Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitulah situasi yang mesti dihadapi Anindya Joediono setelah menghadiri diskusi di Asrama Mahasiswa Papua, Tambaksari, Surabaya pada 6 Juli silam. Saat acara berlangsung, sekitar pukul 20.30 WIB, Camat Tambaksari beserta sejumlah anggota kepolisian, TNI, dan Satpol PP Kota Surabaya mendatangi lokasi dengan alasan hendak menjalani operasi yustisi. Berdasarkan siaran pers LBH Surabaya, ketika perwakilan mahasiswa Papua, dua orang peserta diskusi, dan satu pengacara publik LBH Surabaya menanyakan surat tugas terkait operasi tersebut, sang Camat tidak bisa menunjukkannya.
Upaya dialog sempat dilakukan Anindya bersama pengacara LBH dan salah seorang peserta diskusi lainnya, tetapi yang terjadi berikutnya adalah situasi memanas. Mereka mendapat hujatan, lalu diseret paksa supaya menjauh dari gerbang asrama dan mengakhiri negosiasi. Pada saat itulah Anindya mengalami pelecehan: payudara kanannya diremas dengan sengaja oleh salah seorang laki-laki di dekat situ.
“Posisi saya sudah dipisahkan dari pintu asrama. Saya masih emosi dan berteriak meminta tolong agar aparat lain mencari teman mereka yang memakai kemeja biru panjang, berusia di atas lima puluh tahun, dan memiliki jenggot jarang-jarang. Ya, orang itu yang melecehkan saya. Saya hafal sekali tampangnya. Tapi apa yang saya dapatkan? Hinaan, tertawaan dan pelecehan-pelecehan verbal. Seperti ‘Kamu perempuan kenapa ada di sini’, ‘Cantik-cantik kok berani sekali mulutnya’, dan lain-lain,” demikian tulis Anindya Joediono di akun Facebooknya.
Ia juga memberi keterangan bahwa sejumlah ibu-ibu dari kecamatan justru menertawai dan menyangkal Anindya mengalami pelecehan ketika ia dan temannya mengamuk begitu insiden terjadi.
Sebagian kenalan Anindya di media sosial mengekspresikan simpati dan dukungan mereka terhadap perempuan itu setelah membaca kisah pelecehan seksualnya. Namun, seperti halnya ibu-ibu kecamatan yang diceritakan Anindya, ada pihak lain yang tidak percaya kepadanya dan tersinggung atas pernyataannya. Pada Selasa (21/08/2018) kemarin, Anindya didatangi polisi yang mengantarkan surat tembusan pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan dirinya sebagai pihak terlapor, sementara pihak pelapor merupakan Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya yang juga bekerja sebagai Trantib Satpol PP, Pieter Rumaseb. Anindya diduga melakukan pencemaran nama baik dengan jeratan Pasal 45 ayat (3) juncto 27 ayat (3) UU ITE.
Simalakama Korban Pelecehan Seksual
Kisah Anindya ini kembali mencerminkan betapa peliknya menangani kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Kampanye literasi tentang pelecehan seksual dan upaya melawannya terus dilakukan para aktivis, media-media nasional dan internasional, serta para public figure, tetapi hal yang hendak ditumbangkan oleh aktivisme ini adalah raksasa yang terlalu perkasa.
Bukanlah hal yang gampang untuk mengatakan jangan meraba tubuh perempuan tanpa persetujuannya ketika aktivitas ini telah dianggap sebagai hal yang normal dilakukan laki-laki selama bergenerasi-generasi. Bukanlah semudah menjentikkan jari untuk mengedukasi orang-orang bahwa godaan verbal, lawakan seksual, dan siulan kerap membuat perempuan tidak nyaman dan aman saat mereka masih memahami bahwa begitulah perempuan ingin diperlakukan. Bukanlah hal sepele untuk membuat pelaku-pelaku pelecehan seksual mengerti bahwa ‘tidak’ memang berarti ‘tidak’, bukan persetujuan diam-diam yang dibungkus sikap malu-malu. Dan bukanlah perkara kecil bagi para perempuan korban untuk bisa bersuara dan dipercaya ketika masih ada orang-orang yang menganggap mereka mengalami histeria dan mengada-ada, sementara laki-laki yang punya kuasa diyakini betul pernyataannya sekalipun memutarbalikkan fakta.
Masih ingat cerita Via Vallen di media sosial sewaktu ada laki-laki yang mengiriminya pesan mesum? Sebagian warganet menganggapnya sekadar mencari perhatian dan sensasi dengan melaporkan kejadian yang ‘hanya’ begitu saja. Atau tentang kampanye #MeToo yang dianggap sebagai gerakan positif untuk mendorong perempuan-perempuan membicarakan pelecehan seksual yang pernah dialaminya. Masih saja kampanye ini mendapat kritik sebagian orang karena dipandang berpotensi menelurkan tuduhan-tuduhan palsu untuk menjatuhkan sosok tertentu.
