Ijin Front Pembela Islam (FPI) akan habis tanggal 20 Mei ini. Perdebatan menyeruak tentang apakah pemerintah harus memperpanjang ijin organisasi ini atau tidak.
Kita tahu, FPI adalah organisasi yang kontroversial. Dia didirikan empat bulan sesudah Suharto jatuh pada 1998. Organisasi ini dengan cepat mendapat nama karena aksi-aksinya memberantas “kemaksiatan.”
Biasanya aksi ini meningkat pada bulan Ramadhan. Laskar Pembela Islam, sayap paramiliter FPI sangat rajin merazia tempat-tempat hiburan dan menutup warung-warung makan.
Tindakan FPI menuai antipati untuk beberapa golongan. Namun, menarik simpati dari golongan lain. Organisasi ini semakin membesar. Dengan memanfaatkan jaringan habib dan ulama, dia berkembang ke daerah-daerah. Secara perlahan, hampir dua puluh tahun setelah didirikan, kelompok ini sudah menjadi organisasi yang kuat dengan cabang hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
Semakin besar, semakin berpengaruh juga ia sebagai sebuah kekuatan politik. Pengaruh politik FPI yang paling kentara adalah ketika demoa “Aksi Bela Islam” pada 2 Desember 2016. Aksi ini menuntut agar gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diadili dan dipenjara karena menghina Islam.
Tidak bisa dipungkiri bahwa aksi ini adalah bagian dari mobilisasi politik untuk menjatuhkan Ahok. Dan benar. Beberapa bulan kemudian, gubernur Ahok berhasil dikalahkan lewat kotak pemilihan. Tidak itu saja. Ahok kemudian dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun karena menghina agama Islam.
Aksi politik menjatuhkan Ahok ini memperlihatkan kekuatan kelompok ini yang sesungguhnya. Tidak salah kalau dikatakan bahwa FPI sudah menjadi kekuatan setara sebuah partai politik. Itulah sebabnya sebagian partai-partai politik, terutama yang di oposisi, merapat ke FPI. Organisasi ini sangat berguna untuk memobilisasi massa. Partai-partai ini pun pada gilirannya memberi perlindungan politik kepada mereka. Ada kerjasama yang mutualistik disini.
Yang terkenal dari FPI adalah kebisingannya. Karena mereka berada di oposisi, mereka berusaha menjadi opisisi yang paling vokal. Mereka memiliki massa yang bisa digerakkan setiap saat.
Pada awal 2017, foto-foto dan percakapan syur pemimpin mereka, Muhamad Rizieq Shihab dengan seorang perempuan beredar di dunia maya. Rizieq kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Dia dijerat memakai UU ITE, sebuah undang-undang kontroversial, yang penggunaannya setara dengan UU Subversi pada jaman Orde Baru.
Sebagai akibatnya, Rizieq harus mengasingkan diri ke Arab Saudi hingga kini. Disana pun dia dibelit persoalan ijin tinggal.
Kiprah FPI tidak sedikit pun menyurut. Rizieq tetap mengendalikan organisasi ini dari Arab Saudi. Pengaruh FPI juga terlihat dalam pemilihan presiden karena kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak menyembunyikan bahwa mereka membangun aliansi dengan FPI. Bahkan berkali-kali Prabowo Subianto mengatakan bila dia terpilih menjadi presiden, hal pertama yang akan dia lakukan adalah menjempunt Rizieq Shihab dari Arab Saudi.
Namun dibalik banyak tindakan kontroversial dan kekerasan yang dilakukan oleh FPI, ada sisi lain yang tidak banyak diketahui orang. Seringkali mereka adalah organisasi pertama yang berada di daerah-daerah bencana.
Beberapa teman peneliti dan organisator masyarakat (community organizers) memberitahu saya bagaimana FPI hadir di kampung-kampung yang digusur di Jakarta pada jaman gubernur Ahok. Salah satu faktor yang menentukan kekalahan Ahok pada Pilgub DKI 2017 adalah karena kuatnya pengaruh mereka di wilayah-wilayah yang dulu digusurnya.
Tidak bisa disangkal bahwa FPI bisa memakai kekerasan untuk hal-hal yang mereka anggap maksiat. Namun mereka sigap mengulurkan tangan pada kaum yang teraniaya.
Simpati terhadap kelompok ini datang tidak saja dari kalangan bawah yang ditolongnya. Sebagian juga datang dari kelas menengah dan bahkan elit, yang membutuhkan sarana untuk menyalurkan altruisme mereka. FPI mampu membuat mereka bermakna karena mereka menawarkan ideal — sebagai pembela agama dan pembela umat yang teraniaya.
Saya kira, disamping bahasa agama yang dipakai oleh FPI, organisasi ini juga memadukannya dengan platform keadilan sosial, hal yang biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi kiri. Organisasi ini dengan cerdik memakai taktik dan strategi organisasional yang biasa dipakai oleh organisasi-organisasi kiri dan memberinya bahasa agama.
Mungkin inilah pula yang menyebabkan organisasi ini sangat anti-PKI. FPI melihat organisasi-organisasi kiri sebagai satu-satunya saingan di tingkat akar rumput. Lima hari yang lalu, ada sebuah petisi di change.org. Penggagasnya seseorang yang bernama Ira Bisyir. Petisi tersebut sangat pendek dan tampak tidak ditulis dengan baik.
“Mengingat akan berakhirnya ijin organisasi FPI di Indonesia, mari kita bersama-sama menolak perpanjangan ijin mereka.Karena organisasi tersebut adalah Merupakan kelompok Radikal, pendukung kekerasan dan pendukung HTI.”
Hingga saat ini petisi tersebut sudah didukung oleh 415 ribu orang. Namun, rupanya ada juga petisi tandingan. Petisi ini diajukan seseorang bernama Imam Kamaludin. Isinya juga pendek namun dengan bahasa Indonesia yang lebih rapi.
“FPI yang kita tahu, faktanya selalu berkontribusi pada hal positif, seperti membantu korban bencana alam di setiap daerah bahkan yang terpencil harus tetap didukung eksistensi nya. Ada upaya dari kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk menghentikan organisasi ini. Bantu FPI untuk selalu ada disaat masyarakat membutuhkan bantuan.”
Hingga saat tulisan ini dibuat, petisi ini sudah didukung oleh 182 ribu orang. Dari dukungan terhadap FPI ini kita tahu bahwa organisasi ini tidak lagi menjadi organisasi pinggiran. Dia sudah menjadi kekuatan dengan massa pendukung yang cukup signifikan dan jaringan yang merata di seluruh tanah air.
Apa yang dicapai oleh Front Pembela Islam ini, untuk saya menjadi sebuah ironi. Ruang-ruang kosong pembelaan terhadap rakyat bawah, yang tersingkir oleh pembangunan (infrastruktur) dan desain ekonomi pasar, tidak mampu dimasuki oleh kaum progresif dan kiri. Dengan sangat cerdik, kelompok ini mengisinya. Mereka mampu membahasakannya dengan bahasa agama.
Kebetulan, keadaan sosial dan politik juga berpihak pada mereka, yakni represi dan fobia habis-habisan terhadap gerakan kiri baik oleh penguasa maupun oleh kelas menengah liberal.
Kita tidak tahu apakah FPI akan meninggalkan golongan akar rumput yang selalu terinjak ini ketika mereka berkuasa. Mungkin juga tidak karena disanalah sumber kekuasaan mereka.