Rabu, Mei 1, 2024

Politisasi Pembebasan Ustad ABB

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi

Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat diramaikan dengan rencana pembebasan Ustad ABu bakar Ba’asyir (ABB) yang sudah menjalani 2/3 masa tahanan dengan alasan kemanusiaan. Pada waktu yang hampir bersamaan Ahok (BTP) mantan Gubernur DKI Jakarta juga bebas murni setelah sebelumnya menolak pembebasan bersyarat.

Pembebasan kedua orang tersebut menjadi politisasi sekaligus amunisi untuk saling menjatuhkan lawan dalam kontestasi Pilpres 2019. Akibatnya politisasi atas keduanya menjadi cukup dominan mewarnai berbagai media sosial dalam beberapa hari terakhir.

Sebagaimana diketahui, Ustad ABB adalah terpidana kasus terorisme yang dihukum 15 tahun penjara dan dijebloskan ke LP Nusakambangan kemudian di pindah ke LP Gunung Sindur dengan alasan kesehatan. Menurut Kabag Humas Ditjen Kemenkum HAM Ade Kusmanto, sebenarnya ABB bisa mengajukan pembebasan bersyarat (PB) sejak 13 Desember 2018. Sementara Ahok yang divonis 2 tahun penjara atas kasus penistaan agama, akan bebas murni pada 24 Januari 2019.

Penjelasan Pasal 14 ayat (1) hufuf k, Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

Sementara dalam Permenkumham No.3/2018 disebutkan bahwa pembebasan bersyarat merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dengan demikian, pembebasan bersyarat harus bermanfaat bagi narapidana dan anak serta Keluarganya dan diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.

Dengan demikian alasan kemanusiaan yang disampaikan pemerintah terkait dengan pembebasan Ustad ABB bisa jadi mengacu dari ketentuan peraturan ini, selain alasan kesehatan ustad ABB yang disebutkan terus memburuk.

Pembebasan bersyarat Ustad ABB memang menuai pro dan kontra. Ustad ABB yang didakwa sebagai dalang dari kasus Bom Bali yang menewaskan ratusan orang dianggap tidak layak mendapatkan pembebasan bersyarat. Bahkan penolakan atas surat penyataan setia kepada Pancasila sebagai salah satu syarat untuk mengajukan pembebasan bersyarat juga ditolak oleh Ustad ABB. Hal yang demikian, menambah panjang politisasi atas isu pembebasan Ustad ABB.

Selain juga dibutuhkan surat pengajuan pembebasan yang secara otomatis bisa dikatakan bahwa Ustad ABB menerima segala bentuk dakwaan hakim atas kasus hukumnya, dimana selama ini Ustad ABB masih bersikukuh tidak terlibat dalam serangkaian aksi tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia.

Jika tidak bisa memberikan surat pengajuan pembebasan bersyarat serta surat pernyataan setia kepada Pancasila, maka peluang hukum yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah memalui pemberian grasi dan amnesti. Grasi nampaknya sudah tidak mungkin karena Ustad ABB menolah memberikan surat pernyataan apapun. Hal yang sama dengan Amnesti yang berati pengampunan Presiden. Karena bentuknya amesti (pengampunan) antinya sama, juga menyebutkan bahwa Ustad ABB juga bersalah, sehingga layak mendapatkan pengampunan.

Pemberian amesti juga tidak sepenuhnya berada di tangan Presiden. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa, ” Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian, prosesnya bisa panjang, karena membutuhkan pertimbangan DPR. Hal serupa dalam UU Darurat No.11/1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

UU ini menegaskan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman. Dengan demikian, juga dipastikan memakan waktu lumayan lama.

Dalam konteks ini, penulis tidak akan terjebak dan terlibat dalam pro-kontra pembebasan Ustad ABB. Namun akan melihat dalam perspektif politisasi atas isu-isu tersbebut.

Dan, terlepas dari landasan hukum yang akan gunakan, politisasi atas rencana pembebasan Ustad ABB sudah terlanjur menyebar luas di masyarakat. Akibatnya landasan hukum juga menjadi salah satu isu yang mencuat menjadi salah satu bahan politisasi. Kuatnya politisasi ini kemungkinan besar akan berdampak pada ;

Pertama, pelaksanaan Pilpres 2019 memang menyedot perhatian dan energi masyarakat Indonesia. Akibatnya segala sesuatu senantiasa memiliki dimensi politik yang kuat bahkan cenderung dipolitisasi. Kondisi yang demikian, akan berdampak luas pada potensi adanya intervensi pemikiran politik masyarakat terhadap sektor hukum di Indonesia. Padahal jelas, penegakan hukum tidak boleh diintervensi oleh politik termasuk kekuasaan.

Kedua, persebaran politisasi isu-isu hukum secara massif menjelang Pilpres 2019 dalam berbagai media sosial termasuk WAG-WAG dikhawatirkan mempengaruhi konstruksi berpikir masyarakat yang kesulitan untuk membedakan mana bidang hukum dan bidang politik. Jika hal demikian terjadi, potensi adanya intervensi masyarakat atas berbagai kasus hukum dengan mengunakan pendekatan dan kekuatan politik akan terbuka lebar.

Berangkat dari dua dampak tersebut di atas, alangkah baiknya jika politisasi atas kasus-kasus hukum sebagai mana contoh kasus Ustab ABB dihentikan. Hal ini bisa dilakukan jika rencana pembebasan Ustad ABB bisa ditunda sampai selesainya proses Pilpres 2019.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.