Setiap kali gempa besar terjadi, rumah-rumah yang ambruk dan korban reruntuhan kembali memantik debat soal rumah panggung tradisional berbahan kayu. Para pengusung rumah tradisional mungkin harus kecewa sekali lagi. Bila semua masih sama, banyak desa di Indonesia akan menyaksikan kepunahan rumah kayu berikut seluruh pengetahuan yang membentuknya. Ini salah satu contoh kasus tentang bagaimana skenario itu bisa terjadi.
Dua tahun lalu, di tepi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, saya berjumpa seorang warga desa yang mengeluh bahwa mereka tak lagi boleh mengambil kayu bahkan dari pohon yang tumbang secara alami.
Dahulu, warga kampung itu membuat rumah dengan menebang pohon dari kawasan yang kini masuk dalam tapal batas taman. Satu rumah rata-rata butuh tiga sampai lima pohon, bergantung besar pohon yang ditebang, biasanya dengan dua tiga jenis pohon yang masing-masing mengemban fungsi berbeda dalam ‘ramuan’ rumah. Ada jenis kayu khusus untuk bagian rumah yang sering kena hujan dan matahari, seperti tiang, tangga, dan dinding luar. Sementara jenis lainnya menjadi papan lantai atau dinding kamar yang nisbi aman dari terjangan musim.
Bila sebuah keluarga mematok rencana membangun rumah, mereka akan mengumpulkan ramuan itu bertahun-tahun. Pohon demi pohon. Mereka tidak terburu-buru. Kadang mereka berbagi dengan tetangga yang butuh, sesuai kebutuhan masing-masing calon pemilik rumah.
Bitti (Vitex cofassus) menjadi jenis kayu yang ketika itu paling sering mereka gunakan sebagai rangka rumah. Warga sudah terbiasa menebang pohon-pohon bitti di habitatnya yang kini berada di dalam Taman Nasional—ketika masih melimpah, bitti juga banyak dipakai sebagai bahan utama perahu.
Tradisi ini mendidik sebagian warga menjadi ahli pembuat rumah—dan aneka perabot dari kayu. Ketika hutan itu masih milik mereka, bahan dan tukang tak perlu mereka datangkan dari luar, bisa dikatakan, mereka hidup mandiri dalam menyediakan bahan maupun untuk membangun rumah. Tapi itu dulu.
***
SETELAH TAPAL Taman Nasional ditetapkan, keluarga yang hendak membuat rumah harus membeli papan, balok, dan tiang dengan harga yang sangat mahal.
Untuk menggantikan kayu bitti dengan kayu berkekuatan dan daya tahan yang setara atau lebih baik, mereka hanya tahu dua alternatif: ulin atau kumea. Ulin jenis kayu kelas satu yang sangat mahal, satu tiang saja bisa mencapai Rp.1,5 juta di kota. Seorang warga bahkan memperkirakan angka itu bisa mencapai Rp.2 juta untuk mencapai desanya. Itu cuma perkiraan, dan memang tak banyak orang kampung yang tahu harga ulin, mereka jarang berpikir untuk membelinya, harganya terlalu jauh di luar jangkauan. Sementara kumea, meski berharga lebih murah, kira-kira setengah harga ulin, tetapi lebih mudah retak bila terpapar pergantian musim.
Kayu-kayu bahan ramuan rumah menjadi sangat mahal karena harus diangkut dari tempat-tempat jauh, seringkali berasal dari Papua, Kalimantan, atau Sulawesi Tenggara untuk jenis kumia. Karena ongkos pengangkutan yang mahal, harga kayu di desa itu dan desa-desa sekitarnya menjadi lebih mahal daripada di kota. Dari luar pulau, kayu itu lazimnya harus melewati kota demi kota sebelum tiba di desa tujuan.
Pilihan merugikan itulah yang saat ini harus dihadapi orang desa. Padahal, sebuah rumah dengan kayu bitti sebagai rangka utama, kata mereka, bisa bertahan sampai seabad.
Memang, mereka masih punya pilihan lain, tapi prospeknya tak lebih menjanjikan. Pada 2001 datang bantuan bibit pohon dalam kerangka program hutan tanaman rakyat. Mereka diberi bibit kayu, salah satunya mahoni. Memang ada sedikit keluarga yang sudah menggunakan jenis kayu ini untuk membuat rumah, tetapi tak banyak warga yang menanam karena harus menunggu lama, 15 sampai 20 tahun, sementara kebutuhan untuk rumah sudah mendesak. Pelarangan mengambil kayu di taman datang terlalu ‘tiba-tiba’. Rentang masa pergantian sebuah rumah sangat panjang dan penutupan kawasan Taman datang terlalu cepat, sebelum mereka bisa menyiapkan bahan ramuan pengganti.
Banyak kampung lain mengalami nasib serupa, tentu saja. Di beberapa desa tepi hutan lain di Sulawesi Selatan, saya melihat orang-orang menanam beberapa jenis pohon yang dapat dijadikan ramuan rumah, semisal mahoni, suren atau surian (orang setempat menyebutnya ‘surya’, Toona sureni), dan ‘kayu putih’ (Eucalyptus delgupta). Namun pohon-pohon itu belum siap dipanen ketika mereka butuh rumah—dalam kurun beberapa tahun terakhir.
Tak sedikit warga juga menganggap sia-sia menanam pohon-pohon bantuan itu sebab kelak mereka akan “dipersulit oleh orang Kehutanan dan Taman Nasional,” ketika akan menebang. Banyak cerita beredar luas tentang orang-orang yang berjumpa aneka kerumitan saat menebang pohon di kebun sendiri, terutama apabila kebun itu berada di tepi hutan negara. Saya tidak tahu sejauh mana kebenaran cerita itu, tetapi itulah yang diungkap warga.