Agustus tahun lalu, seorang mahasiswi di Depok menerima pelecehan seksual dari laki-laki tak dikenal ketika berjalan di sebuah gang. Saat memberanikan diri untuk membentak pelaku, yang didapatkan mahasiswi ini justru pukulan di kepalanya dan ancaman pembunuhan dari si pelaku. Dan sebagaimana Anindya Joediono, Baiq Nuril Maknun, staf SMAN 7 Mataram, sempat dikriminalisasi dengan tuduhan melanggar UU ITE. Awalnya, ia mendapat pesan berkonten seksual dari mantan kepala sekolah tempatnya bekerja dan merekam percakapan via teleponnya dengan yang bersangkutan. Pesan ini tidak dikehendakinya. Alih-alih dipandang sebagai korban pelecehan seksual, ia justru dilaporkan si pelaku dengan tuduhan menyebarkan pesan mesum begitu pesan tersebut tersebar.
Peluang-peluang mengadvokasi diri dan melaporkan kejadian pelecehan seksual terhadap perempuan memang ada, tetapi tidak semuanya cukup berdaya atau beruntung bisa mengakses hal tersebut. Anindya dan sejumlah perempuan lain bisa angkat suara di muka publik, tetapi banyak korban lainnya yang tetap diam. Pasalnya, sebagian dari korban ini mengalami trauma cukup besar sehingga untuk bersaksi tentang pelecehan yang dialaminya pun terasa menyakitkan. Bahkan, ada korban yang sekujur tubuhnya seolah lumpuh begitu menerima pelecehan atau kekerasan seksual.
Ada juga yang mau tidak mau bungkam karena intimidasi dari pelaku atau orang-orang sekitar yang tidak cukup berempati kepadanya. Lainnya memilih diam karena takut ceritanya membuat mereka kehilangan berbagai kesempatan berkarier, dicap sebagai pembual—bahkan oleh penegak hukum—lantaran tidak ada bukti kuat yang bisa mereka tunjukkan, atau merusak relasi yang sudah lama terjalin dalam konteks rumah tangga atau pacaran.
Karena berbagai macam alasan ini, menurut saya, ajakan untuk tidak tinggal diam ketika mengalami pelecehan seksual bisa terdengar seperti tekanan lain bagi sebagian korban yang bungkam. Di sinilah mereka menemukan simalakama saat hendak bercerita tentang pelecehan seksual. Kebungkaman mereka akan mendatangkan pertanyaan, “Kenapa diam saja?”, “Kenapa tidak langsung lapor?”, “Kenapa tidak melawan?” yang pada akhirnya cuma menambah beban mental mereka.
Ditonton, Diabaikan, dan Disalahkan
Saya melihat, dalam kasus pelecehan seksual, setidaknya ada tiga tindakan yang membuat korban terpojokkan dan keadilan atas kasus ini kian sulit tercapai.
Pertama, pelecehan seksual yang dianggap wajar dalam keseharian masyarakat membuat hal ini kerap kali dijadikan sebagai tontonan. Contoh paling jelas mengenai pelecehan seksual sebagai tontonan adalah ketika tahun lalu sepasang muda-mudi di daerah Cikupa, Tangerang, dituduh melakukan hal mesum, diarak sejumlah warga sekitar, kemudian ditelanjangi. Ada yang sampai hati mendokumentasikan aksi persekusi tersebut, sementara yang lainnya, alih-alih mencegah pelaku persekusi bertindak lebih jauh, lebih memilih menonton pelecehan seksual terhadap sejoli itu.
Contoh lainnya adalah ketika seorang biduan sedang menyanyi di panggung, seorang penonton laki-laki ikut berjoget dengannya dan terus meraba-raba tubuhnya, padahal si biduan telah menunjukkan gestur risih terhadap tindakan itu. Orang-orang yang diam melihat kejadian itu merasa apa yang mereka tonton adalah suatu hal yang normal dan tidak perlu dicegah, apalagi mengingat pekerjaan biduan kerap dilekatkan dengan gestur erotis yang dianggap ‘mengundang’.
Orang-orang yang memilih menonton tindak pelecehan dapat dikatakan sebagai bystander. Mereka hadir di tempat kejadian tindak kriminal, tetapi tidak melakukan apa-apa selain menyimak karena merasa hal yang terjadi bukanlah tanggung jawabnya. Alasan lain mereka menjadi bystander adalah karena mereka tidak tahu seberapa serius dampak yang ditimbulkan dari kejadian di depan matanya sehingga memilih bergeming. Kegiatan menonton pelecehan juga didukung oleh adanya pihak-pihak lain yang melakukan tindakan serupa sehingga seseorang bisa merasa tidak tepat bila tiba-tiba mengintervensi.
Meskipun pengaruh sosial berperan kuat dalam aktivitas bystander, ada kalanya mereka akhirnya menjadi penonton saja karena alasan fisiologis, khususnya terkait sistem saraf. Seperti halnya sebagian korban, beberapa penonton pun bisa merasa tiba-tiba terpaku sebagai reaksi ketakutan mereka sehingga tidak melakukan apa-apa.
