Maurizio Sarri dan Chelsea-nya, dan sepakbolanya yang kaku dan keras kepala, kembali kalah. Ini yang kelima dari sepuluh pertandingan terakhir. Dari lima itu, dua kekalahan dalam waktu yang berdekatan terjadi secara memalukan: 4-0 dari Bournemouth dan 6-0 dari Man City; dengan kata lain, 10 gol tanpa balas dalam dua pertandingan tandang secara berturut-turut. Ini adalah pertama kalinya dalam 28 tahun, begitu data dan statistik mengatakan.
Kekalahan kelima, 2-0 dari MU, di kandang sendiri, membuat mereka gagal mempertahankan Piala FA.
Dan sangat mungkin, hanya dalam hitungan hari saja, Sarri—seperti yang terjadi kepada nyaris semua pelatih Chelsea dalam limabelas tahun terakhir—akan kehilangan pekerjaannya.
Sejak menguasai Chelsea pada 2003, Roman Abramovich tak dikenal karena sifat sabarnya. Ia memecat nyaris semua pelatih yang ditunjuknya. Bahkan, Jose Mourinho, pelatih yang memberikan gelar terbanyak untuk Chelsea, dipecatnya dua kali. Dan Sarri, yang didatangkan dari Napoli di musim panas lalu, jelas tahu itu. Ia tahu, stempel pemecatan itu selalu menggantung di atas kepalanya, dan kapan saja bisa dihantamkan ke keningnya. Dan setelah kekalahan dari MU, dan mungkin satu kekalahan berikutnya, hari perhitungan itu bisa saja tiba. Sama sekali tak akan mengejutkan jika itu terjadi.
Yang tetap menjadi misteri adalah: kenapa, di musim panas lalu, Abramovich yang tak sabaran itu memilih Maurizio Sarri?
Selain Roberto Di Mateo, seorang mantan pemain, yang kemudian memberikan satu-satunya trofi Kuping Besar untuk Chelsea, tak ada pelatih yang didatangkan Abramovich ke Stamford Bridge dengan CV sekosong Sarri. (Dari Mou, Hiddink, Ancelotti, Scolari, Villas-Boas, Benitez, sampai Conte, adalah pelatih-pelatih dengan gelar di tangan; bahkan Avram Grant, yang tak dikenal ketika naik sebagai pelatih menggantikan Mourinho pada 2007 adalah seorang juara Liga Israel).
Maurizio Sarri punya banyak penghargaan sebagai salah satu pelatih terbaik Italia (dan mungkin dunia) di dekade terakhir, tapi Sarri tak punya satu pun piala di lemarinya. Ia bukan mantan pemain, dengan banyak piala di masa muda, seperti Ancelotti atau Conte; dan sebelum Chelsea, tim terbesarnya yang ditanganinya adalah Napoli. Permainan dan taktik yang dikembangkannya di Napoli menarik perhatian, tapi tidak gelar juara. Maka, selain pemain tengah Jorginho, yang dibawa Sarri dari Napoli ke Chelsea tak kurang dan tak lebih adalah apa yang disebut para pengamat sepakbola sebagai Sarrismo, sepakbola ala-Sarri, yang kemudian dikenal oleh publik Inggris sebagai Sarriball.
Sarriball hanya bisa bekerja jika setidaknya Sarri diberi tiga hal: waktu yang cukup, pemain yang cocok, dan pemilik yang gila tetapi punya cukup kesabaran. Semua itu tampaknya tak ada di Chelsea. Sebelas pelatih dan delapan kali pemecatan dalam lima belas tahun kepemilikan Abramovich berbicara sangat banyak tentang betapa waktu di Chelsea hanya bisa berbanding lurus dengan piala. Di sisi lain, penunjukan pelatih dan pembelian pemain di Chelsea-nya Abramovich tak banyak berbeda dari pasangan kawin paksa; keduanya jarang seiring-sejalan. Bahkan, kadang bisa saling membinasakan.
Pembelian mahal Shevchenko di masa kepelatihan pertama Mou, penebusan Torres yang lebih mahal lagi di masa kepelatihan Ancelotti, dan belakangan transfer Pulisic yang tak kalah mahalnya dan tak pernah dibicarakan dengan Sarri, adalah puncak dari betapa sebagian besar pembelian pemain oleh Chelsea kadang lebih didorong oleh keinginan Abramovic dibanding kebutuhan tim.
Dan Roman Abramovich bukanlah Aurelio De Laurentiis. Keduanya sama-sama gila, tapi De Laurentiis setidaknya punya selera atas sepakbola. Ia tak mendapat piala dari Sarri, tapi ia adalah orang yang paling bangga dengan sepakbola yang disajikan Sarri bersama Napoli. Abramovic tak pernah terlihat tertarik dengan sepakbola jenis tertentu; mungkin, ia sama sekali tak tertarik sepakbola. Ia hanya ingin piala, tak peduli sepakbola macam apa yang dimainkan Chelsea. Ia mungkin sejenis anak orang kaya yang ingin mainan kawannya, dan ia harus mendapatkannya tak peduli bagaimana caranya.
Lalu, lagi-lagi, kenapa ia mendatangkan Maurizio Sarri, seorang pelatih yang bahkan jika sistemnya bekerja dengan sempurna tetap tidak menjamin bisa menghasilkan piala?