Akibatnya? Warga desa yang selama ini hanya hidup dengan rumah-rumah kayu mendapati diri disuguhi pilihan-pilihan sulit. Mereka dipaksa bergantung pada kayu dari luar dengan harga selangit, sementara kayu yang bisa mereka tebang (karena berada di luar kawasan Taman Nasional) semakin langka, atau terhalang bermacam-macam mekanisme aturan.
Memang, beberapa desa bisa dengan baik menjalankan masa transisi menanam sebelum tiba waktu mengganti rumah dan tidak mengalami kesulitan dengan aparat lembaga negara. Namun, dengan biaya angkut yang mahal, semua desa pada dasarnya butuh ‘lumbung’ kayu sendiri, dan belum tentu jenis pohon bantuan yang ditanam cocok untuk ramuan rumah panggung yang mereka butuhkan.
***
DALAM SITUASI inilah mereka terpaksa menjalani pengungsian kultural: mereka mulai membangun rumah tembok—di Sulawesi Selatan orang menyebutnya ‘rumah batu’. Sebuah peralihan budaya besar-besaran kini tengah berlangsung sebab rakyat desa Sulawesi Selatan dulunya hanya membangun rumah dari kayu. Konstruksi dari batu hanya ada pada dinding benteng lama yang melingkari kompleks perumahan istana yang seluruhnya berbahan kayu. Belakangan orang-orang Eropa mulai membuat rumah tembok di kota-kota, tetapi di desa-desa Sulawesi Selatan, warga masih lebih nyaman dengan rumah kayu.
Kini rumah-rumah baru harus dibangun dari semen, pasir, dan batu. Di banyak desa, bila anda berkunjung, rumah-rumah baru kebanyakan adalah rumah batu. Hanya segelintir warga—yang cukup berada—sanggup membangun rumah kayu dalam beberapa tahun terakhir.
Tetapi, untuk membangun rumah batu sekalipun, warga desa harus membayar lebih mahal ketimbang saudara-saudara mereka di kota. Harga semen, batu bata, pasir, dan batu cadas untuk pondasi rumah, semuanya lebih mahal daripada harga di kota-kota. Penyebabnya, lagi-lagi biaya angkut. Sebagai perbandingan: di desa itu harga semen rata-rata Rp.70 ribu untuk setiap sak, sementara di Makassar hanya Rp.40-45 ribu. Pasir Rp.1,1 juta di desa, dan Rp.750 ribu di Makassar. Sementara batu bata Rp.600 per biji di desa, sedangkan di Makassar Rp.400-450. Silakan hitung sendiri ketimpangannya.
Jadi, pengungsian kultural itu pun mengharuskan orang desa harus membayar lebih mahal. Dan harga semen yang sangat mahal itu pun sungguh aneh. Pabrik semen berada tidak jauh dari desa itu, kira-kira setengah jarak dari Makassar ke lokasi pabrik semen.
***
DI LUAR itu, ada perkara lain yang punya daya jangkau jauh lebih luas dan daya rusak lebih besar. Semen itu diperoleh dengan menggerus gugusan bukit karst—tak jauh dari Taman Nasional itu. Sebagian besar Taman Nasional Bantimurung dan Bulusaraung sendiri merupakan gugusan bukit karst.
Ketika melewati pabrik-pabrik semen itu, seringkali terngiang kembali penjelasan seorang guru besar kehutanan UGM, Hasanu Simon, belasan tahun silam kepada saya: “Gunung karst itu seperti tangki air raksasa. Air hujan rata-rata membutuhkan waktu enam bulan di dalam tangki raksasa itu sebelum mengalir sebagai air permukaan di dataran di bawahnya. Selain menjadi air tanah. Sehingga, gunung karst sebenarnya menyediakan pasokan air di musim kemarau dan mencegah banjir di musim hujan.”
Hamparan luas sawah di Kabupaten Pangkep dan Maros menjadi penerima manfaat abadi gugusan dinding karst itu. Demikian pula seluruh warga yang bermukim di bawahnya yang terlindung dari banjir dan kekeringan.
Tetapi pabrik-pabrik semen akan terus mengikis gugusan karst, sesuatu yang sekali habis tak akan pernah bisa tumbuh lagi. Sementara itu berlangsung, pemerintah melarang penebangan kayu untuk rumah. Padahal satu rumah kayu bisa dihuni sampai tiga generasi. Mereka hanya butuh tiga sampai lima pohon untuk tiga generasi. Mudah membayangkan berapa banyak pohon yang sudah siap tebang ketika generasi ketiga hendak membangun rumah.
Sungguh sulit memahami mengapa kita bisa menyaksikan kekonyolan ini: lebih baik memapas gunung karst yang tidak akan tumbuh lagi, ketimbang mengambil kayu yang masih dapat berganti.
Dengan mudah kita bisa membayangkan bahwa ketika permintaan terhadap tukang kayu menurun, jumlah mereka akan menyusut—dan bisa jadi punah setidaknya di satu daerah. Bila tukang kayu menjadi langka, biaya rumah panggung akan semakin meroket, semakin jauh dari jangkauan orang desa. Dan jika itu terus berlangsung, pada suatu titik di masa depan, kita harus bergantung pada semen belaka. Bila saat itu tiba, suka tak suka, akan semakin banyak gunung karst yang harus dihancurkan—dan rumah panggung tradisional berbahan kayu hanya bisa ditemukan di museum.