Terlepas dari alasan pengaruh sosial atau fisiologis, pelecehan seksual yang diterima seseorang dan menjadi tontonan membuat beban psikologis mereka bertambah.
Ketika ada perempuan yang dicolek atau disiuli di jalan tanpa dikehendakinya, berapa kali kita melihat orang sekitar—laki-laki maupun perempuan lainnya—menegur si pelaku pelecehan? Banyak yang lebih memilih tidak mengacuhkan kejadian tersebut karena toh ‘cuma’ digoda dan si perempuan tidak sampai berteriak minta tolong. Hal ini mengindikasikan tindakan kedua yang membuat beban korban berlapis: pengabaian. Anindya dengan gamblang menceritakan bagaimana ibu-ibu di sekitarnya malah menertawai dan mengabaikan pelecehan seksual yang ia terima.
Pengabaian pelecehan seksual juga terkait dengan subjek-subjek yang terlibat dalam kejadian tersebut. Ketika pelaku merupakan orang terhormat dan dipercaya banyak orang, pengakuan korban cenderung diabaikan. Hal ini juga dapat terjadi dalam konteks relasi domestik di mana hal yang diterima korban dianggap orang-orang sebagai sesuatu yang memang diinginkannya dari pasangan. Di samping itu, saat korban yang pernah dilecehkan beberapa kali kembali melaporkan tindakan tidak menyenangkan yang diterimanya, ia juga berkemungkinan diabaikan oleh penerima laporan karena dianggap mengada-ada.
Tindakan ketiga yang membebani korban dan jamak ditemukan dalam kasus-kasus pelecehan seksual adalah penyalahan. Baik oleh laki-laki maupun perempuan, bagaimana perempuan berpenampilan dan berperilaku dipandang sebagai faktor utama yang menyebabkan terjadinya pelecehan.
Dalam sejumlah kasus, pelaku memberi kesaksian bahwa baju yang dipakai korbanlah yang memicunya bertindak melecehkan. Alih-alih berpihak pada korban, sebagian orang justru sepaham dengan pelaku, meyakini perempuanlah yang memancing datangnya insiden. Hal ini mungkin terjadi karena sejak lama mengakar budaya yang mendefinisikan perempuan “baik-baik”. Alhasil, perempuan mana pun yang berpakaian terbuka atau aktif dan vokal soal seksualitas akan dianggap pantas disalahkan dan mendapat ganjaran atas tindakannya. Sederhananya, mereka percaya “apa yang kamu tabur, akan kamu tuai” sekalipun kenyataannya, cara berpakaian atau bersikap tidak serta merta seiring dengan pelecehan seksual yang terjadi. Kejadian buruk ini tetap bisa terjadi pada sejumlah perempuan yang dikategorikan “baik-baik”. Ada saja alasan untuk menyalahkan korban seperti “Kamu sih, keluar malam-malam” atau “Salah kamu sendiri yang mau-maunya diajak dia jalan”.
Tindakan menyalahkan pihak tertentu semakin mungkin terjadi ketika banyak orang terbiasa untuk melihat sesuatu secara dikotomis, memilah mana yang antagonis dan protagonis secara simplistis. Ketika mereka merelasikan diri dengan pihak A dan merasa bahwa dialah yang baik, pihak B akan terus dipandang salah, bagaimanapun B menjelaskan kondisi sebenarnya.
Dalam kasus Anindya Joediono, sikap menyalahkan dapat berhubungan dengan kekuatan atau kekuasaan pihak tertentu, baik berdasarkan gender maupun posisi di masyarakat. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa pelecehan atau penyerangan seksual terhadap perempuan tidak melulu berkaitan dengan syahwat laki-laki, tetapi kerap kali merupakan perwujudan dominasi gender tersebut. Pelecehan yang berujung penyalahan terhadap korban menjadi cara pihak dominan untuk menyebarkan ancaman kepada perempuan mana pun yang berusaha bersuara atau melawannya. Tak heran jika pada akhirnya, sebagian perempuan, bahkan korban sendiri, menyalahkan diri mereka ketika pelecehan atau kekerasan seksual terjadi padanya karena sebelumnya mereka sudah “diperingatkan”, baik oleh pihak yang dominan maupun masyarakat yang percaya bahwa pelecehan yang terjadi adalah salah perempuan.
Cerita Anindya Joediono dan deretan laporan kasus pelecehan seksual yang berujung pada penyalahan korban kembali mengingatkan perempuan betapa sulitnya untuk buka suara di hadapan publik. Betapa besarnya kemungkinan hukum dipakai untuk memojokkan korban alih-alih melindunginya. Betapa mengecewakannya ketika mendapati orang-orang sekitar yang diharapkan peduli dan mengintervensi pelecehan malah tinggal diam, menertawai, atau menyalahkan.
Kejadian-kejadian pelecehan seksual yang dibiarkan saja serupa karsinogen. Semakin banyak jumlahnya, semakin lama ia didiamkan, semakin mungkin ia menjadi mematikan. Bukan tubuh, tetapi kepercayaan bahwa perempuan dijamin keamanannya di negeri inilah yang bisa ia bunuh.