***
Sarri belum dipecat—setidaknya ketika tulisan ini tengah dibuat. Dan mungkin saja ia tidak dipecat, setidaknya di tengah musim. Gelar kecil, Carabao Cup, bila Chelsea bisa mengalahkan Man City (tim yang minggu lalu membantai mereka 6-0) di final pekan depan, mungkin akan menyelamatkannya. Juga bila mereka terus melaju, dan mungkin juara, di Europa Cup. Juga bila mereka mengalahkan Spurs di pertandingan berikutnya di liga, dan pertandingan-pertandingan berikutnya lagi, dan kemudian satu tempat di empat besar di akhir musim. Siapa tahu?
Ya, ini jelas terdengar seperti rapalan doa daripada sebuah perkiraan. Sebab, kemungkinan terwujudnya sama sulitnya dengan mengharap watak tiran dan tak sabaran Abramovich tiba-tiba berubah.
Doa ini menjadi terlihat semakin lemah karena belakangan pendukung Chelsea mulai terlihat menyebalkan seperti pemiliknya. Kalah 4-0 dari Bournemouth, tim yang masih sulit dieja namanya oleh publik Indonesia, dan kemudian dibelasah 6-0 oleh City memang sudah cukup menjadi alasan para pendukung Chelsea untuk marah. Tapi, jelas, mereka memakan omongan para pandit di studio tentang betapa kaku dan tak adaptifnya Sarriball, dan karena itu segera saja tampak gagal.
“Sarriball sudah gagal,” vonis Chris Sutton, mantan striker yang hebat dengan Blackburn tapi gagal total di Chelsea. “Aku tak melihat ada plan B di sana,” kata Matthew Le Tissier, legenda besar Soton yang, seperti Sarri, tak pernah mau mengubah caranya bermain sepakbola, dan mungkin karena itu tak memenangkan apa-apa. “Malas,” hardik Paul Merson, seorang yang berlimpah gelar juara bersama Arsenal, yang belakangan lebih dikenang karena kebiasaan mabuk dan ngamuknya.
Dan para penonton di Stamford Bridge yang biasanya kalem, pasrah, dan mudah menerima apa yang disorongkan Abramovich (selama ada piala di sana), bersemangat mengamini para pandit itu. “Fuck Sarriball! Fuck Sarriball!” teriak mereka. Itu adalah untuk pertama kalinya menyoraki manajer mereka sendiri, sejak terakhir mereka meneriaki Rafa Banitez yang memang mereka benci.
Mungkin karena iri dengan apa yang sudah dilakukan Ole Solskjaer sejak kedatangannya di akhir tahun lalu di MU, dan mereka melihat sendiri bagaimana tim itu menghajar Chelsea di depan mata mereka, mereka mulai melamunkan kembalinya Frank Lampard.
Lampard sedang melakukan hal-hal bagus dengan Derby County di Championship, meskipun menyebutnya berprestasi masih harus menunggu waktu. Di sisi lain, naiknya mantan pemain menjadi pelatih bukan sesuatu yang terlalu asing untuk Chelsea: Gullit, Vialli, dan tentu saja Di Matteo. Semua pelatih itu memberikan piala, dan itu bisa jadi pertimbangan yang sangat mudah diterima. Tapi, pada saat yang sama, sangat gampang dilihat, mereka semua bekerja untuk waktu yang terlalu singkat. Dan mungkin karena itu, lepas dari trofi-trofi yang mereka persembahkan, mereka tak terlihat identik dengan Chelsea—para penggemar baru Chelsea boleh jadi tak terlalu mengenal mereka.
Lampard, bersama Terry dan Drogba, adalah bendera Chelsea. Pada namanya, masa-masa terhebat Chelsea bisa dicantelkan. Maka, jika pendukung Chelsea menginginkan Lampard, sebagaimana hari ini para pendukung MU sedang sangat bersyukur dengan kembalinya Solskjaer, sebenarnya sangat bisa dimengerti. Meski, pada saat yang sama, itu juga menunjukkan kontradiksi.
Memanggil kembali mantan pemain untuk melatih nyaris selalu adalah campuran dari kenangan dan perjudian, dan itu jenis perjudian yang tak terlalu banyak dimenangkan. Mungkin di Italia, Spanyol, dan Jerman, cerita manis tentang mantan pemain dan klub adalah hal biasa: Munchen, Juve, Milan, juga tentu saja Madrid, dan terutama Barcelona. Tapi, di Inggris, kisah Kenny Dalglish dan Liverpool dan George Graham dan Arsenal mungkin adalah kisah sukses termutakhir, dan itu pun sudah terjadi lebih dari tiga puluh tahun lalu.
Tak apalah jika para penggemar Chelsea sudah memiliki bayangan bahwa mereka adalah klub dengan tradisi yang sama dengan klub-klub besar Eropa tersebut. Tapi, betapa pun itu, jika benar-benar menginginkan Lampard, Chelsea setidaknya mesti menyiapkan apa yang pada masa kepelatihan Sarri ini mereka tak punya: kesabaran. Kecuali, mereka akan menjadikan Lampard sebagai tipikal mantan pelatih Chelsea yang kesekian: dipecat dan dilupakan.