Menguatnya penggunaan politik identitas pada masa kampanye Pemilu 2019 ditandai dengan munculnya isu untuk memilih calon legislatif maupun pemimpin yang seagama di tengah-tengah masyarakat. Caleg PSI, Fajar Riza Ul-Haq, menegaskan bahwa PSI menentang sikap intoleransi seperti itu.
“Sikap politik PSI adalah melawan intoleransi. Dimulai dengan pembaharuan sistem perekrutan yang inklusif dan toleran pendisiplinan secara ideologis. Kemudian jika PSI duduk di parlemen akan melakukan deregulasi untuk menangkal intoleransi dan mengawal penegakannya” jelas Fajar yang maju dari daerah pemilihan Jawa Barat.
Selain itu, Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai seharusnya partai politik berperan untuk mempromosikan prinsip-prinsip toleransi melalui pendidikan politik yang baik. Partai politik harus memiliki komitmen penuh untuk mendorong prinsip-prinsip toleransi melalui sikap maupun implementasinya di lapangan. Hal ini terungkap pada diskusi “Mempertanyakan Keberpihakan Partai Politik dalam Isu Intoleransi ”, yang diselenggarakan The Indonesia Institute, di Jakarta (25/2).
Ray menambahkan, “saat ini terjadi peningkatan intoleransi pada masa kampanye Pemilu 2019. Hal ini terlihat dengan menguatnya penggunaan politik identitas yang mengarah pada penggunaan isu SARA. Persoalan Intoleransi sangat berbahaya karena berpotensi memecah belah”.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Riset Setara Institute, Halili menyatakan peran partai politik terhadap persoalan intoleransi sangat penting. Hal ini dikarenakan dari tahun 2007 sampai dengan 2017 telah terjadi 2975 tindakan pelanggaran terkait kebebasan beragama. Dalam 11 tahun terakhir, ada 378 gangguan terhadap tempat ibadah. Angka terbesar pada gereja (195), masjid, terutama Ahmadiyah (134).
“Seharusnya ada intensifikasi peran parpol melalui perjumpaan lintas identitas dan literasi keagamaan sebagai basis sosial, serta mendorong kebijakan-kebijakan yang mendukung penguatan prinsip-prinsip toleransi”, tambah Halili.