seseorang lewat penampilan yang glamor. Lebaran menjadi momen tepat untuk saling pamer dan tentu juga mengatakan, “Ini loh saya sekarang. Orang yang sukses, tidak lagi sama seperti yang dulu.”
Hanya untuk satu kata, “Pulang”
Bagi berjuta orang lainnya, yang tidak bisa hidup bermewah-mewahan, tentu beda lagi. Mereka rela berdesak-desakan, berkucur keringat di jalan hanya untuk satu kata, “Pulang.” Sebuah kata yang menembus ruang dan waktu. Tidak hanya sebatas rindu kepada kampung halaman atau sekedar kembali ke tempat di mana bumi pertama kali dipijak. Pulang juga berarti kembali kepada orang tua, kepada ayah dan bunda yang menunggu dengan penuh harap-harap cemas.
Mereka tidak disibukkan untuk memperlihatkan penampilan mewah, tidak pula disibukkan mempersiapkan tumpukan oleh-oleh, bagi mereka, membawa kefitrahan lahir dan batin sudahlah cukup. Asal datang dengan badan yang utuh serta nafas yang masih berembus.
Sesampainya di kampung halaman, memeluk orang tua adalah hal pertama yang akan mereka lakukan. Memohon maaf atas segala kesalahan serta kekhilafan. Mengentaskan kerinduan di tanah perantauan. Begitulah mereka yang menjadikan hari kemenangan hanya untuk satu kata, “Pulang”.
Meminjam istilah budayawan Cak Nun, “Kita baru bisa merayakan atau ber-Hari Raya. Belum mampu untuk masuk pada wilayah ber-Idul Fitri. Karena itu, baru sebatas merayakan, maka yang ada hanya nafsu dan kenikmatan.”
Bagi mereka yang menjadikan lebaran hanya untuk satu kata, “Pulang”, nafsu dan kenikmatan akan terganti dengan tulus keikhlasan. Mereka benar-benar ber-Idul Fitri dan tidak sebatas merayakan Hari Idul Fitri. Maka berbahagialah mereka menjadi orang-orang yang bersyukur dan bertafakur. Satu bulan perjuangan sekaligus peperangan melawan hawa nafsu berhasil dimenangkan dan saatnya mengecap kemenangan itu dengan satu kata, “Pulang.”