Kini ormas Nahdhlatul Ulama (NU) sudah memasuki usianya yang ke 95 tahun. Di usianya yang sudah menua, NU tetap konsisten memperjuangkan khittahnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang berorientasi pada pendidikan, keagamaan, ekonomi dan pengembangan masyarakat.
Kontribusinya terhadap Islam dan Negara tidak perlu dipertanyakan lagi. Sejak negara ini berada dalam cengkraman penjajah Belanda, Nahdlatul Ulama (NU) berada dalam barisan terdepan dalam menggemakan semangat juang dan menghimpun kekuatan guna berjuang melawan penjajahan. Tentu, guna untuk menjaga agama dan nasionalisme dari gempuran ideologi asing.
Sehingga tidak heran, jika kemudian lahir apa yang disebut “resolusi jihad”. Dimana resolusi ini menjadi pelecut semangat dan kekuatan kaum santri dalam mengusir penjajah dari tanah air. NU memegang teguh prinsip kesetaraan, keadilan dan mengecam setiap bentuk penjajahan dalam beragam bentuknya.
Selain ikut berjuang merebut kemerdekaan, NU juga konsisten menjaga dan merawat kemerdekaan yang sudah sejak lama diimpikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan harga mati bagi NU, sebagai salah satu bukti, bahwa NU mencintai tanah airnya, sebagaimana ia mencintai agamanya..
Menurut KH. Said Aqil Sirodj, untuk menjaga NKRI dari perpecahan, maka ulama NU menggelorakan semangat cinta tanah air. Sehingga terdapat jargon yang sangat masyhur di kalangan NU, yaitu “hubbul wathan minal iman.” (mencintai tanah air sebagian dari iman).
Jargon ini sengaja diteriakkan oleh ulama NU, seperti Kiai Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah untuk menyadarkan sebagian besar umat Islam dari ketidakpeduliannya akan pentingnya nasionalisme. Sebab negara ini berdiri dengan semangat nasionalisme. Masih menurut KH. Said Aqil, “hubbul wathan minal iman” ini merupakan bentuk nasionalisme religius Islam Nusantara (dikutip dari NU Online, 06/06/2016).
Menjaga Islam dalam bingkai “Islam Nusantara” dan menjaga tanah air dalam bingkai “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI) merupakan dua komitmen NU yang sampai hari ini masih dipegang teguh sebagai ijtihad perjuangan NU. Persoalan keummatan dan kebangsaan, bagi NU adalah dua entitas tak terpisahkan. Menjaga Islam berarti harus menjaga NKRI, sebaliknya, menjaga NKRI harus juga menjaga Islam (baca: Islam Nusantara).
Konsekuensinya, NU harus tegas dan berani melawan radikalisme Islam dan ideologi asing yang pada dekade mutakhir mulai menunujukkan eksistensinya di negeri ini. Sebagaimana kita mafhum, radikalisme Islam (baca: kekerasan atas nama Islam) marak terjadi di negeri ini. Terbukti, hujatan bahkan tindak kekerasan atas nama agama terhadap kelompok yang berbeda acapkali terjadi belakangan ini. Misalnya, penyerangan terhadap para pemuka agama dan tempat-tempat ibadah.
Radikalisme yang lahir dari intoleransi, kian hari kian mengkhawatirkan dan menjadi momok yang menakutkan bagi terwujudnya Indonesia yang rukun dan damai. Dewasa ini, agama (baca: Islam) acapkali dijadikan alat legitamasi untuk melegalkan tindakan-tindakan kekerasan dan amoral lainnya. Islam lebih sering ditampilkan dengan wajah yang garang dan menakutkan, daripada wajahnya yang indah dan mendamaikan.
Tidak hanya radikalisme Islam, ideologi asing, sebut saja ideologi “khilafah” yang lahir dari rahim Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kian hari kian gencar dikampanyekan oleh para hizbiyyin sebagai satu-satunya ideologi yang abash dan halal diterapkan di dunia, kususnya di Indonesia.
HTI sangat mengecam diterapkannya sistem demokrasi di Indonesia. Karena tujuan politik yang ingin dicapai oleh mereka adalah politik Islam kaffah, yaitu menerapkan syariat Islam secara utuh. Tidak hanya penerapan syariat Islam yang menjadi konsern perjuangan mereka, tetapi penegakan pemerintahan khilafah di negara-negara yang mereka sebut sebagai negara Islam, termasuk Indonesia.
Bagi HTI, demokrasi merupakan sistem kafir yang harus segera ditinggalkan oleh Indonesia. Karena ia merupakan produk barat. Dengan berlandaskan pendapat Taqiyuddin An-Nabani (pendiri Hizbut Tahrir), HTI berpendapat, bahwa kemunduran umat Islam disebabkan menjadikan Barat sebagai kiblat dari segala sistem kehidupan. Karena pokok persoalannya adalah barat, maka dia menyerukan kepada umat Islam dunia untuk meninggalkan sistem barat dan segera kembali kepada Islam sebagai dasar gerakannya.
Meskipun pada akhirnya, Pemerintah melarang HTI beroperasi di Indonesia, tetapi HTI tetap menunjukkan eksistensinya. Salah satunya, bendera HTI kerapkali berkibar pada setiap acara yang bertajuk ke-Islaman dan juga beberapa hari terakhir ini, publik Sumenep diramaikan oleh foto anggota HTI sambil membentangkan spanduk bertuliskan “#Return The Khilafah #Khilafah Ajaran Islam” di depan Masjid Agung Kabupaten Sumenep Madura.
Sebagaimana kita mafhum, bahwa NU istiqamah berada di garda terdepan melawan radikalisme Islam dan ideologi Khilafah ala HTI. Bagi NU, keduanya merupakan ancaman terbesar bagi terciptanya masyarakat yang rukun dan damai serta akan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan hasil ijtihad para funding father dan ulama kita.
Sehingga NU tidak pernah lelah mengkampanyekan nilai-nilai Islam Nusantara dan arti pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa ini kepada publik. Karena bagi NU, tidak boleh ada tempat sedikitpun di Indonesia bagi yang namanya radikalisme Islam dan ideologi Khilafah ala HTI. Jadi selama kita yakin, akan kesantunan Islam dan finalitas ideologi pancasila sebagai dasar negara kita, maka jihad melawan keduanya (Islam radikal dan Khilafah) adalah wajib.
Atas kegigihan melawan radikalisme Islam dan Khilafah, lantas kemudian NU dihujani banyak panah fitnah. Ia dituduh antek barat, pembela kaum kafir, liberal, penjilat, pragmatis, mata duitan, kejam terhadap sesama Islam dan santun terhadap non-Muslim dan fitanah-fitnah lainnya. Tapi sudah lah tidak usah dipikirkan, fitnah-fitnah itu sengaja mereka lancarkan untuk melemahkan perjuangan NU dan menggerus kepercayaan ummat terhadap NU. Bisalah, begitulah konsekuensi perjuangan.
Maka dari itu, kita sebagai warga NU tidak boleh takut membelanya dari kelompok-kelompok yang tidak suka terhadap perjuangannya. Karena membela NU juga berarti membela ulama. Sedangkan ulama itu waratsatul anbiya’. Membela NU juga berarti membela agama dan negara. Atas nama agama dan negara, mari kita perangi radikalisme dan khilafah!