Warna kuning banyak diperbincangkan. Hati-hati dengan warna kuning. Warna yang mencolok ini bisa saja mencolok sang pemberi atau sang penerima. Warna kuning diperbincangkan sejak peristiwa pengangkatan kartu kuning mahasiswa UI sebagai aksi “peringatan” kepada pemerintah.
Kuning yang sedang viral di Indonesia berawal dari seorang mahasiswa meniup pluit saat Presiden Joko Widodo memberikan pidato di acara Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, Depok, pada Jumat (02/02). Mahasiswa bernama Zaadit ini lantas mundur teratur setelah diamankan petugas.
Berawal dari pengangkatan kartu kuning ini, Zaadit seolah mendapat kartu merah yang menyerangnya balik juga di sisi lain mendapat kartu hijau sebagai tanda untuk dilanjutkan.
Aksinya tidak berlebihan. Tidak melempar benda apa pun atau memaki tanpa ampun. Ini hanya sebuah aksi protes yang wajar menurut saya. Tidak seperti yang sering kita lihat di sidang-sidang anggota dewan yang terhormat, yang isinya semua orang terhormat, namun protes dengan makian, penggertakan, kemudian gaduh tak jelas.
Menurut saya, Zaadit melakukan protes dengan sopan dan spontan. Presiden pun terlihat tenang melihat aksi pengangkatan kartu kuning itu. Presiden dan Zaadit sama-sama terlihat dewasa dalam menuntaskan keinginan mereka yang terpendam.
Aksi protes mahasiswa seperti yang dilakukan Zaadit sangat jauh dari kata beringas, apalagi kasar. Ia protes hanya dengan kartu kuning. Selembar kartu yang kebetulan warnanya begitu mencolok mata. Lalu, mengapa kekuatan kartu kuning itu begitu dahsyat?
Ada yang mati-matian menghakimi Zaadit dan ada pula yang santai menanggapi aksi protes ini. Apa karena yang melakukannya adalah seorang mahasiswa sehingga dianggap tidak pantas? Jika bukan mahasiswa, lalu siapa yang bisa melakukan protes tanpa embel-embel kepentingan? Mahasiswa sejak dulu dikenal memang harus “beringas”, tentu dengan alasan. Bukankah mahasiswa selalu dituntut harus kreatif, mampu menyuarakan hal-hal yang baik demi kepentingan rakyat, dan katanya mahasiswa saat ini seperti kehilangan gairah. Katanya, lho.
Di antara mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang, lalu pacaran dan sosmed-an), Zaadit adalah mahasiswa yang cukup berani. Ia mengembalikan kekuatan mahasiswa untuk berani bicara dan berbuat lebih nyata jika ketidakadilan itu dirasa. Sudah sekian lama kita menunggu sosok Soe Hok Gie, Munir, dan para aktivis kritis yang mati muda kala itu. Jika saja Zaadit mau bergerak lebih dahulu sebelum aksi protesnya, tentu kartu kuning itu tidak akan sia-sia.
Tidak banyak yang berani seperti Zaadit alias Mas Aadit ini. Meski jabatannya sama, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), atau ketua-ketua lainnya di seluruh universitas di Indonesia, mungkin mereka akan berpikir ulang untuk melakukan aksi yang dilakukan oleh Aadit ini. Mereka berpikir tentang segala kemungkinan dan yang paling mungkin adalah pikiran tentang apa yang sudah ia lakukan sebagai anak muda untuk negeri ini?
Jika ia sudah pernah mengabdi di pedalaman, merasakan kehidupan tanpa air, merasakan kehidupan dengan listrik yang mati padam, mati padam, lalu lebih lama matinya, mungkin ia bisa berbicara lantang bahkan sangat lantang dan bila perlu memberikan data dan solusi yang tak pernah terpikirkan oleh para menteri, bahkan tidak terpikirkan oleh presiden sendiri.
Zaadit yang muda dan berani, meski harus banyak di-bully saat ini, saya yakin akan ada banyak suara mahasiswa yang berani muncul menyuarakan hal-hal yang membangun setelah ini. Pro dan kontra kartu kuning ini seolah memberi ruang bagi yang muda untuk bicara. Tapi, bersyukurlah Mas Zaadit, Presiden Jokowi bukan pecinta Orde Baru atau penerusnya. Yang muda dan berani tidak akan hilang atau diculik tiba-tiba. Jangan ada dusta antara mahasiswa juga presidennya.
Kolom terkait:
Kartu Kuning Mahasiswa dan Kuatnya Figur Jokowi
Kartu Kuning Jokowi dan Mahasiswa yang Cengeng
Memaknai Kritik di Alam Demokrasi
Jokowi dan Upaya Membungkam Kritik
Darurat Demokrasi, Anti-Intelektualisme, dan Moralitas Budak